
Suara Pembaca
Baru-baru ini, media digegerkan oleh penangkapan pemuda berusia 23 tahun yang diduga karena melakukan aksi pencabulan terhadap lima bocah laki-laki di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Tersangka pencabulan anak itu dijerat dengan pasal 82 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (11/5).
Tentu kasus tersebut sangat memprihatinkan. Pasalnya, sekalipun ada sanksi hukum para predator anak terus bertambah jumlahnya diberbagai tempat, hal ini seolah menunjukkan bahwa sanksi hukum yang berlaku saat ini tidak menjadikan pelaku kejahatan menjadi jera. Di saat yang sama, banyak masyarakat yang berpikiran mesum tidak terjadi begitu saja melainkan terjadi karena berbagai faktor seperti maraknya video porno yang dikonsumsi, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi ekonomi masyarakat, hingga terkikisnya keimanan.
Kompleksitas munculnya predator anak ini tidak berlepas dari penerapan sistem kehidupan batil sekulerisme-liberal. Paham ini menjadikan agama dipisahkan dari kehidupan sehingga menjadikan masyarakat beramal tidak berlandaskan pada batas-batas syariat melainkan dengan dorongan hawa nafsu semata. Karena itu, munculah para pelaku pencabulan.
Selama sistem sekulerisme-liberal ini diterapkan dalam kehidupan, anak-anak akan terus dalam incaran predator anak. Perlindungan terhadap anak bahkan masyarakat pada umumnya hanya akan terwujud tatkala sistem yang diterapkan dalam kehidupan adalah sistem yang shahih yang akan melahirkan manusia dengan mindset bersih dan suci, jauh dari pikiran dan imajinasi kotor. Sistem kehidupan shahih akan mendorong manusia untuk beramal baik.
Sistem kehidupan yang demikian hanya akan diwujudkan dalam sistem Islam yang diterapkan secara praktis oleh Daulah Khilafah. Dalam kasus predator anak Khilafah akan memberikan sanksi uqubat, sanksi tegas yang akan bisa membuat jera pelaku.
Shafiyyah AL Khansa, Kebumen