
Oleh: Lisa Herlina
(Kontributor LinimasaNews)
Linimasanews.id—Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dimulai sejak 6 Januari 2025 lalu. Respons dari berbagai pihak mulai bermunculan. Ada yang pro dan kontra atas kebijakan yang di gadang-gadang berpotensi menjadi Program Strategis Nasional (PSN) pertama yang bukan dalam aspek infrastruktur ini. Menurut juru bicara istana, Adita Irawati program MBG ini menyasar sekitar 600 ribu orang di wilayah perkotaan dan kabupaten yang sudah pernah menjalankan uji coba beberapa bulan terakhir. Angka itu jauh dari target awal Badan Gizi Nasional yang menyasar 3 juta anak di bulan pertama (Tirto.id, 06/01/25).
Sejumlah pengamat menilai penurunan jumlah sasaran tersebut karena ketidakpastian infrastruktur dan fasilitas di lapangan. Menurut proyeksi, program ini bisa dinikmati oleh 15 juta sasaran pada akhir 2025 dengan target seluruh siswa di Indonesia baik dari sekolah negeri, swasta, dan pesantren. Dilansir dari beberapa media, program baru MBG yang saat ini mulai berjalan berdampak pula bagi kantin sekolah yang omsetnya menurun, timbul oknum nakal yang mencari partner bisnis katering dengan iming-iming kerja sama hingga ditemukannya pungli dilingkungan sekolah untuk tempat makan bergizi gratis.
Makan Bergizi dan Anggaran Fantastis
Makan bergizi adalah pola hidup sehat yang didamba banyak orang agar tubuh sehat, modal beraktivitas. Di era sistem hari ini, makanan bergizi langka didapat dan bukanlah menjadi role model kehidupan. Makanan siap saji, instan dan dengan ragam menu ala barat lah yang berseliweran. Hadirnya menu makan bergizi apalagi gratis dari kebijakan pemerintah seakan membawa angin segar bagi rakyat. Namun, lagi-lagi kebijakan baru tentu memunculkan respon positif dan negatif. Ada yang berterima kasih ada pula yang memberi saran menu dan rasa agar diperhatikan, karena kalau tidak dimakan, siswa tidak terpenuhi kebutuhan gizinya dan mubazirnya makanan tersebut. Juga polemik pendistribusian untuk daerah pedalaman yang belum merasakan euforia MBG ini.
Di beberapa negara seperti Amerika, Jepang, Finlandia, Brasil, Swedia menjadi penyedia makanan bergizi di sekolah melalui undang-undang telah diatur. Dari sana, Indonesia karena selalu mengikuti kesuksesan negara lain, tak peduli berhasil atau tidak yang utama adalah buat saja dulu, salah satu ciri kebijakan populis.
Selain itu, prioritas pemerintah Prabowo-Gibran di periode ini berupa anggaran MBG yang awal mulanya 15 ribu kemudian dipangkas menjadi 10 ribu per porsi. Terlihat jelas belum matangnya persiapan baik dari tahapan maupun finansial. Perlu diketahui, sejak awal bergulirnya program MBG ini antusiasme tampak di banyak pihak terutama dikalangan pengusaha dalam dan luar negeri. Cina dikabarkan berinvestasi sebanyak Rp157 triliun dan bantuan dana untuk MBG.
Atas inisiasi Kadin, kurang lebih 20 perusahaan dari dua negara terlibat di bidang manufaktur, ketahanan pangan, kesehatan, keuangan dan hilirisasi. Kementerian Pertanian sendiri berkomitmen untuk mengimpor sapi perah dan sapu pedaging mendukung program MBG ini. Tak ketinggalan Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk delapan perusahaan BUMN untuk menyukseskan antara lain BRI, Mandiri, BNI, Telkomsel, PLN, ID Survey, Pupuk Indonesia, juga berebut proyek basah vendor-vendor katering
Adapun anggaran MBG ini mencapai Rp 71 triliun. Anggaran tersebut diambil dari dana APBN (selama tidak ada perubahan). Rinciannya adalah Rp63,356 triliun untuk pemenuhan gizi nasional dan Rp7,433 triliun untuk program dukungan manajemen. Program ini juga melibatkan banyak pihak mulai dari sekolah, petani, peternak, transportir, ahli gizi dan pemerintah daerah. Sementara itu, anggaran dari pusat Rp10 ribu/porsi, lalu berapa ribu yang sampai ke perut?
