
Oleh: Imro’atun Dwi Puranti, S.Pd.
(Aktifis Dakwah dan Pemerhati Generasi)
Linimasanews.id—Di tengah kesejahteraannya yang masih diperjuangkan, nasib guru kini tak luput dari polemik kriminalisasi. Niat baik guru mendidik siswa, sering kali disalahartikan sebagai sebuah tindakan kekerasan. Padahal, hal itu dimaksudkan sebagai bentuk menegakkan kedisiplinan. Terlebih, masih sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku. Sayangnya, disalahartikan sebagai bentuk kriminalitas, baik oleh siswa maupun orang tua wali murid.
Guru Maya di SMPN 1 Bantaeng, misalnya. Ia masuk ke penjara karena menertibkan seorang murid yang baku siram bersama temannya dengan sisa air pel, tapi mengenai dirinya. Awalnya, siswa tersebut dibawa ke ruang BK dan dicubit. Hukuman ini tidak dapat diterima oleh orang tua murid yang merupakan anggota kepolisian. Akhirnya, sang guru harus menghadapi meja hijau.
Di SMA N 2 Sinjai Selatan, guru bernama Mubazir harus dipolisikan oleh orang tua siswa karena memotong paksa rambut siswanya yang gondrong, meski dilakukan bukan tanpa peringatan terlebih dahulu. Sementara itu, guru Darmawati di SMAN 3 Parepare juga harus mendekam di penjara karena tuduhan pemukulan terhadap siswa yang membolos salat Dzuhur berjamaah.
Ada juga yang viral baru-baru ini, guru Supriyani dituduh melakukan pemukulan terhadap siswanya. Tak kalah mencengangkan, guru Zaharman yang mengalami kebutaan permanen akibat di ketapel oleh orang tua siswa karena menegur siswa yang merokok di lingkungan sekolah saat jam belajar mengajar masih berlangsung (kompas.com, 31/10/2024).
Miris, semua hal ini terjadi juga tak lepas dari adanya Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak hingga guru rentan dikriminalisasi. Padahal, UU yang harusnya melindungi anak dari mendapat perlakuan yang tidak baik, justru menjadi dilema guru karena digunakan untuk menjerat siapa saja yang berkesan menyakiti anak, termasuk guru akibat diduga ada pasal karet yang bisa dipersepsikan ke mana saja sesuai dengan kehendak pengguna pasal.
Padahal, tugas guru sebagai pendidik pasti tidak lepas dari kedisiplinan. Cara untuk mendisiplinkan anak salah satunya adalah dengan sanksi. Selama sanksi masih dalam batas kewajaran nilai dan norma, harusnya tidaklah menjadi masalah. Namun, fakta di lapangan justru menjadi bumerang bagi guru.
Ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, dan masyarakat serta negara terhadap pendidikan anak. Hal ini karena setiap masing-masing dari mereka memiliki makna yang berbeda-beda dalam mendeskripsikannya. Akibatnya, muncul gesekan antara berbagai pihak, termasuk langkah guru dalam mendidik anak muridnya di lingkungan sekolah. Guru pun akhirnya ragu dalam menjalankan perannya, khususnya dalam menasihati siswa.
Islam Memuliakan Guru
Islam memuliakan profesi guru dan memberikan perlakuan yang sangat baik. Dalam Islam, lebih diutamakan adab daripada ilmu. Karenanya, siswa harus berlaku sopan dan santun terhadap gurunya karena lewat merekalah transfer nilai dan ilmu diperoleh.
Negara juga menjamin guru dengan sistem penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Negara bertugas memahamkan semua pihak akan sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki tujuan yang jelas dan meniscayakan adanya sinergi semua pihak, sehingga menguatkan tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kondisi seperti inilah yang dibutuhkan oleh guru. Sehingga guru optimal dan tenang menjalankan peran dalam mendidik siswanya karena akan terlindungi oleh negara.