
Oleh: Novi Ummu Mafa
Linimasanews.id—Bali sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler di dunia sering kali dianggap sebagai simbol keberhasilan pariwisata Indonesia. Pulau ini menjadi dambaan para pendatang. Turis domestik, wisatawan asing, hingga investor.
Namun, di balik pesonanya yang memesona, tersembunyi ironi sosial yang tajam. Fenomena overtourism telah mengubah wajah Bali menjadi mesin kapitalisme global yang mengorbankan kesejahteraan penduduk lokal. Penduduk Bali kini menghadapi tantangan serius, termasuk kesulitan memiliki tanah di tanah kelahiran mereka sendiri (bbc.com, 03-12-2024). Fenomena ini tidak hanya menunjukkan ketimpangan ekonomi, tetapi juga mengungkapkan kegagalan mendasar dari sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang dianut Indonesia.
Overtourism dan Kerentanan Sosial: Bukti Ketidakadilan Struktural
Dalam kerangka kapitalisme sekuler, pariwisata di Bali menjadi komoditas yang dieksploitasi secara maksimal untuk keuntungan ekonomi semata. Para investor dengan kekuatan modalnya mendominasi kepemilikan lahan strategis, sementara masyarakat lokal makin terpinggirkan. Data menunjukkan bahwa harga tanah di Bali telah meningkat secara eksponensial, membuat masyarakat lokal—khususnya generasi muda—kesulitan untuk memiliki tanah. Dengan dalih pembangunan, pemerintah terus mendorong masuknya investasi asing, tetapi gagal melindungi hak-hak masyarakat adat.
Fenomena ini menciptakan ketimpangan ekonomi yang mencolok. Sementara pendatang menikmati keuntungan dari properti dan bisnis, penduduk lokal justru menjadi pekerja marginal di tanah mereka sendiri. Lebih ironis lagi, kebijakan pemerintah cenderung melayani kepentingan korporasi daripada rakyat, menegaskan bahwa demokrasi sekuler sering kali hanyalah alat legitimasi bagi kapitalisme global.
Kegagalan Ideologi Demokrasi Kapitalisme Sekuler
Demokrasi kapitalisme sekuler, yang didasarkan pada kebebasan pasar dan kebijakan liberalisasi, telah gagal menyediakan keadilan sosial. Prinsip “pasar bebas” yang diagungkan justru mengorbankan masyarakat rentan. Di Bali, sistem ini terlihat melalui prioritas pembangunan yang mengutamakan pariwisata massal tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat.
Dalam perspektif ideologis, kapitalisme sekuler secara inheren mementingkan akumulasi modal daripada keseimbangan sosial. Fenomena Bali menunjukkan bahwa demokrasi liberal tidak mampu menghadirkan solusi komprehensif atas masalah ketimpangan struktural. Ketergantungan pada mekanisme pasar tanpa kontrol yang adil hanya memperparah alienasi masyarakat dari tanah mereka sendiri.
Pendekatan Solutif Berbasis Islam
Islam menawarkan solusi holistik terhadap problematika ini melalui penerapan sistem ekonomi berbasis syariah yang berlandaskan keadilan dan kesejahteraan universal. Langkah konkret yang dapat diambil mencakup reformasi kepemilikan tanah dengan mengembalikan hak-hak masyarakat lokal melalui regulasi yang ketat, seperti pembatasan kepemilikan asing dan redistribusi tanah kepada masyarakat adat.
Selain itu, pengelolaan pariwisata berbasis syariah dapat diterapkan dengan mengutamakan prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap budaya lokal yang selama ini terpinggirkan. Ekonomi berbasis wakaf dan zakat juga menjadi solusi strategis. Aset-aset strategis dikelola melalui institusi wakaf demi kemaslahatan umat, sementara distribusi zakat diarahkan untuk memberantas kemiskinan struktural.
Tidak kalah penting, kebijakan lingkungan yang tegas harus diterapkan untuk menghentikan eksploitasi lingkungan atas nama pembangunan, sesuai dengan prinsip Islam yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa solusi berbasis Islam tidak hanya pragmatis, tetapi juga membawa visi keberlanjutan dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat.
Bali sebagai Alarm Kegagalan Sistem Sekuler
Pulau Bali dengan segala keindahannya menjadi saksi nyata atas kegagalan demokrasi kapitalisme sekuler dalam menciptakan keadilan sosial. Krisis yang dialami masyarakat lokal Bali adalah gambaran kecil dari kerusakan sistemis yang lebih besar. Solusi berbasis Islam mengintegrasikan nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan universal menawarkan jalan keluar dari krisis ini.
Hanya dengan meninggalkan paradigma kapitalisme sekuler dan beralih kepada sistem Islam, masyarakat Bali dapat mengembalikan hak mereka atas tanah dan mendapatkan kesejahteraan sejati. Ini bukan hanya solusi pragmatis, tetapi juga langkah ideologis untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkemanusiaan.