
Oleh: Rini Sulistiawati
(Pemerhati Masalah Pendidikan)
Linimasanews.id—Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Namun, realitas yang kita hadapi saat ini sering kali jauh dari janji konstitusi. Pendidikan gratis, terutama bagi mereka yang berada di pelosok atau dari kalangan kurang mampu, sering kali hanya menjadi mimpi yang tak kunjung nyata.
Baru-baru ini, kasus seorang siswa SD di Medan yang dihukum belajar di lantai karena menunggak SPP selama tiga bulan menjadi sorotan publik. Menko PMK Muhaimin Iskandar menyatakan keprihatinannya terhadap kejadian tersebut dan menekankan pentingnya mencari solusi agar kasus serupa tidak terulang (kompas.com, 11/1/2025).
Kasus ini mencerminkan bahwa masih ada praktik di lapangan yang tidak sejalan dengan semangat konstitusi dalam menjamin hak pendidikan bagi setiap warga negara. Meski pemerintah telah menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat 4, pelaksanaan di lapangan masih banyak menyisakan masalah. Banyak sekolah yang masih membebankan biaya tambahan kepada siswa dalam bentuk iuran, sumbangan sukarela, atau pungutan lain yang tidak resmi. Hal ini tentu bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar.
Ketimpangan akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga menjadi tantangan besar. Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan fasilitas, guru, dan akses teknologi. Akibatnya, hak warga negara untuk mengembangkan diri melalui pendidikan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (1) tidak terpenuhi secara merata.
Jika pendidikan adalah hak fundamental yang dijamin konstitusi, mengapa masih banyak anak putus sekolah akibat ketidakmampuan membayar biaya pendidikan? Mengapa pendidikan, yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, justru menjadi beban bagi keluarga miskin?
Kita membutuhkan kebijakan yang lebih konkret dan pengawasan yang ketat agar anggaran pendidikan benar-benar digunakan untuk kepentingan siswa, bukan sekadar angka di atas kertas. Pemerintah juga harus memastikan bahwa sistem pendidikan nasional tidak hanya mencakup pendidikan dasar, tetapi juga memperhatikan akses yang setara ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan gratis bukan sekadar mimpi, tetapi amanat konstitusi. Untuk mewujudkannya, diperlukan kerja sama yang sinergis antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan. Anggaran pendidikan harus dikelola secara transparan dan tepat sasaran. Selain itu, perhatian khusus perlu diberikan kepada daerah tertinggal agar tidak ada lagi anak Indonesia yang kehilangan masa depan hanya karena tidak mampu bersekolah.
Dalam sistem Islam, pendidikan bukan sekadar hak, tetapi juga kewajiban yang dijamin oleh negara. Islam memandang pendidikan sebagai elemen penting dalam mencetak generasi yang bertakwa, berilmu, dan memiliki kontribusi besar bagi umat. Hal ini tercermin dalam kebijakan para khalifah terdahulu yang memastikan pendidikan gratis untuk semua lapisan masyarakat.
Para khalifah seperti Umar bin Khattab dan Harun al-Rasyid mengimplementasikan sistem pendidikan yang inklusif dan gratis. Negara menyediakan madrasah-madrasah dan institusi pendidikan yang tidak membebani rakyat. Semua biaya pendidikan, termasuk gaji guru dan fasilitas belajar, ditanggung oleh negara melalui Baitul Mal (kas negara).
Dalam Islam, anggaran negara dikelola dengan prinsip keadilan dan transparansi. Khalifah memastikan bahwa harta dari zakat, fai’, kharaj, dan sumber pendapatan negara lainnya dialokasikan untuk kebutuhan umat, termasuk pendidikan. Dengan ini, tidak ada alasan bagi seorang anak untuk tidak bersekolah karena faktor ekonomi.
Sistem pendidikan Islam tidak hanya mengajarkan ilmu dunia, tetapi juga memprioritaskan akhlak dan ketakwaan. Tujuannya adalah membentuk manusia yang memiliki karakter mulia dan kompetensi tinggi untuk membangun masyarakat yang beradab.
Khalifah sebagai pemimpin umat memiliki tanggung jawab langsung atas pendidikan. Dalam sistem Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat, sehingga mereka memastikan kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan, terpenuhi.
Untuk mewujudkan mimpi pendidikan gratis, Indonesia dapat belajar dari prinsip-prinsip Islam kaffah dalam mengelola pendidikan.
Anggaran pendidikan harus dikelola dengan amanah dan transparansi, sesuai prinsip keadilan. Pemotongan anggaran untuk kepentingan lain harus dihindari. Negara perlu menanamkan nilai bahwa pendidikan adalah investasi untuk menciptakan masyarakat yang bertakwa, cerdas, dan berdaya saing, sebagaimana yang ditekankan dalam Islam. Pemerintah harus bertindak sebagai pelayan rakyat, memastikan semua warga negara mendapat pendidikan tanpa hambatan ekonomi.
Masyarakat harus aktif mendukung pendidikan melalui kerja sama dengan pemerintah, seperti mendirikan sekolah swadaya atau menyumbang bagi yang membutuhkan.
Saatnya kita bersama menagih janji yang telah termaktub dalam konstitusi. Pendidikan bukanlah beban, tetapi investasi bangsa untuk menciptakan generasi yang cerdas, berakhlak, dan berdaya saing. Jangan biarkan mimpi pendidikan gratis terkubur oleh kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi hak yang dapat dinikmati oleh semua anak Indonesia, tanpa terkecuali.
Pendidikan gratis bukan hanya mimpi, tetapi kenyataan yang pernah diwujudkan dalam sistem Islam. Ketika pemerintah dan masyarakat bekerja sama berdasarkan nilai-nilai Islam, pendidikan yang merata dan berkualitas bukanlah hal mustahil. Kini saatnya Indonesia menatap kembali pada prinsip-prinsip tersebut untuk menciptakan generasi emas yang membawa perubahan bagi bangsa dan dunia.