
Oleh: Fathimah A. S.
(Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.id—Kriminalitas remaja semakin menjadi-jadi. Baru-baru ini, seorang anak berusia 14 tahun menusuk ayah, nenek dan ibu dengan senjata tajam di rumah mereka di Jalan Lebak Bulus I, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (30/11/2024) dini hari. Peristiwa ini menyebabkan ayah dan nenek tewas. Sedangkan ibu pelaku mengalami luka parah (suara.com, 30/11/2024).
Astaghfirullahaladzim. Sungguh parah kondisi generasi hari ini. Generasi muda yang seharusnya fokus untuk menuntut ilmu, justru begitu mudahnya menyakiti bahkan membunuh orang lain, bahkan orang tuanya sendiri. Padahal, mereka adalah calon-calon pemimpin bangsa. Lantas, bagaimana nasib negeri ini kedepannya bila generasi mudanya saja sudah seperti itu? Tentu kondisinya dapat semakin buruk.
Terlebih lagi, kasus anak membunuh orang tua bukanlah kasus kemarin sore. Melainkan sudah berulang kali terjadi namun minim solusi. Bahkan, dilakukan dengan berbagai jenis dan teknik yang semakin diluar nalar. Tidak hanya di satu daerah saja, namun menjangkiti berbagai penjuru negeri. Maka, problem ini tidak bisa dianggap sebagai kenakalan oknum belaka. Bisa dikatakan, ada yang salah dengan mindset generasi hari ini.
Buah Sekularisme
Bila kita amati, generasi hari ini cenderung mudah tersulut emosi. Ketika ada masalah dengan orang lain, mereka tidak terbiasa menyelesaikannya dengan baik-baik, tetapi justru menggunakan kekerasan. Ketika merasa tersakiti, begitu mudahnya mereka membalas dendam dengan menyakiti orang lain.
Bila kita teliti lebih detail, tentu generasi semacam ini tidak terbentuk tiba-tiba. Lingkungan hari ini membentuk remaja menjadi terbiasa melakukan kekerasan. Seperti yang kita ketahui, dunia saat ini sedang dikuasai oleh sistem kehidupan sekularisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini berhasil mencetak generasi yang krisis jati diri. Remaja tidak mengenal siapa dirinya dan apa tujuan Allah menciptakannya di dunia. Sehingga, bukannya menjadikan syariat sebagai standar berperilaku, remaja justru menjadikan kepuasan jasadiyahnya sebagai penuntun perilakunya. Bila dengan menyakiti dan membunuh orang lain dapat memuaskan emosinya, maka akan ia lakukan. Inilah yang terjadi hari ini. Sering kali kita temui aksi sadis demi pelampiasan emosi.
Sungguh miris kondisi generasi kita. Saat ini, remaja tak memiliki pihak yang mampu mendidik mereka dengan mindset yang benar. Sebab, sekulerisme sudah menjangkiti seluruh elemen, baik keluarga, masyarakat, bahkan negara.
Keluarga, yaitu orang tua, sering kali disibukkan oleh tuntutan ekonomi. Mereka sibuk bekerja sehingga tidak sempat mendidik anak-anaknya agar mampu bersikap dengan benar. Tak pelak, anak-anak yang jauh dari pengakuan orang tua akan menyalurkan eksistensi dirinya dengan cara lain, seperti melakukan tindak kriminal.
Masyarakat saat ini juga tak menjalankan kontrol sosial. Mereka begitu individualis, hanya memikirkan dirinya dan keluarganya saja. Tak peduli dengan kondisi sekitarnya. Padahal, budaya peduli untuk saling menasehati dan mengingatkan merupakan pencegah agar tindak kriminal tidak merajalela.
Negara dengan sistem pendidikannya juga turut menyebarluaskan ide sekulerisme. Terjadi pemisahan pendidikan agama dalam mata pelajaran sekolah. Agama hanya diberikan dengan porsi yang sangat minim, yaitu hanya terkait ibadah ritual. Sebaliknya, remaja tidak pernah dipahamkan terkait siapa dirinya dan bagaimana bersikap benar. Sehingga, banyak dari mereka yang tidak paham betapa besarnya dosa menyakiti bahkan membunuh orang lain.
