
Oleh: Sri Lestari, S.T.
Linimasanews.id—Makin tingginya angka pengangguran saat ini membuat masyarakat Indonesia lebih tertarik untuk mengadu nasib ke luar negeri. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 7, 47 juta orang menganggur. Sungguh angka yang fantastis.
Tingginya minat masyarakat Indonesia menjadi tenaga kerja asing dilatarbelakangi karena sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri. Selain itu, upah kerja di luar negeri lebih tinggi sehingga lebih bisa mencukupi kebutuhan hidup. Mereka yang mencari pekerjaan ke luar negeri berharap mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Sayangnya, masih banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berstatus ilegal. Menurut Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding menyebutkan, setidaknya ada lebih dari lima juta pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal yang bekerja di luar negeri. “Rata-rata (PMI terdaftar) yang berangkat lima juta lebih, dan yang tidak terdaftar lebih dari lima juta juga,” ujarnya (Kompas.com, 17/11/2024).
Menjadi TKI yang ilegal sebenarnya sangat mengancam keselamatan. TKI ilegal sangat rentan mengalami eksploitasi dan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena keberangkatan mereka tidak sesuai prosedural. Di samping itu, minimnya akses informasi terkait ketenagakerjaan di luar negeri menjadi salah satu penyebab utama terjadinya penganiayaan, eksploitasi hingga perdagangan orang menimpa TKI.
Negara Gagal Menyediakan Lapangan Kerja
Persoalan sulitnya lapangan pekerjaaan sehingga mengakibatkan banyak pengangguran, tidak terlepas dari peran negara. Hadirnya sistem ekonomi kapitalis yang membuka lebar kesempatan bagi investor mempengaruhi perekonomian masyarakat. Sebab pada praktiknya, pemerintah tidak begitu mempedulikan pengembangan industri padat karya dan juga sektor pertanian. Alhasil, pemerintah tidak dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Minimnya ketersediaan lapangan kerja juga sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Andai SDA dikelola oleh negara maka akan membuka lebar peluang lapangan pekerjaan. Bukan hanya ekonomi negara yang terselamatkan, melainkan juga ekonomi rakyat. Namun sungguh disayangkan, pengelolaan SDA saat ini diserahkan kepada swasta, bahkan asing. Alhasil, fenomena banjirnya tenaga kerja asing di Tanah Air justru terjadi saat angka pengangguran sangat tinggi.
Inilah dampak sistem ekonomi kapitalis yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Selain itu, sistem ekonomi kapitalis memberikan peluang kebebasan kepada manusia untuk memiliki sesuatu sesuai dengan keinginannya, tanpa melihat cara mendapatkannya benar atau tidak. Akibatnya, wajar terjadi ketimpangan ekonomi. Selain itu, sistem ini melahirkan manusia yang lemah iman, rakus, hingga berpeluang terjadinya kejahatan terhadap sesama manusia, seperti memberangkatkan TKI secara ilegal.
Kondisi ini akan berbeda dengan ekonomi Islam. Ekonomi Islam dibangun di atas dasar kedaulatan hanya milik Allah. Karenanya, negara mengelola SDA sesuai dengan aturan Allah. Dalam Islam, aturan kepemilikan diatur secara jelas. Ada kepemilikan individu, seperti rumah, kendaraan, dan perindustrian. Ada kepemilikan umum, seperti: emas, perak, minyak bumi dan sumber daya alam lainnya. Ada kepemilikan negara, seperti jizyah, harta rampasan perang, dll.
Dengan pembagian kepemilikan, negara akan sangat mudah dalam mengelola harta. Negara akan mengelola kepemilikan umum, hasilnya untuk kepentingan masyarakat umum, seperti pembiayaan sekolah, kesehatan, pelayanan jalan, dan lainnya. Ketika kepemilikan umum dikelola oleh negara tanpa menyerahkan kepada pihak mana pun, maka negara akan banyak menyerap tenaga kerja dan memaksimalkan sumber daya manusia di dalam negeri. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu menjadi TKI ke luar negeri.
Selain itu, negara benar-benar hadir dalam memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan bagi pekerja. Negara hadir dengan menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan pelindung (perisai) masyarakat. Negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Dengan demikian, tampak jelas permasalahan pengangguran bukan permasalahan individu, melainkan permasalahan yang sistematis. Karena itu, dalam menyelesaikannya membutuhkan sistem yang mampu mengurai permasalahan. Saatnya masyarakat diatur dengan sistem yang berasal dari Sang Pencipta, yakni syariat Islam.