
Oleh: Fatiyah Hasanah
Linimasanews.id—Proyek food estate di Indonesia yang semula diproyeksikan sebagai solusi jangka panjang untuk ketahanan pangan, kini justru menjadi simbol kegagalan. Alih-alih menciptakan lumbung pangan nasional, food estate malah mengancam ketahanan pangan lokal, memicu kerusakan lingkungan, dan menimbulkan bencana (Bbc.com,18/10/24).
Program yang digagas dengan janji besar, justru berbalik menjadi ancaman serius bagi petani kecil dan ekosistem di sekitar proyek. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan ini, mulai dari tata kelola yang buruk hingga pendekatan pembangunan yang lebih menguntungkan oligarki daripada rakyat (majalah.tempo.co, 22/09/24).
Proyek food estate di beberapa wilayah seperti Kalimantan dan Sumatra menghadapi masalah serius. Alih-alih menjadi pusat produksi pangan yang stabil, proyek-proyek ini justru menyebabkan kerusakan ekologi yang parah. Pembukaan lahan secara besar-besaran, yang sering kali terjadi di kawasan hutan dan lahan gambut, memicu deforestasi dan mengganggu keseimbangan alam. Deforestasi ini tidak hanya menghancurkan ekosistem lokal, tetapi juga memperparah risiko bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan (journal.upy.ac.id).
Pembangunan dalam Kapitalisme: Menguntungkan Oligarki
Kegagalan food estate juga tidak lepas dari sistem kapitalisme yang menjadi landasan kebijakan pembangunan. Dalam kapitalisme, pembangunan sering kali bukan bertujuan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk keuntungan oligarki—segelintir elite yang mengendalikan sumber daya dan kekuasaan.
Proyek-proyek besar seperti food estate didorong oleh kepentingan segelintir pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari sumber daya alam, sementara rakyat yang berada di sekitar proyek sering kali menjadi korban.
Konflik antara pemerintah, korporasi, dan masyarakat lokal menjadi hal yang tak terelakkan. Ketika lahan-lahan petani kecil diambil alih tanpa kompensasi yang adil, atau ketika sumber daya alam dieksploitasi untuk kepentingan investor, rakyat akan tertindas. Ini menimbulkan gesekan sosial yang sering kali berujung pada ketidakadilan dan kerugian bagi masyarakat kecil, khususnya petani yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Islam: Membangun dengan Kepentingan Rakyat
Berbeda dengan kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan segelintir elite, dalam pandangan Islam, negara hadir untuk mengurus rakyat. Konsep ra’awiyah (pengurusan rakyat) dalam Islam menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Negara dianggap sebagai ra’in (pengurus), yang bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan rakyat, termasuk dalam penyediaan bahan pangan sebagai kebutuhan pokok.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
Pemimpin dalam Islam akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas setiap tindakan dan kebijakan yang diambil terkait rakyatnya. Oleh karena itu, setiap proyek pembangunan dalam sistem Islam harus mempertimbangkan dampak terhadap rakyat, terutama dalam hal ketahanan pangan.
Negara wajib memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan kelompok elite atau investor asing. Islam mengajarkan bahwa pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan. Pembangunan yang dilakukan haruslah memperhatikan kelestarian lingkungan dan kestabilan kehidupan sosial.
Dalam penyediaan bahan pangan, negara Islam memastikan bahwa kebijakan pertanian dan pengelolaan lahan tidak merusak ekosistem alam dan lingkungan masyarakat. Negara Islam juga berupaya keras untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Ketahanan pangan di sini berarti memastikan bahwa kebutuhan pangan rakyat terpenuhi dari dalam negeri, sementara kedaulatan pangan berarti negara memiliki kendali penuh atas produksi, distribusi, dan pasokan pangan tanpa harus bergantung pada impor atau intervensi asing.
Salah satu perbedaan mendasar antara pembangunan dalam sistem kapitalisme dan Islam terletak pada sumber pendanaan. Dalam kapitalisme, pembangunan sering kali dibiayai oleh swasta atau investor asing, yang membuat negara bergantung pada mereka. Ketergantungan ini kemudian membatasi kemampuan negara untuk bertindak secara independen, karena kebijakan harus disesuaikan dengan kepentingan para investor.
Sebaliknya, dalam Islam, negara memiliki kemandirian finansial untuk membiayai pembangunan. Negara dalam konsep Islam tidak bergantung pada swasta atau pihak asing karena memiliki sumber pendanaan yang jelas dan mandiri, seperti zakat, kharaj , jizyah dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Dengan kemandirian ini, negara bisa fokus membangun infrastruktur yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat, tanpa dikendalikan oleh kepentingan eksternal.
Islam menetapkan berbagai sumber anggaran untuk membiayai pembangunan, yang juga diatur dengan ketat penggunaannya. Zakat, salah satu sumber utama pendapatan negara dalam Islam, digunakan untuk menyejahterakan kaum fakir miskin dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selain itu, hasil pengelolaan sumber daya alam seperti minyak, gas, dan mineral yang dimiliki oleh negara sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan korporasi.
Sistem ini memastikan bahwa kekayaan alam yang dimiliki negara digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, pertanian, dan pendidikan, tanpa harus mengambil utang dari luar negeri atau menjual aset-aset strategis kepada swasta. Dengan pengelolaan yang baik, konsep Islam dalam bernegara mampu menciptakan pembangunan yang adil dan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.