
Oleh: Fathiyah Hasanah, M.Sos.
Linimasanews.id—Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dengan klaim akan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, realitas menunjukkan dampak kenaikan tarif PPN akan langsung dirasakan masyarakat dengan meningkatnya harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok.
Hal ini berujung pada menurunnya daya beli, khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang sudah lebih dulu terbebani oleh situasi ekonomi yang sulit. Hal ini tampak pada beredarnya pesan berlatar biru dengan tulisan “Taxation without representation is a crime” sebagai bentuk protes terhadap kenaikan PPN menjadi 12%. Selain itu terlihat pada seruan frugal living dan mengalihkan daya beli kepada sektor non-pajak di berbagai media sosial (cnbcindonesia.com, 21/11/24)
Alih-alih mendatangkan manfaat, kebijakan ini justru memperdalam kesenjangan sosial dan meningkatkan penderitaan rakyat kecil. Terlebih lagi, korupsi masih merajalela, pemerintah pun gemar berutang, tentunya menambah pesimisme masyarakat.
Problem Sistemis Ekonomi Kapitalis
Kenaikan PPN bukan sekadar persoalan teknis kebijakan fiskal, melainkan mencerminkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang mendominasi tata kelola keuangan negara. Dalam sistem ini, pajak dijadikan salah satu sumber utama pemasukan negara. Selain itu, pemerintah bertindak sebagai regulator dan fasilitator, yang memosisikan diri sebagai pelayan kepentingan korporasi dan pemilik modal daripada fokus mengurus kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, beban pajak yang terus meningkat menunjukkan ketidakadilan dalam pengelolaan keuangan negara. Korupsi yang masih meluas juga mengindikasikan lemahnya integritas pengelolaan anggaran, sehingga upaya peningkatan pajak hanya menjadi alasan untuk menutupi defisit yang disebabkan oleh tata kelola yang buruk.
Ketergantungan pada utang luar negeri juga menjadi salah satu kelemahan utama sistem ekonomi kapitalis. Utang yang besar tidak hanya membebani generasi mendatang, tetapi juga mengurangi kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Perspektif Islam terhadap Kebijakan Pajak
Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab besar sebagai ra’in (pengurus rakyat) untuk memastikan kesejahteraan rakyat, tanpa membebani mereka dengan pajak yang berlebihan. Islam memiliki sistem ekonomi yang komprehensif dengan sumber pemasukan yang jelas dan adil. Di antaranya:
Pertama, kepemilikan umum, meliputi sumber daya alam, seperti tambang, gas, dan minyak. Kepemilikan umum ini dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kepentingan rakyat, digunakan untuk membiayai kebutuhan negara tanpa harus membebankan pajak.
Kedua, kepemilikan negara. Pendapatan dari aset negara, seperti tanah atau fasilitas umum juga digunakan untuk membiayai kebutuhan negara.
Ketiga, zakat. Sebagai salah satu pilar ekonomi Islam, zakat dipungut dari kelompok tertentu dan disalurkan untuk keperluan umat.
Sementara itu, dalam Islam, pajak hanya dijadikan solusi sementara dan bersifat darurat ketika kas negara kosong dan terdapat kebutuhan mendesak yang harus ditunaikan kepada rakyat. Bahkan, dalam kondisi demikian, pajak hanya dikenakan kepada pihak yang mampu, bukan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu.
Pajak yang diberlakukan dalam Islam sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek, objek, maupun tata cara pemungutannya. Dalam sistem Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila kas Baitul Mal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup) dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan Baitul Mal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan Baitul Mal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Artinya, pajak hanya diterapkan secara temporal, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini.
Kenaikan PPN yang membebani rakyat kecil menunjukkan perlunya evaluasi mendasar terhadap sistem ekonomi yang digunakan saat ini. Islam menawarkan solusi yang berkeadilan, dengan mengutamakan pengelolaan sumber daya yang transparan dan amanah. Sudah saatnya masyarakat mempertimbangkan untuk kembali penerapan sistem ekonomi Islam sebagai solusi yang lebih manusiawi dan membawa keberkahan.