Kita lihat di beberapa kota misalnya Medan bisa untuk membeli nasi dengan lauk telur atau ayam. Sementara di Palembang, Makassar, Gorontalo menunya lebih bisa beragam. Namun di Papua dan Maluku hanya bisa membeli nasi, sayur, tempe dan tahu atau hanya kerupuk. Kemudian susu sapinya bagaimana? Jika tak ada susu, diganti daun kelor apa jadinya? Seakan-akan pemerintah setengah hati melayani.
Islam dan Kesehatan Anak
Dalam Islam, sumber daya manusia menjadi prioritas untuk diurusi. Belum lagi kualitas gizi anak menjadi tanggungjawab negara dalam memastikannya. Berapapun biayanya negara menjadi tameng agar terpenuhinya kebutuhan rakyat baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, papan. Dalam hal pemenuhan gizi, MBG masuk kepada salah satu tanggung jawab nafkah seorang kepala keluarga. Negara juga wajib memastikan tak ada satu pun warga negara yang kelaparan. Sebagaimana Amirul mukminun, Umar bin Khattab yang berkeliling di malam hari hanya untuk memastikan terpenuhi tidaknya pangan rakyat. Bukan hanya itu, beliau juga memanggul gandum dengan punggungnya dari Baitul mal untuk diberikan kepada keluarga yang membutuhkan, beliau pula yang dikabarkan memasaknya di salah satu rumah warganya itu.
Harta di Baitul mal langsung diperuntukkan untuk rakyat yang membutuhkan. Besarannya tidak berbilang nominal, hingga keluarga tersebut tidak lagi kelaparan. Tentu saja ini semua mudah dalam Islam. Islam anti ribet. Islam teratur, terukur, dan menenteramkan hati. Dalam Islam, program makan bergizi gratis tak akan menjadi opsi ketika anak-anak memerlukan asupan gizi. Sejatinya, orang tua yang mengurusi dan negara sebagai pelayan sekaligus pelindung (raa’in wal junnah).
Dua peran dalam satu kepemimpinan yang berlandaskan syariat Islam ini menjadi indikasi terwujudnya sistem yang adil dan merata. Didukung dengan berbagai mekanisme dalam aturan negara yang memastikan tak ada warga yang kelaparan. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki yang sudah akil balig. Belum lagi dalam hal keteraturan di rumah yang ditinggali. Bagaimana Islam memperhatikan kebersihan, pencahayaan, sumber air bersih, ramah lingkungan, aman, nyaman, ventilasi, sanitasi, dll.
Tentu saja hal ini tak dapat ditemui dalam sistem hari ini, karena sistemnya jauh dari aturan Allah, sekulerisme yang memisahkan urusan kehidupan dengan Allah Al Mudabbir (Maha Pengatur). Islam sangat layak dijadikan tuntunan dalam mengelola dan mengatur setiap masalah kehidupan. Apalagi jika cuma menyangkut hal makanan bergizi, tentu saja Islam pernah menjadi contoh.
Makanan yang halal lagi baik menjadi salah satu sumber kesehatan generasi. Sumbernya halal dari pengelolaan SDA yang dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat termasuk air, api, Padang rumput yang tidak boleh dinikmati segelintir orang, tetapi merupakan hak bagi manusia. Jika saja mau mengambil Islam sebagai aturan insya Allah tidak akan terjadi kelaparan, kebodohan, dan kebingungan di sana sini.
Islam memandang anak adalah calon generasi mendatang yang harus dijaga dan dipenuhi hak-haknya. Islam menuntut pemenuhan hak-hak anak tersebut dan mewajibkan hadirnya negara. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Maka dalam hal ini, negara wajib menjamin pemenuhan hak anak yang hakiki, mulai dari hak sehat, hak pendidikan, hak nafkah, hak hidup, hak berkembang biak, dll tanpa terkecuali. Wallahualam bisawab.