
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H.
Linimasanews.id—Kenaikan retribusi sampah hingga 500% Kota Medan dikeluhkan warga. Bagaimana tidak? Dengan kondisi ekonomi yang sulit seiring harga bahan pokok yang terus naik, bila ditambah biaya retribusi sampah yang dinaikan Pemko Medan melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebegitu besar, wajar membuat banyak warga mengeluhkan (Viral24.co.id, 19/04/2024).
Di satu sisi, Pemko Medan menyebutkan, kenaikan itu wajar kerena retribusi sampah tidak naik dari tahun 2006. Kenaikan tarif retribusi sampah itu pun berdasarkan Perda Kota Medan Nomor 1 Tahun 2024, sebagaimana disampaikan Muhammad Husni selaku Kepala Dinas Lingkungan Hidup.
Akibat banyaknya keluhan warga, perda ini akhirnya diajukan revisi. Anggota Komisi IV DPRD Kota Medan, David Roni Ganda Sinaga menyatakan bahwa ia mendukung dan mendorong revisi perda tersebut. Menurutnya, ia mendukung langkah pemko memaksimalkan pendapatan daerah dari sektor retribusi sampah. Akan tetapi, cara memaksimalkannya bukan dengan menaikkan tarif retribusi sampah, melainkan dengan memaksimalkan wajib retribusi sampah (WRS). Pasalnya, hingga saat ini sangat banyak warga Kota Medan yang belum terdaftar sebagai WRS sehingga sama sekali tidak membayar retribusi sampah. Tarifnya pun menurutnya harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat (SumutPos.co, 6/5/2024).
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Kota Medan, Tunggul Sihombing yang sekaligus merupakan Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik di Fisip USU mengatakan bahwa tidak perlu menaikkan retribusi sampah jika akhir dari pengelolaan sampah itu hanya dibuang saja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun, Kecamatan Medan Marelan. Kecuali, lanjutnya, jika sampah tersebut bakal dikelola menjadi satu produk yang berguna lainnya.
Tunggul menilai, kenaikan retribusi tanpa ada tujuan yang jelas, artinya pemerintah tersebut tidak mampu. Setelah dinaikan akhirnya direvisi lagi, menunjukkan pemerintah tidak ada kajian dan persiapan matang pada saat Perda ditetapkan. Seolah-olah sampah ini bisa dipermainkan begitu saja (Tribun-Medan.com, 19/4/2024).
Sementara itu, Ketua Pansus Retribusi Daerah DPRD Medan, Afif Abdillah mengatakan, pihaknya telah mengajukkan revisi tarif retribusi sampah dan parkir. Ia menceritakan bahwa awal mula perubahan Perda tersebut dikarenakan Dinas terkait mengajukan perubahan Perda Retribusi karena sudah lama tidak ada perubahan kenaikan tarif retribusi sampah. Pihak DPRD Medan pun menyetujui. Namun, untuk segala kajian dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Medan. Sementara, Kepala Dinas DLH Muhammad Husni telah melihat dan mendengar banyaknya keluhan masyarakat, tetapi ia mengatakan pihaknya hanya menjalankan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh DPRD Medan (Tribun-Medan.com, 29/04/2024).
Saling lempar tanggung jawab bisa kita lihat dari sini. Padahal, permasalahan sampah ini bukan memerlukan retribusi naik, tetapi yang diperlukan adalah solusi. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang memberikan solusi kepada masyarakat, bukan malah memberatkan masyarakat. Apalagi hanya dengan alasan sudah lama tidak ada kenaikan.
Apakah di negeri ini memang segala sesuatu harus naik jika tidak pernah naik? Model Kebijakan macam apa ini? Kebijakan yang membuat warga menjadi terbebani pun harus tetap dipaksakan hanya karena telah diatur dalam ketetapan perda ataupun undang-undang dan peraturan lainnya.
Hukum dibuat memang untuk memaksa, namun memaksa untuk menjadi lebih baik dan teratur bukan memaksa untuk membebani. Akan tetapi, sistem demokrasi yang merupakan anak dari sistem kapitalis dengan semangat jargonnya, yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, faktanya rakyat selalu berada di posisi yang lemah. Seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat seharusnya menjadi fokus perhatian. Faktanya, rakyat tertindas dan tertekan akibat segala kebijakan yang ditetapkan.