Karena tidak ada yang mendidik, akhirnya tontonan di media sosial menjadi tuntunan. Remaja terbiasa berjam-jam scroll di medsos. Padahal, mayoritas konten tersebut tidak positif. Banyak konten kekerasan dan perilaku sadis yang biasa dipertontonkan melalui berbagai kanal media. Lantas, bukankah ini menjadikan remaja semakin mudah terinspirasi untuk melakukan tindak kriminal?
Islam: Serius Mendidik Generasi
Perlu adanya penyelamatan generasi untuk menyelesaikan problem kriminalitas remaja. Bila kita bicara tentang solusi terbaik, tentu hanya dari Islam. Sebab, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Taala, Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Islam mengatur berbagai aspek kehidupan, tidak hanya perkara ibadah ritual, melainkan juga hubungan dengan orang lain.
Lembaran sejarah mencatat, pernah ada peradaban agung yang berhasil mencetak generasi berkualitas selama 13-an abad. Generasi di dalamnya bukanlah orang-orang yang haus akan kepuasan duniawi, melainkan sibuk mengejar kehidupan yang abadi. Mereka paham bahwa dunia hanyalah sementara dan akhirat lebih layak diperjuangkan.
Rahasianya adalah penerapan sistem pendidikan berasaskan akidah Islam. Pendidikan tersebut bertujuan untuk mencetak generasi berkepribadian islam yang handal dalam tsaqafah Islam dan Iptek. Di dalamnya, sejak dini generasi dipahamkan terkait jati dirinya, bahwa manusia adalah hamba Allah, yang pasti akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan segala amalnya di dunia. Sehingga, remaja akan terbiasa untuk taat. Selain itu, generasi juga dididik dengan konsep qadha dan qadar yang sahih, sehingga mereka memiliki mental tangguh dan tidak rapuh. Dengan begitu, generasi didalamnya benar-benar fokus untuk memberikan sumbangsih terbaiknya demi peradaban Islam. Mereka akan menjauhi hal-hal yang sia-sia dan maksiat. Setiap detik waktunya benar-benar dimanfaatkan untuk ibadah dan dakwah.
Sistem pendidikan Islam ini tentu tidak berjalan sendirian. Negara juga akan mengelola media agar selalu dalam suasana kebenaran. Konten-konten merusak seperti kekerasan dan sadis tidak akan diperbolehkan untuk tayang di media sosial, meski hanya fiksi semata. Sebab, tontonan akan memengaruhi pikiran bagi yang melihatnya. Justru negara akan menyajikan konten yang bernuansa dakwah dan menumbuhsuburkan ketakwaan.
Dalam suasana islami tersebut, tercipta pula masyarakat islami. Masyarakat yang berperan sebagai kontrol sosial dengan melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Mereka tidak akan membiarkan kemaksiatan merajalela di lingkungan sekitar, sehingga akan selalu menasihati keluarga dan tetangganya agar selalu berpegang teguh pada syariat.
Orang tua juga akan menjalankan perannya dengan baik. Sebab, anak merupakan amanah dari Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Orang tua akan mendidik dan menyayangi anaknya dengan dorongan akidah Islam. Ibu tidak akan menghabiskan waktunya sebagai wanita karir, sebab ia paham bahwa tugas utamanya adalah sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Dengan begitu ibu dapat fokus mendidik anak dan ayah dapat fokus bekerja mencari nafkah.
Sungguh, hanya Islam yang mampu menyelamatkan generasi dan menjauhkan mereka dari perilaku maksiat. Islam yang menjadikan pemimpin sebagai raa’in yang bertanggung jawab atas rakyatnya, termasuk membina generasi. Sayangnya, peradaban Islam yang mampu mewujudkan generasi berkualitas dan takwa tersebut telah tiada. Ia telah diruntuhkan pada 1924. Meski begitu, tentu jangan berputus asa. Masih ada kesempatan bagi kita untuk menjadi orang-orang mulia dengan turut memperjuangkan agama Allah. Mari kita isi hari demi hari dengan aktivitas mengkaji Islam kaffah dan mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bi shawwab.