
Oleh: Neti Ernawati
(Ibu Rumah Tangga)
Linimasanews.id—Bencana banjir dan tanah longsor sudah menjadi bencana langganan pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca dengan intensitas hujan ringan hingga tinggi yang tengah mendominasi sebagian besar wilayah di Indonesia. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan bencana hidrometeorologi ini terjadi di sejumlah wilayah mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat (NTB). Banjir terjadi di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Sedang banjir dan longsor terjadi di beberapa wilayah di Jawa (cnnindonesia.com, 11/01/25).
Banjir juga merusak camp/selter di kawasan industri pertambangan nikel milik PT Surya Amindo Perkasa di Desa Ganda Ganda, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara pada pekan sebelumnya. Banjir ini menyebabkan satu korban meninggal, dan lainnya terluka, serta pemukiman (mess) pekerja yang rusak (cnnindonesia.com, 04/01/25)
Meski banjir telah menjadi musibah tahunan, belum tampak adanya langkah serius pemerintah dalam usaha antisipasi atau pun mitigasi bencana tersebut. Terlebih bila bencana memakan banyak korban baik berupa harta maupun nyawa. Hal ini jelas menjadi ancaman bagi keselamatan masyarakat. Padahal bencana yang terjadi berulang harusnya telah memunculkan pengalaman, dan kemampuan untuk antisipasi. Namun, seolah muncul asumsi bahwa bencana sengaja terabai, agar keuntungan tercapai.
Seperti halnya yang terjadi pada lahan sawit. Meski para ahli memberikan pernyataan bahwa deforestasi dapat mengakibatkan berbagai masalah termasuk terjadinya bencana, tetap saja pembukaan lahan sawit dilakukan. Pernyataan presiden tentang pembukaan lahan sawit (deforestasi) yang dinilai tidak membahayakan, justru banyak dijadikan acuan pada pembukaan lahan. Bila sudah terjadi bencana sesama lembaga negara acap kali saling tuding, saling lepas tangan atau justru menyalahkan takdir.
Siapa sangka, bencana-bencana yang terjadi justru berasal dari ulah tangan manusia yang serakah mengeksploitasi hutan dan sungai. Ekploitasi merusak ekosistem dan mendatangkan ancaman bencana. Bencana Banjir dan tanah longsor merupakan akibat pembangunan ala kapitalisme yang memberi ruang kebebasan bagi oligarki untuk mengubah lahan serapan menjadi lahan bisnis, abai pada keselamatan rakyat dan kerusakan alam.
Dengan dalih demi pertumbuhan ekonomi, aturan tata kota sudah tidak lagi dipatuhi. Daerah arus sungai, pegunungan, atau pun pinggir pantai kini marak dibangun untuk tujuan pariwisata, resto, ataupun penginapan. Izin pendirian bangunan, maupun pembukaan lahan dengan mudah diberikan asal ada komisi yang menguntungkan.
Pemisahan aturan agama dari kehidupan telah membuat pemangku kekuasaan melupakan amanah sebagai pengurus negara yang baik. Keselamatan rakyat dengan mudah digadai dengan sejumlah harta sebagai komisi dalam pembangunan proyek, tanpa ada rasa peduli pada dampak lingkungan yang akan terjadi. Mitigasi yang lemah menjadi bukti negara tidak mampu menjadi raa’in. Negara yang seharusnya berkewajiban mengurus dan melayani rakyat, justru hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi para pemilik modal.
Kapitalisme menciptakan rasa abai pemerintah pada rakyatnya. Nafsu keserakahan membuat semua pihak fokus pada eksploitasi untuk mengeruk keuntungan dan melupakan amanah atas pengurusan pada rakyatnya. Padahal, negara wajib menjamin keamanan dan kenyamanan hidup rakyatnya. Negara yang mempertaruhkan nyawa rakyatnya pada medan yang berbahaya adalah negara yang tidak bertanggung jawab. Keselamatan rakyat harus menjadi prioritas.
Sudah saatnya negara menghentikan kegiatan-kegiatan yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Negara harus sadar, membangun pertumbuhan ekonomi dengan perusakan lingkungan yang melampaui batas tidak akan mendatangkan keberkahan. Negara harus kembali pada tata aturan kehidupan sesuai perintah Allah Swt., yaitu syariat Islam.
Dalam Islam, negara wajib menghindarkan rakyatnya dari kemudaratan, termasuk bencana. Negara akan melakukan perencanaan matang dalam membangun pemukiman dan sektor perekonomian berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat. Pembangunan yang dilakukan tidak boleh menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk itu, negara akan menempatkan tenaga ahli yang kompeten demi mengetahui dampak dan risiko pada pembangunan yang dilakukan.
Negara membangun kota berbasis mitigasi bencana. Negara mengharuskan adanya pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya. Negara akan melarang pembangunan pada lokasi-lokasi yang rawan bencana.Tata ruang yang dibangun haruslah aman untuk manusia maupun ekosistem lain yang ada. Islam juga mengatur konservasi dengan adanya larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem.
Islam sangat memperhatikan makhluk hidup sehingga mewajibkan negara untuk menjaga kelestariannya. Perhatian ini tidak hanya diberikan bagi rakyat, namun bagi binatang sekalipun. Berkah atas fasilitas negara harus dapat dinikmati oleh setiap makhluk hidup yang tinggal dalam wilayah yang dinaungi Khilafah. Sebagaimana kisah Khalifah Umar Bin Khattab yang memperhatikan kondisi jalan agar tidak ada keledai yang terperosok di daerah yang dinaungi kekuasaannya.
Dalam sistem Islam, antisipasi dan mitigasi bencana menjadi perhatian serius penguasa. Sehingga datangnya bencana bisa diminimalkan. Bencana tidak akan berulang terjadi bahkan sampai menjadi bencana musiman. Semua dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah bagi seluruh rakyatnya.