
Oleh: Tsa_bitasoeke
Linimasanews.id—Terdapat empat pilar visi Indonesia Emas 2045. Pertama, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ketiga, pemerataan pembangunan. Keempat, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan.
Dalam empat pilar tersebut, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi poin yang pertama dan prioritas. Perhitungan mundur dari aspek usia, maka tahun 2045 akan dipimpin oleh generasi yang saat ini sedang masa remaja/pemuda, rentang usia 16-25 tahun. Target Indonesia emas tersebut seharusnya sudah disiapkan dari sekarang, baik dari segi pendidikan maupun adab ketimuran.
Namun, fakta yang terjadi, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kondisi pendidikan banyak yang memprihatinkan. Salah satunya adalah Siswa SD dihukum duduk di Lantai karena menunggak SPP selama tiga bulan, dengan jumlah Rp 180.000. Alasannya, dana dari Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebesar Rp450.000 belum cair. Selain itu, ketidakmampuan membayar SPP juga disebabkan karena kondisi keuangan yang sulit, ditambah dengan sakit yang ia alami. Ibu dari anak SD tersebut juga menceritakan betapa pilu hatinya melihat anaknya dihukum (kompas.com, 12/01/2025).
Pada 2024, JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia) mencatat terdapat 573 kasus kekerasan yang dilaporkan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. Jumlah ini mengalami lonjakan yang signifikan. Pada tahun 2020 ada 91 kasus, meningkat menjadi 142 kasus pada 2021, 194 kasus pada 2022, dan 285 kasus pada 2023. Angka-angka ini dikhawatirkan menjadi sinyal peningkatan kasus bullying dari tahun ke tahun. Terkait data kekerasan terbaru tersebut, JPPI merinci 31 persen kasus berkaitan dengan perundungan atau bullying.
Adapun jenis kekerasan yang dominan di lingkungan pendidikan pada tahun ini adalah kekerasan seksual, yang mencakup 42 persen dari total kasus, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan diskriminatif 6 persen. JPPI melaporkan bahwa kasus kekerasan di lembaga pendidikan telah terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Kasus-kasus tersebut sangat berhubungan dengan kebijakan pemerintah, baik dalam kebijakan pembiayaan sekolah/pendidikan dan mekanisme penanganan permasalahan di sekolah. Dalam analisis Kwin Kian Gie, sumber daya alam Indonesia jika dikelola dengan baik dan untuk kemanfaatan rakyat, maka negara mampu menggratiskan pendidikan hingga S3. Adapun analisis tersebut tidak diterapkan karena Indonesia dengan jumlah muslim terbesar mengadopsi sistem pemerintahan yang berbasis modal/kapitalisme.
Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap rakyat. Namun dalam sistem kapitalisme, negara tidak hadir secara nyata dalam mengurusnya, di antaranya nampak dari kurangnya sarana pendidikan. Negara juga menyerahkan pada swasta yang berorientasi mencari keuntungan. Ini adalah tanda kapitalisasi pendidikan karena pendidikan menjadi ladang bisnis. Kasus dihukumnya siswa tidak akan terjadi ketika pendidikan bisa diakses secara gratis oleh semua siswa.
Dalam hal ini, Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah kewajiban negara. Pendidikan termasuk dalam layanan publik yang ditanggung langsung oleh negara. Negara menyediakan layanan gratis untuk semua warga Khilafah, baik untuk siswa kaya maupun miskin, baik cerdas atau tidak, muslim maupun nonmuslim.
Islam mampu mewujudkannya karena memiliki sumber dana yang banyak. Dana untuk pendidikan diambilkan dari pos kepemilikan umum. Dana digunakan untuk membiayai semua sarana dan prasarana pendidikan, juga guru yang berkualitas.
Dengan layanan pendidikan sesuai dengan sistem Islam, tidak akan ada kasus siswa dihukum karena keterlambatan soal biaya. Sehingga, Indonesia emas dengan segala kebaikan dalam penerapannya hanya akan didapatkan dari penerapan sistem Islam untuk seruluh umat manusia, tanpa memaksakan agama Islam kepada non-Islam. Kesadaran ini yang akan mendorong laju perkembangan signifikan dari banyaknya permasalahan menuju kestabilan dan keberkahan. Wallahu a’lam.