
Oleh: Fitria Rahmah, S.Pd. (Pendidik Generasi dan Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Sampah sering kali disepelekan, bahkan tak jarang diabaikan karena dianggap tak lagi bermanfaat. Padahal, ketika sudah dalam jumlah besar, ia membuat tidak nyaman dan menjadi masalah. Salah satunya, menjadi sumber penyakit.
Ketika masyarakat berubah menjadi masyarakat yang konsumtif seperti saat ini, sampah yang dihasilkan sangat banyak setiap waktunya. Sayangnya, jumlah itu tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik hingga terjadilah penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA).
Di Kota Bandung, misalnya. Dikutip dari detik.com (23/10/2024) Kota Bandung mengalami peningkatan ritase sampah menjadi 180 rit per hari. Sementara targetnya adalah dari 170 rit berkurang menjadi 140 rit. Peningkatan ritase juga terjadi di Kabupaten Bandung Barat (KBB) yakni menjadi 25 rit per hari dari target 17 rit.
Sekretaris Daerah Jawa Barat Herman Suryatman menyebutkan, Bandung Raya berpotensi kembali darurat sampah jika pemerintah lengah. Sebab diketahui, TPA Sarimukti sudah overload 1.000% dari yang seharusnya hanya menampung 2 juta meter kubik sampah, kini sudah menampung 24 juta meter kubik sampah. Bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan terjadi ‘ledakan sampah’. Ia berujar, gubernur meminta untuk membangun komunikasi dengan semua pihak, termasuk dengan aktivis lingkungan, sebagai langkah antisipasi.
Miris, pemerintah tampaknya merasa kesulitan dengan persoalan sampah yang berlarut-larut. Masih jelas di ingatan publik peristiwa di tahun 2005, yaitu meledaknya TPA Leuwigajah di Cimahi yang memakan korban 157 jiwa dan hilangnya 2 kampung dari peta akibat tertutup longsoran sampah. Semenjak itu masalah sampah seolah tak berujung, tumpukan sampah selalu hadir menghiasi sudut kota.
Berbagai solusi telah dilakukan, bahkan gerakan zero waste pun telah digalakkan. Namun sayangnya, gerakan tersebut tidak mampu menyelesaikan permasalahan sampah saat ini. Sebab, di satu sisi, pemerintah menggalakkan gerakan zero waste yaitu gaya hidup bebas sampah, tetapi di sisi lain, alam kapitalisme telah membuka selebar-lebarnya usaha kuliner di muka bumi ini.
Selain itu, merebaknya platform online membuat masyarakat kecanduan belanja online disebabkan kemudahan yang disediakan. Aktivitas berbelanja ini menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar saat ini karena pengemasan barang menggunakan plastik yang berlapis-lapis, bahkan melebihi produk yang dibeli. Oleh karena itu aktivitas online terutama berbelanja menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar saat ini. Hal ini dikarenakan satu produk belanja online saja jumlah plastic yang digunakan berlapis-lapis, melebihi produk yang dibeli. Bahan plastic yang sering kali digunakan yaitu paket dibungkus dengan plastic yang tebal, bubble wrap, selotip, dan kemasan produk itu sendiri.
Ditambah lagi, longgarnya regulasi membuat usaha makanan dan minuman makin berkembang. Tidak hanya UMKM, skala besar pabrikan juga. Selain itu menjamurnya café-café tidak hanya di perkotaan tetapi juga di pedesaan. Ditambah lagi, gaya hidup masyarakat kapitalisme selalu merasa FOMO (Fear of Missing Out) jika belum mencoba makanan atau minuman yang sedang viral.
Akhirnya, kondisi ini melahirkan budaya konsumerisme. Budaya ini sangat melekat pada masyarakat sekuler kapitalisme. Mereka sering kali membeli sesuatu bukan atas dasar kebutuhan namun atas dasar keinginan. Semua dilakukan hanya untuk meraih kepuasan semata demi meraih kebahagian. Mereka pun memiliki budaya berlebihan dalam menyajikan makanan sehari-hari dan pada akhirnya makanan menjadi mubadzir, banyak sisa makanan berakhir di tempat sampah.
Masyarakat kapitalis berlomba-lomba untuk membeli apa pun termasuk makanan demi gengsi dan eksistensi diri. Alhasil, lahirlah generasi hedonisme, FOMO. Kesadaran yang ada di tengah-tengah masyarakat kapitalisme adalah kesadaran yang bersandar pada duniawi tanpa memikirkan akhirat. Selain pola hidup berlebihan, hedonism, dan FOMO, mereka juga tidak peduli akan lingkungan. Mereka cenderung abai terhadap sampah yang ada karena dianggap tidak menyulitkan dan juga tidak memberikan manfaat yang nyata dan cepat untuk kehidupan mereka.