Hal ini wajar karena dalam sistem demokrasi, yang berhak membuat hukum/aturan adalah manusia yang serba kurang, lemah, dan terbatas. Hukum/aturan yang dibuat secara alamiah akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian karena belum tentu sesuai untuk semua. Akhirnya, wajar hukum/aturan tersebut dibuat untuk kepentingan segelintir orang. Sebab, sistem kapitalis-demokrasi yang berstandar pada materi/modal akan selalu berpihak kepada pemilik modal.
Sampah dalam Sistem Islam
Sistem Islam merupakan sistem yang berdiri atas dasar akidah Islam yang memberikan hak membuat hukum hanya kepada Sang Khaliq (Allah Swt.). Syariat Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga seluruh lini kehidupan manusia, dengan menerapkan Islam dalam sebuah institusi, yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Syariat Islam diterapkan untuk kemaslahatan umat/rakyat. Karenanya, dalam Daulah Islam, tidak akan ada saling lempar tanggung jawab dalam kebijakan karena semua yang diterapkan adalah hukum syariat yang berasal dari Sang Khaliq. Selain itu, dalam sistem Islam, setiap pejabat menjalankan amanah jabatannya, bukan hanya untuk duniawi, tetapi juga ukhrawi. Yakni dengan kesadaran semua akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Tinta sejarah telah menorehkan fakta bahwa dengan sistem Islam, sampah dikelola dengan baik, tanpa membebani rakyat. Pengelolaan sampah pun sudah lama dilakukan oleh Islam, jauh sebelum Eropa yang saat itu masih tertinggal dalam masalah pengelolaan sampah.
Sejarah kekhilafahan telah mencatat mengenai pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah-sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Mereka adalah tokoh-tokoh intelektual muslim yang memilki potensi untuk menemukan konsep pengelolaan sampah yang pada saat itu Eropa belum memilki sistem pengelolaan sampah. Saat itu masyarakat Eropa membuang sampah di depan-depan rumah mereka hingga jalan-jalan kotor dan berbau busuk.
Dalam pandangan Islam, pengelolaan sampah merupakan upaya preventif dalam menjaga kesehatan. Kesehatan ini juga dijamin dalam Islam, selain pendidikan dan keamanan. Pengelolaan sampah bukan hanya bertumpu pada kesadaran dan kebiasaan masyarakat. Tiga komponen harus bekerja sama, yaitu individu, masyarakat dan negara.
Ketiga komponen haruslah memiliki paradigma yang sama dan mendasar, yakni aqidah Islam. Jika tidak ada kerjasama antara tiga komponen ini maka denda saja sebagai kebijakan untuk mengatasi masalah sampah, ini tidak akan cukup dan tidak akan efektif.
Dalam ranah individu, akidah Islam punya standar halal-haram. Seorang muslim dilarang membuang sampah sembarangan. Dalam skala masyarakat, jika ada pelaku industri yang menghasilkan sampah dalam jumlah banyak dan macam-macam sampah yang berbeda penanganannya, maka dibutuhkan peran pemerintah yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan sampah dalam masyarakat tersebut. Selain itu, pemerintah akan secara masif menyampaikan kepada masyarakat bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab dalam menjaga kebersihan lingkungan yang merupakan perintah dari Sang Khaliq.
Pemerintahan Islam sebagai pelayan masyarakat memastikan keberadaan sistem dan instalasi pengelolaan sampah di lingkungan pemukiman yang tidak dapat mengelola sampah secara individual, seperti di apartemen, rumah susun, dan permukiman padat, misalnya. Pemerintah harus mencurahkan segala sumber daya agar sampah terkelola dengan baik. Dana akan dicurahkan untuk mengadakan instalasi pengelolaan sampah. Pemerintah mendorong ilmuwan menciptakan teknologi-teknologi pengelola sampah ramah lingkungan, lalu mengadopsinya untuk diterapkan.
Dengan diterapkannya syariah di setiap lini kehidupan dalam institusi Daulah Khilafah, masalah sampah akan tuntas. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang sesuai fitrah kita sebagai manusia. Dengan begitu, hidup menjadi berkah.