
Suara Pembaca
Pemerintah akan merealisasikan kenaikan PPN 12℅ mulai awal tahun 2025. Tentu dampaknya akan dirasakan berbagai pihak, baik produsen maupun konsumen. Sehubungan dengan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Bekasi, tengah mengajukan penundaan mengingat kondisi perekonomian belum membaik. Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi (Darwoto) menjelaskan, kenaikan pajak berpengaruh terhadap harga jual barang, sekaligus menambah biaya produksi, seperti bahan baku barang mewah yang terkena pajak (22-12-24).
Ditambah lagi, pemerintah juga menetapkan kenaikan upah bagi karyawan 6,5 persen. Ini artinya pengusaha akan lebih banyak lagi pengeluaran. Ini memengaruhi besarnya biaya produksi dan berdampak pada tingginya harga jual, sehingga menurunkan angka permintaan. Kenaikan PPN ini pun akan berdampak kalah saing dengan produk impor dikarenakan persaingan harga sedangkan kualitasnya sama. Alhasil, akan berpengaruh pada turunnya profit perusahaan.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terhambat, tidak sesuai target, yaitu mencapai di atas 5 persen. Padahal, tujuan negara menaikkan pajak adalah untuk perbaikan ekonomi dan pembangunan serta meningkatkan perekonomian masyarakat, karena pajak salah satu sumber utama pendapatan negara di sistem kapitalisme ini.
Sungguh, menaikkan pajak bagai buah simalakama. Pengusaha merugi dan daya beli masyarakat, terutama menengah ke bawah (sebagai konsumen) makin terpuruk. Dampaknya, ketimpangan ekonomi tak terelakkan. Keinginan menyejahterakan rakyat pun tak membuahkan hasil.
Seharusnya negara dapat mengelola sumber daya alam yang melimpah di negeri ini untuk kemakmuran rakyat. Dengan begitu, negara tidak kesulitan memperoleh sumber pemasukan. Namun, saat ini mengapa terlihat sulit? Ini dikarenakan kebebasan yang dianut dalam sistem kapitalisme. Kepemilikan umum dimiliki oleh individu dan golongan (swastanisasi).
Padahal, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk bidang ekonomi. Dalam Islam, negara memiliki sumber keuangan dari pengelolaan SDA (sumber daya alam), zakat, kharaj, jizyah, fai, dll. Kalaupun negara memungut pajak (dharibah), hanya ketika kas negara kosong. Artinya, bersifat insidental. Itu pun hanya dipungut dari aghnia (orang kaya), bukan dibebankan pada lapisan masyarakat seluruhnya. Dalam sistem Islam, negara tidak perlu memungut pajak untuk mendanai kebutuhan negara, pengusaha pun mendapat perlindungan dan tidak terbebani banyaknya pengeluaran produksi, sehingga tercapailah stabilisasi ekonomi.
Pemimpin negara harusnya bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Sebab, ia sebagai raa’in (pengurus) rakyat dan pelayan rakyat. Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hanimatul Umah
Muslimah Bekasi