Pola hidup masyarakat kapitalisme yang hedonism ditambah dengan kesadaran yang kurang dan solusi yang dihadirkan oleh penguasa kapitalisme menunjukkan adanya ketidaksinkronan. Di satu sisi terdapat gerakan program zero waste tapi disisi lain kebijakan yang ada melahirkan gaya hidup hedonisme yang menghasilkan jumlah sampah yang sangat banyak.
Begitu pun dengan penanggulangan sampah yang ada, yaitu hanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa ada penanganan lanjutan terhadap jenis sampah. Sehingga tidak terjadi proses daur ulang sampah. Maka tidak heran jika mayoritas TPA yang ada saat ini mengalami overload.
Mirisnya, upaya berdialog dengan aktivis lingkungan justru memperlihatkan secara jelas bahwa pemerintah kapitalisme tidak punya solusi mengakar terhadap permasalahan sampah ini.
Padahal dengan perangkat dan sumber daya yang berada di tangan mereka, seharusnya bisa menjadi modal bagi penguasa dalam menyolusi permasalahan ini. Karena, sejatinya upaya dialog dengan para aktivis tidak layak disebut sebagai langkah antisipasi.
Tak heran, permasalahan sampah di alam kapitalisme tidak pernah selesai karena solusi yang hadir tidak mampu menyelesaikan masalah sampah yang ada. Oleh karena itu, butuh solusi yang mengakar dalam menyelesaikan masalah sampah ini. Solusi yang mengakar akan didapatkan dengan membuang akar permasalahan yang ada saat ini,, yaitu sistem kapitalisme. Sebab, kapitalisme bersandar pada manfaat sebesar-besarnya. Selama manfaat masih didapatkan, selama itu pula segala aktivitas akan selalu ada meskipun mengakibatkan kerusakan yang fatal.
Hanya ada satu sistem yang tidak akan mengakibat kerusakan setelahnya, yaitu sistem Islam. Sebab, Islam bersandar pada akidah yang akan membuat individu berpikir sebelum bertindak karena memiliki konsekuensi akhirat yang berbuah pahala atau dosa.
Maka, sistem pengelolaan sampah dalam Islam dilakukan secara merata dan menyeluruh. Negara akan mewajibkan masyarakat untuk memilah dan memisahkan jenis sampah. Begitu pun dengan petugas sampah akan melakukan penanganan yang tepat terhadap masing-masing jenis sampah. Sehingga selaras proses yang dilakukan oleh masyarakat dan petugas kebersihan.
Selain itu, petugas kebersihan pun akan dibekali dengan ilmu yang memadai, sehingga mereka tidak hanya bekerja menggunakan otot namun juga otak. Teknologi terbarukan pun akan difasilitasi oleh negara dalam proses pemilahan dan mendaur ulang sampah yang ada sehingga bersifat eco friendly dan tidak hanya berujung di TPA.
Dalam hal ekonomi pun akan terjadi pemerataan pada semua sektor. Regulasi yang ada tidak akan membiarkan pabrik-pabrik Food and beverage bermunculan melebihi kebutuhan masyarakat. Dengan pengaturan yang berlandaskan pada syariat Islam, maka akan terwujud pendistribusian yang merata yang mampu mengentaskan kemiskinan dan food waste.
Dengan keimanan sebagai refleksi dari akidah yang ada, masyarakat dikondisikan agar senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Diawali dengan menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam, lalu tercipta suasana Islam dalam setiap rumah. Sehingga tercipta masyarakat yang memiliki kepribadian Islam yang kokoh yang akan melahirkan gaya hidup yang penuh berkah dan terhindar dari sifat mubadzir dan berlebih-lebihan.
Maka, secara alami akan terbentuk masyarakat dengan gaya hidup yang diridhoi Allah Swt. mereka akan terhindar dari budaya FOMO yang melahirkan gaya hidup konsumtif dan hedonisme. Selanjutnya, secara otomatis mereka hanya membeli barang dan makanan sesuai kebutuhan, tidak menumpuknya apalagi membuangnya.
Hal ini karena masyarakat paham bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Maka, jika Islam diterapkan dalam sebuah negara, niscaya permasalahan sampah ini akan mampu diselesaikan dengan baik tanpa berlarut-larut apalagi terjadi berulang dan memakan korban.