
Oleh: Mutiara Hasanah, S.ST.
Linimasanews.id—Konferensi Regional Pariwisata PBB ke-2 dengan tajuk The 2nd UN Tourism Conference on Women Empowerment in Tourism in Asia and The Pacific telah digelar pada Kamis (2-5-2024) di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali. Konferensi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting seperti Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf), Angela Tanoesoedibjo, para menteri pariwisata perempuan dari negara-negara lain, tokoh perempuan industri pariwisata, akademisi dan para pemangku kepentingan di wilayah Asia Pasifik. Konferensi ini bertujuan untuk menekankan peran perempuan pada sektor pariwisata di Asia Pasifik, sekaligus mempromosikan kesetaraan gender.
Menjadi sangat jelas kita cermati, konferensi yang diadakan pascapandemi ketika kondisi rawan krisis dan resesi, ini memperlihatkan kegagalan sistem ekonomi kapitalisme makin nyata. Sebab, jika kapitalisme mampu bangkit sendiri, maka peran perempuan tidak perlu ditunggangi demi mendongkrak ekonomi atas nama pemberdayaan.
Peran perempuan dalam sektor parekraf dengan judul manis kesetaraan gender yang digenjot terus-menerus, tak ubahnya menggenjot tuas roda ekonomi semata yang berkonsekuensi memalingkan serta menyesatkan arah pandang perempuan. Inilah paradigma kapitalisme yang memandang segala sesuatu adalah komoditas ekonomi, termasuk perempuan. Dalam sistem ini, setiap kemanfaatan harus diperoleh dan didayagunakan, walaupun penerapannya jauh dari kata manusiawi, bahkan mengeksploitasi dan zalim.
Industri parekraf dipandang sebagai sektor utama dan tercepat dalam menghasilkan devisa. Maka, dianggap perlu didongkrak oleh pemanfaat peran perempuan. Hal itu nampak dari besarnya persentase pekerja perempuan dibandingkan laki-laki, yakni sebesar 54,22% pekerja perempuan.
Tak heran jika pemerintah berkepentingan memperbesar sektor parekraf ini. Sebab, dinilai penting bagi pemasukan APBN di tengah badai dolar yang menenggelamkan rupiah, dan menggunungnya utang. Nahasnya, perempuan harus jadi bahan bakar ekonomi kapitalisme ini, serta harus menumbalkan nasib dan peran vital domestiknya di tengah keluarganya.
Kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan karena akan berpengaruh buruk pada kualitas generasi. Akibat minimnya peran ibu mereka dalam pendidikan di tengah keluarga, generasi akan berpeluang tergerus arus liberalisasi budaya, sebagaimana konsekuensi atas liberalisasi ekonomi (pariwisata, industri hiburan yang merusak).
Mirisnya lagi, gencarnya semangat pemberdayaan ekonomi perempuan dalam sektor parekraf ini ternyata juga senyaring upaya liberalisasi SDA atas nama hilirisasi dan investasi. Padahal, andai kekayaan SDA dikelola secara amanah oleh penguasa dan hasilnya dikembalikan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka sumber APBN tidak perlu harus mengais dari sektor sampingan seperti parekraf.
Nyatanya, sistem demokrasi sebagai pengaman kapitalisme takkan merestui upaya untuk merugikan pemodal swasta. Jadilah benang kusut ini takkan diuraikan. SDA tetap diserahkan pada yang tidak berhak, sedangkan perempuan diarahkan untuk pontang-panting mengurusi peran remeh dan mengabaikan peran strategisnya.
Sangat menyesatkan logika atas pemberdayaan perempuan dalam sektor ekonomi. Hendaknya peran kaum perempuan diposisikan kembali pada peran hakiki, bukan sebagai tulang punggung, melainkan sebagai tulang rusuk suaminya, seorang ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa robbal bait).
Demikianlah, dalam hukum Islam, perempuan boleh untuk bekerja, dengan kata lain boleh juga jika perempuan tidak bekerja. Dengan begitu, aktivitas publik perempuan yang strategis adalah peran keumatan mereka dalam wujud aktivitas dakwah politik yang riil di tengah-tengah masyarakat. Inilah konsep pemberdayaan yang benar.
Syariat Islam pun telah memberi jaminan penafkahan bagi kaum perempuan sehingga mereka tidak wajib bekerja demi memiliki uang. Terdapat empat jalur penafkahan seorang perempuan. Ketika belum menikah, maka ayahnya adalah jalur nafkahnya. Ketika menikah, maka jalur nafkah itu adalah suaminya. Jika dirinya janda, jalur nafkah itu melalui ayahnya (jika masih hidup) atau saudara laki-lakinya atau anak laki-lakinya. Jika semua jalur tersebut tidak ada, nafkah itu ditanggung oleh negara melalui baitul mal. Maka realitas perempuan pekerja pada alam kapitalisme tidak akan menjadi paradigma hidup.
Oleh karena itu, segala payung keseteraan gender dan beragam konferensi hingga penerapan SDGs sekalipun, akan mustahil menghantarkan kaum perempuan meraih kemuliaan. Sebaliknya, akan menenggelamkan perempuan dalam kehancuran. Itu semua hanya solusi tambal sulam yang nyatanya memperlebar borok kapitalisme yang tidak menyejahterakan dan menghasilkan kezaliman pada kaum manusia.