
Oleh: Ummu Kinanty
Linimasanews.id—Dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan kabar penghentian Kurikulum Merdeka (Kurmer). Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dikabarkan tengah mempertimbangkan serius untuk menghentikan penerapan Kurikulum Merdeka di seluruh jenjang pendidikan.
Keputusan ini diambil setelah Dikdasmen melakukan evaluasi mendalam terhadap pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Keluhan mengenai kompleksitas Kurikulum Merdeka, kurangnya kesiapan guru, serta penurunan efektivitas pembelajaran menjadi beberapa alasan utama di balik pertimbangan tersebut.
Padahal, baru saja Kurikulum Merdeka disosialisasikan dan dilaksanakan di beberapa sekolah percontohan di Indonesia, tetapi sudah harus diubah kembali. Padahal, tidak sedikit dana yang sudah digelontorkan negara untuk penerapan Kurikulum Merdeka tersebut. Bukankah sangat disayangkan? Baik siswa dan tenaga pendidik sudah menghabiskan sumber dayanya demi keberhasilan dari kurikulum yang ditetapkan, tetapi pada kenyataannya kurikulumnya akan diubah.
Perubahan kurikulum yang cepat tidak dapat dimungkiri pasti menimbulkan kebingungan di kalangan pendidik dan siswa. Persiapan yang kurang matang atau sumber daya yang tidak memadai dapat menghambat pelaksanaannya dengan efektif. Akibatnya, guru tidak dapat mengimplementasikan keilmuannya dengan maksimal, sedangkan siswa akan menjadi bingung dan tidak akan mampu mengoptimalkan kemampuan dirinya.
Ganti menteri ganti kurikulum, kapan Indonesia memiliki kurikulum yang sesuai yang mampu melahirkan lulusan pendidikan yang akan membawa perubahan bagi negeri ini? Mengingat, Indonesia akan mendapat bonus demografi di lima sampai sepuluh tahun yang akan datang. Pada tahun 2030 nanti, Indonesia akan berada pada puncak periode bonus demografi. Hal ini membutuhkan perencanaan matang dan terukur di sejumlah sektor agar manfaatnya dapat benar-benar dirasakan terutama di dunia pendidikan.
Sistem pendidikan di Indonesia masih sering berubah. Pendidikan seolah menjadi ajang ‘uji coba’ dan ‘kelinci percobaan’. Ini merupakan bukti nyata bahwa tidak adanya konsistensi terhadap kurikulum pendidikan Indonesia. Ganti pemimpin, kurikulum juga diganti, selain terkesan pemborosan anggaran negara, juga menjadi dilematis bagi guru dan siswa. Sebab, belum ada lulusan dari kurikulum sebelumnya, sudah berganti lagi dengan sistem kurikulum yang baru. Perubahan kurikulum yang lama pada kurikulum yang baru adalah bukti bahwa perlu adanya suatu perubahan dalam lembaga pendidikan agar guru dan siswa tidak mengalami keterbelakangan dalam hal pendidikan.
Perubahan kurikulum yang terus terjadi belum mampu membawa perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dalam survei kualitas pendidikan yang keluarkan oleh PISA, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara. Sungguh bukan prestasi yang patut dibanggakan. Perubahan kurikulum benarkah demi kebaikan anak bangsa atau justru sarat dengan kepentingan sejumlah elite politik negeri ini?
Sampai saat ini pemerintah telah menerapkan kurang lebih tujuh bentuk kurikulum, yaitu Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka.
Tidak dapat dimungkiri dunia pendidikan saat ini merupakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Perubahan kurikulum pastinya akan diikuti dengan perubahan fasilitas pendukung pengajarannya, seperti buku pelajaran dan sebagainya. Hal ini sudah pasti memberi keuntungan bagi produsen buku pelajaran. Karena, sejatinya dalam sistem kapitalis yang diterapkan dalam negara ini standar kebijakannya adalah kepentingan dan keuntungan semata.
Dengan terus berganti kurikulum mustahil akan melahirkan SDM unggul. Mewujudkan SDM yang unggul tidak sekadar dengan slogan semata, tetapi harus diwujudkan secara nyata. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kaum muslim, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS An-Nisa: 9)
Maka haram bagi kaum muslim meninggalkan generasi lemah atau tidak berkualitas. Dalam Islam, SDM yang berkualitas memiliki kepribadian Islam serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dibutuhkan sistem pendidikan yang revolusioner untuk membentuk generasi unggul dan berkualitas.
Oleh karenanya, Islam memandang pendidikan merupakan kebutuhan publik yang harus disediakan negara sebagai bentuk pelayanan kepada rakyatnya. Yaitu, pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, kurikulum yang berbasis pada pembentukan syaksiyah islamiyah (memiliki pola pikir dan pola sikap Islam) serta mampu melahirkan individu yang memiliki kepribadian pemimpin.
Untuk mewujudkannya dibutuhkan sinergitas antara keluarga, guru, dan masyarakat yang ditopang oleh negara dalam melaksanakan sistem pendidikan Islam, terbukti pernah melahirkan generasi emas sepanjang sejarah peradaban dunia. Kondisi ini berlangsung sejak penerapan sistem pendidikan Islam yang dimulai pada masa kepemimpinan Rasulullah saw. sebagai kepala Negara Islam di Madinah, lalu dilanjutkan hingga pada masa kepemimpinan Khulafaurasyidin dan para khalifah setelah mereka sepanjang era Kekhilafahan Islam selama berabad-abad.
Maka, keberhasilan mewujudkan generasi-generasi unggul dan berkualitas bukan dengan uji coba kurikulum. Untuk generasi kok pakai coba-coba. Mereka bukan kelinci percobaan. Jika ingin melahirkan generasi gemilang maka sudah saatnya kita terapkan sistem pendidikan kurikulum berbasis Islam, yang sudah terbukti.