
Oleh: Diana Nofalia, S.P. (Pemerhati Masalah Anak dan Remaja)
Linimasanews.id—Kasus kekerasan seksual terhadap anak makin marak belakangan ini. Baru-baru ini, kita digemparkan lagi oleh kasus serupa yang terjadi di Banyuwangi. Anak berinisial DCN (7) siswi kelas 1 madrasah ibtidaiah (MI), di Banyuwangi ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di tengah kebun. Dia dibunuh dan diperkosa sepulang sekolah pada Rabu (13/11/2024).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur. Dia memastikan bahwa Kementerian PPPA akan mengawal proses hukum kasus tersebut, sekaligus memberikan pendampingan terhadap keluarga korban. “Kami mengutuk keras kekerasan yang diduga menimpa DCN. Dari awal kejadian, kami sudah ada pendampingan di sana, ada psikolog,” ujar Arifah kepada wartawan, Minggu (Kompas.com, 17/11/2024).
Tak hanya di Banyuwangi, di Aceh juga terjadi kasus yang serupa. Polres Aceh Utara menangkap tiga pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Senin (11/11/2024). Kasus itu terungkap setelah ibu korban melaporkan ketiga pelaku ke Mapolres Aceh Utara. Ketiga tersangka MF (23), MS (17), dan NM (15). (kompas.com, 17/11/2024).
Kemen PPPA menyebut bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021. Prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki usia 13—17 tahun sepanjang hidup sebesar 3,65% pada 2021, naik menjadi 8,34% pada 2024. Sedangkan prevalensi kekerasan seksual pada anak perempuan dengan usia yang sama sepanjang hidup pada 2021 berkisar 8,43%, naik menjadi 8,82% pada 2024. Berdasarkan fakta dan data tersebut, tidak dapat dimungkiri lagi bahwa kondisi anak saat ini makin terancam. Di sisi lain, baik keluarga, masyarakat dan negara tidak bisa diharapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak. Hal ini sungguh keadaan yang sangat memprihatinkan dan membahayakan.
Kondisi ini terjadi, tentunya bukan tanpa sebab. Ini adalah dampak penerapan sistem sekular yang merusak naluri dan akal manusia. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kebutuhan mencipta manusia-manusia yang liar dan buas. Sisi kemanusiaannya tergerus dan bahkan hilang. Manusia seperti inilah yang setiap saat dapat mengancam manusia lainnya demi memperturutkan hawa nafsunya.
Kondisi ini juga dipicu oleh tayangan-tayangan media sosial yang secara fulgar mempertontonkan hal-hal yang memicu kekerasan seksual ataupun tindakan kejahatan lainnya. Dengan kata lain, tidak adanya kontrol yang berarti dari penguasa dalam menertibkan tayangan-tayangan yang beredar di media sosial. Disamping itu, kondisi keimanan yang lemah semakin memperparah keadaan ini.
Selain keimanan individu yang lemah, kita juga melihat saat ini mental masyarakat semakin individualis. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk pengawasan ataupun pengontrolan lingkungan yang baik, sehingga pelaku predator anak semakin bebas melakukan tindakan kejahatannya.
Sementara itu peran negara sangat minim dalam melindungi anak dalam berbagai aspeknya, baik dilihat dari sistem pendidikannya yang sekular, maupun sistem sanksi yang tidak menjerakan. Pendidikan ala kapitalis tidak membentuk manusia yang berakhlak, melainkan manusia-manusia yang demi kepentingan pribadinya sanggup melakukan apa pun. Semuanya demi kepentingan pribadi ataupun kelompok. Halal dan haram tak jadi soal.
Dalam Islam, generasi adalah aset kemajuan sebuah peradaban. Aset ini sangatlah penting untuk dijaga fitrahnya dengan pembinaan aqidah Islam sehingga terbentuk kepribadian yang islami dalam individu tersebut. Karakter ini yang akan menjadikan individu tersebut bangkit dan berdaya guna nantinya di masyarakat. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi kekerasan seksual yang terjadi adalah; pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai.
Individu yang bertakwa lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Keluarga yang terpahamkan syariat Islam secara menyeluruh akan melahirkan individu-individu yang saleh yang takut melakukan maksiat. Bentuk keluarga seperti inilah yang mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak di lingkungan keluarga.
Lingkungan keluarga yang islami juga perlu dibarengi dengan masyarakat yang kondusif. Masyarakat tersebut harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama bersumber dari syariat Islam. Lingkungan masyarakat seperti inilah yang akan dapat menekan tindak kejahatan di masyarakat.
Selain dua faktor di atas, negara menerapkan aturan Islam secara menyeluruh sehingga mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Tak hanya sebagai pemberi sanksi yang tegas, penguasa dalam sistem Islam juga berkewajiban senantiasa mengawasi seluruh tayangan media, sehingga tayangan yang tidak bermanfaat ataupun merusak dapat secara cepat ditindak tegas, sedangkan untuk tayangan-tayangan yang mendidik dan bermanfaat diberikan akses yang luas untuk berkembang.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa untuk mengatasi berbagai kasus kekerasan terhadap anak adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh. Sistem inilah yang akan dapat menciptakan individu, masyarakat, dan negara yang bertaqkwa/taat pada syariat dan enggan melakukan maksiat. Wallahu a’lam.