
Oleh: Neti Ernawati
Linimasanews.id—Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Nomor 2023 sebagai acuan perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) kemungkinan tidak lagi digunakan. Saat ini, pemerintah telah memiliki usulan rumus baru dalam penghitungan UMP. Rumus baru tersebut adalah inflasi ditambah nilai alpha, yang kemudian dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi (CNBCIndonesia.com, 07/11/24)
UMP dengan rumus baru dihitung berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi. Bila nilai inflasi Oktober 2024 sebesar 1,71%, pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal III-2024 sebesar 4,95%, dan indeks alpha yang digunakan adalah 0,8 maka kenaikan UMP yang dicapai hanya berkisar 5,67%. Padahal banyak pihak mengeluhkan UMP 2024 tidak mampu mengimbangi biaya kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Lalu seberapa besar kenaikan UMP yang 5% itu mampu memberi perubahan kehidupan para buruh?
Alasan Menekan Upah Buruh
Budi Gunawan, Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan menyebutkan bahwa upah minimum yang tidak terlalu tinggi akan memberikan ruang bagi perusahaan untuk tumbuh. Pasalnya kenaikan upah tinggi di kisaran 8% per tahun seperti masa sebelum pandemi cenderung membuat banyak perusahaan tidak kuat bahkan jatuh. Upah Minimum Provinsi yang terlalu tinggi berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan menyebabkan penurunan rekrutmen pekerja, meningkatkan ketidakpatuhan pekerja pada aturan perusahaan, bahkan dapat mendorong pekerja beralih ke sektor informal.
Bila kemudian UMP yang ditetapkan cenderung memberi kelonggaran perusahaan dan menekan pendapatan buruh, maka buruhlah yang memiliki potensi paling dirugikan. Di sinilah diperlukan ulur tangan pemerintah sebagai pihak ketiga, bukan hanya sebagai penengah. Namun, pemerintah hadir sebagai pelindung pihak perusahaan maupun pihak buruh.
Aturan Buatan Manusia tak Ada yang Sempurna
Upah minimum buruh terdiri dari beberapa jenis sesuai lokasinya, yaitu: Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Sektor. Tingkat UMK lebih tinggi dari UMP karena pertimbangan kondisi ekonomi dan biaya hidup yang lebih tinggi di wilayah kota daripada provinsi. Hal ini tentu saja tidak adil, karena buruh tidak diupah berdasarkan pada kinerja atau tenaga yang dikeluarkan oleh buruh, tetapi disesuaikan dengan standar hidup minimum di daerah mana mereka bekerja. Konsep upah ini jelas membuat buruh hidup dalam keadaan pas-pasan.
Formula pengupahan dan peraturan pemerintah tentang UMP pun telah berkali-kali diubah. Selain karena menyesuaikan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, perubahan tersebut dilakukan lantaran ada beberapa kali permintaan uji materi. Dalam laporan MK, sudah ada 37 kali permohonan uji materi UU No.13/2003. Sebanyak 12 diantaranya telah dikabulkan baik kabul seluruhnya maupun kabul sebagian. Peraturan yang digunakan pun terkesan tidak pakem. Meski UU No.6/2023 telah menggantikan UU No.13/2003, namun sebagian besar putusan terbaru tentang perubahan UU Cipta Kerja ini masih kerap mengacu pada aturan Undang Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hal-hal tersebut jelas menjadi bukti bahwa aturan-aturan yang dibuat memiliki banyak kekurangan dan ketidakadilan. Peraturan buatan manusia cenderung berubah sesuai kepentingan. Mirisnya, peraturan dapat dibuat sesuai keinginan dan kepentingan pihak yang lebih berkuasa. Pada kasus ini, pengusaha bisa saja melakukan kerjasama dengan pemerintah dalam menentukan upah minimum demi keuntungan mereka. Alhasil, buruhlah yang akan dirugikan.
Nasib Buruh dalam Sistem Kapitalisme
Kenaikan upah buruh tahun 2025 yang diperkirakan hanya berkisar 5% dinilai kecil jika dibandingkan dengan tingginya harga kebutuhan hidup saat ini. Kenaikan upah itu pun tidak sepadan dengan kenaikan pajak yang dibebankan kepada rakyat per tahun 2025. Kapitalisme, telah memosisikan buruh sebagai faktor produksi bagi para kapital atau pengusaha. Dengan menekan upah buruh di tingkat minimal, maka pengusaha dapat meraih keuntungan yang maksimal. Penguasa dalam sistem kapitalisme yang hanya berlaku sebagai regulator, sudah barang tentu lebih berpihak pada pengusaha yang mampu memberi keuntungan pada penguasa.
Nasib buruh pun makin terpinggirkan. Buruh yang notabene merupakan rakyat kecil, sudah menanggung biaya hidup, membayar pajak, masih pula harus mendapat upah yang tidak sesuai dengan kinerja. Bagaimana mungkin kesejahteraan buruh dapat tercipta?
Buruh Sejahtera dalam Sistem Islam
Persoalan buruh seperti hari ini tidak akan muncul dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Negara dengan sistem islam memiliki jaminan kesejahteraan bagi semua rakyatnya termasuk buruh. Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan adalah hal yang wajib disediakan negara dengan murah bahkan gratis bagi rakyat, sehingga tidak akan ada rakyat atau buruh yang menderita kekurangan, bahkan harus banting tulang dalam memenuhinya. Begitu pula kebutuhan dalam mendorong kinerja industri. Dengan pengelolaan kekayaan negara, negara akan memberikan bantuan bagi para pelaku industri dalam segi teknologi, kebutuhan energi, suplai bahan baku, hingga distribusi hasil industri, sehingga pengusaha tidak perlu menekan upah buruhnya demi mendapat keuntungan lebih.
Dalam Islam, buruh dibayar sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan yang didasarkan pada kesepakatan. Kalau pun muncul persoalan dalam upah buruh, kasus itu hanya akan bersifat kasuistik atau orang per orang. Negara mengutus khubara untuk menentukan besarnya upah yang sesuai dalam menyelesaikan persengketaan upah tersebut.
Islam tidak membedakan posisi buruh dan pengusaha. Negara tidak akan memprioritaskan salah satunya, karena semua adalah manusia yang berhak hidup layak. Dengan penerapan sistem Islam, kesejahteraan buruh dapat tercipta.