
Oleh: Shabrina Nibrasalhuda
(Mahasiswi)
Linimasanews.id—Polresta Bandung saat ini tengah menyelidiki dugaan korupsi yang melibatkan mantan Kepala Desa Malasari, yang menjabat pada periode 2017-2023. Kasus ini berkaitan dengan pengelolaan anggaran Alokasi Dana Perimbangan Desa (Raksa Desa) serta Bantuan Provinsi Jawa Barat untuk tahun anggaran 2021 dan 2022.
Kasat Reskrim Polresta Bandung, Kompol Oliestha Ageng Wicaksana, mengungkapkan adanya indikasi kuat bahwa sebagian besar anggaran tersebut dikelola langsung oleh terlapor tanpa melibatkan Pejabat Penyelesaian Kerugian Daerah (PPKD) dan Tim Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD) yang sebelumnya telah dibentuk. Ia juga menyebutkan terdapat kegiatan yang seharusnya dibiayai oleh dana desa, tapi tidak terealisasi, diduga karena anggaran tersebut disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. (Tribunnews.com, 01/01/2025)
Menurut audit Inspektorat Kabupaten Bandung, kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp454.465.145. Dugaan tindak pidana ini melanggar Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Proses penyidikan telah berlangsung sejak Juni 2024, dan saat ini berkas perkara telah dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan. Selanjutnya, tersangka dan barang bukti akan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Bale Bandung. Jika terbukti bersalah, pelaku akan dikenai sanksi hukum sesuai peraturan yang berlaku.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merusak sendi kehidupan masyarakat dan negara. Sebagaimana terlihat dari kasus yang melibatkan mantan Kepala Desa Malasari dalam pengelolaan anggaran desa. Meski demikian, vonis ringan terhadap para koruptor kerap kali tidak memberikan efek jera, malah melahirkan generasi baru pelaku korupsi.
Kondisi ini diperparah oleh isu pemberian amnesti dan denda damai yang justru bisa menjadi preseden buruk dan menguatkan anggapan bahwa Indonesia adalah surga bagi koruptor. Sepanjang 2024, terungkap 1.280 kasus korupsi, tapi hanya 431 kasus yang terselesaikan. Hak ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum terhadap korupsi.
Ada lima potret buram pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, hukuman untuk koruptor terlalu ringan, dengan rata-rata vonis hanya 3 tahun 4 bulan penjara. Kedua, hukuman penjara tidak diikuti dengan upaya memiskinkan pelaku, sehingga mereka tetap dapat menikmati kekayaan hasil korupsi. Ketiga, keberadaan penjara mewah yang memberikan fasilitas khusus bagi koruptor, menjadikan hukuman seperti liburan sementara. Keempat, mantan koruptor masih memiliki peluang mengikuti pemilu. Kelima, mereka juga tetap bisa menjadi pejabat publik, berkat celah hukum yang ada dalam sistem demokrasi.
Sistem demokrasi kapitalistik di Indonesia membuka peluang korupsi karena mahalnya biaya politik. Dalam sistem ini, kekuasaan tidak jarang diperoleh melalui transaksi politik antara calon pejabat publik dan partai politik. Bahkan, calon yang kurang kompeten atau memiliki riwayat korupsi tetap dapat maju selama memenuhi syarat administratif.
Demokrasi yang berbiaya tinggi mendorong para pejabat untuk mencari cara mengembalikan modal kampanye, salah satunya melalui korupsi. Selain itu, adanya konflik kepentingan antara penguasa dan pemilik modal membuat upaya pemberantasan korupsi sering kali hanya menyasar pelaku-pelaku kecil, sementara skandal besar yang melibatkan elite tidak diusut tuntas.
Korupsi, sebagaimana kasus yang melibatkan mantan Kepala Desa Malasari, mencerminkan kelemahan mendasar dalam sistem hukum dan politik yang ada. Sistem ini cenderung memberikan celah bagi praktik kejahatan untuk terus berkembang tanpa efek jera yang signifikan. Penanganan korupsi memerlukan reformasi mendalam, tidak hanya dalam aspek hukum, tetapi juga pada sistem politik yang menjadi akar masalah.
Upaya pemberantasan korupsi harus diarahkan untuk menciptakan hukum yang tegas, transparan, dan bebas dari intervensi pihak-pihak berkepentingan, sehingga mampu memberikan keadilan sekaligus menutup peluang bagi praktik korupsi di masa depan. Dalam Islam, korupsi dianggap sebagai perbuatan haram dan pelakunya berdosa. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang diberi tugas dan diberikan rezeki (gaji) oleh kami, kemudian dia mengambil lebih dari itu, maka itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud)
Rasulullah juga mengingatkan, “Barang siapa yang melakukan ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan itu pada hari kiamat.” (HR At-Tirmidzi)
Gratifikasi juga termasuk dalam kategori ghulul, sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah haram dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur.” (HR Ahmad)
Islam tidak hanya memberikan pemahaman konsep, tetapi juga memberikan solusi nyata untuk menanggulangi korupsi dengan menutup semua celah yang dapat memfasilitasi perbuatan tersebut. Pada tingkat dasar, sistem Islam membentuk akidah umat melalui pendidikan, halaqah para ulama, dakwah, serta penyebaran konten Islami di media massa dan sosial. Dengan cara ini, umat Islam diajak untuk memiliki kontrol diri dan selalu taat pada syariat, sekaligus menjauhi segala bentuk kemaksiatan, termasuk korupsi.
Selain itu, sistem Islam (Khilafah) mengatur perekrutan pejabat dan pegawai negara sesuai dengan syariat, yakni hanya orang-orang yang adil yang dapat menjadi pejabat. Sedangkan mereka yang fasik, termasuk pelaku korupsi, dilarang menjabat. Khilafah juga rutin memeriksa kekayaan para pejabat dan membandingkannya dengan keadaan mereka sebelum menjabat. Apabila terdapat kenaikan harta yang tidak wajar, pejabat tersebut diwajibkan untuk mempertanggungjawabkan asal usul kekayaannya. Jika tidak mampu menjelaskan, hartanya akan disita dan dimasukkan ke baitulmal.
Khilafah menegakkan hukum dengan adil dan tanpa pandang bulu, memberikan sanksi tegas bagi koruptor. Setiap koruptor yang terbukti bersalah, meskipun anggota keluarga pejabat, akan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diumumkan di media massa sebagai bentuk sanksi sosial. Selain itu, kadi akan menetapkan hukuman takzir, yang didasarkan pada ijtihad khalifah atau kadi. Hukuman bagi korupsi bisa mencapai hukuman mati, atau penjara, pengasingan, atau denda, yang bertujuan memberi efek jera pada pelaku dan menebus dosanya di akhirat.
Sistem Islam juga menjamin kepastian hukum, tanpa pandang bulu, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra., yang menegur putranya karena memelihara unta yang berasal dari baitulmal secara pribadi. Unta tersebut kemudian dijual dan keuntungannya dimasukkan ke baitulmal. Ketegasan ini menunjukkan bahwa korupsi, baik yang melibatkan diri sendiri maupun keluarga, tidak akan dibiarkan. Dengan penerapan sistem ini, Insya Allah seluruh negeri akan terbebas dari korupsi.