
Oleh: Edah Purnawati
Linimasanews.id—Saat ini, kita tengah memasuki musim penghujan. Beberapa hari ke belakang, intensitas Hujan mulai tinggi. Hal ini memicu terjadinya banjir pada beberapa wilayah di Jawa Barat. Sebagaimana Banjir yang melanda komplek CPI. Bagi mereka banjir kini menjadi momok yang tak pernah lepas dari kehidupan warga Komplek CPI. Ona Rohana (56), dia tinggal di sana sejak 1997, dan mengungkapkan kelelahan nya dalam menghadapi bencana tahunan ini.
Banjir tersebut sudah menjadi bagian dari keseharian mereka selama hampir tiga dekade ini, yang di akibatkan oleh luapan sungai Cikambuy dan Cipananggulan. Kata “bosan” bagi Ona sudah tidak bermakna lagi. Banjir kini semakin parah, dengan ketinggian air yang lebih dari satu meter, pada mulanya hanya merendam jalan saja (kompas.com 13/11/2024).
Persoalan banjir seakan tak menemukan jalan keluar, setiap tahunnya pasti terus berulang. Faktor penyebab terjadinya banjir di klaim karena curah hujan yang tinggi. Padahal, hujan adalah rahmat yang Allah turunkan bagi manusia untuk kehidupan, bukan sebagai musibah atau bencana. Adapun faktor utama terjadinya banjir adalah tata kelola kota dan alih fungsi lahan. Daerah yang seharusnya menjadi kawasan resapan air, dialih fungsikan menjadi bangunan dan gedung.
Ini akibat tata kelola dan pengembangan wilayah yang kapitalistik sehingga tidak memperhatikan kepada dampak lingkungan yang diakibatkannya. Riayah buruk dari pemerintahlah yang menjadikan banjir terus berulang. Pembangunan kapitalistik bukanlah spirit pembangunan dalam Islam. Jika kita berkaca pada sejarah, maka akan kita dapati, bahwa pernah berdiri sebuah peradaban gemilang yang mampu mengatasi berbagai permasalahan, termasuk di dalamnya banjir. Menariknya, peradaban gemilang ini adalah peradaban yang dimiliki oleh umat Islam ketika berada di bawah satu kepemimpinan.
Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun 970 masehi, orang-orang Yaman di bawah negara yang berlandaskan sistem Islam telah berhasil membangun Bendungan Parada dekat Madrid, Spanyol. Hingga kini bendungan-bendungan yang dibangun pada masa keemasan Islam masih bisa dijumpai di Kota Kordova. Di antara bendungan masyhur di Kordova adalah bendungan Guadalquivir yang diarsiteki oleh Al-Idrisi. Bendungan ini di desain sedemikian rupa hingga bisa difungsikan untuk alat penggilingan hingga sekarang. Pembangunan Bendungan merupakan upaya negara dalam mencegah terjadinya banjir, yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air hujan.
Selain itu, dalam mengatasi banjir, negara yang mengedepankan syariat Islam sebagai sumber hukumnya, akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air. Lalu selanjutnya, negara membuat peraturan untuk melarang masyarakatnya dalam membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Negara akan membangun kanal-kanal baru atau resapan air juga sumur-sumur resapan, agar daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan. Tidak hanya itu, negara pun akan mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. Jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum bisa mengantarkan bahaya (mudhorot), maka khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan.
Negara juga akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu, sesuai dengan yang ada di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Begitulah, kebijakan negara yang menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan dalam mengatasi banjir. Kebijakan tersebut didasarkan pada nash-nash syariat, tidak hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional saja. Dengan kebijakan dari sistem Islam ini, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas. Hanya negara khilafah yang menerapkan Islam saja, yang akan mampu menyelesaikan segala permasalahan umat, apalagi yang mencangkup keselamatan. Wallahu a’lam.