
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Gaya hidup masyarakat makin bebas. Aturan agama dan norma diterabas demi meraih kebahagiaan yang tak terbatas. Beragam kasus terkait tindakan asusila membuat publik mengelus dada.
Sepasang suami istri berinisial IG (39) dan KS (39) ditangkap oleh pihak kepolisian terkait kasus pesta seks dan pertukaran pasangan (swinger). Keduanya ditangkap di wilayah Kabupaten Badung, Bali. Menurut keterangan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ari Syam Indradi, kedua pelaku mendistribusikan dokumen elektronik yang berisi ajakan untuk melakukan pesta seks dan bertukar pasangan melalui situs web. Tersangka mengajak publik bergabung tanpa dipungut biaya. Namun, pasangan yang turut bergabung dalam pesta tersebut juga tidak diberikan bayaran.
Tanpa sepengetahuan mereka, para tersangka merekam kejadian saat pesta seks berlangsung, dan menjual video tersebut. Parahnya lagi, pesta seks dan swinger ini sudah diselenggarakan sebanyak 10 kali. Delapan kali di Bali dan dua kali di Jakarta (Kompas.com, 10/01/2025).
Sementara itu di beberapa daerah, pengajuan permohonan dispensasi nikah meningkat. Dispensasi adalah izin khusus yang diberikan oleh pengadilan kepada pasangan yang belum memenuhi syarat usia minimum pernikahan, yakni 19 tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Salah satunya di Kabupaten Sleman, pada tahun 2024 tercatat ada 98 kasus permohonan dispensasi nikah. Alasan terbanyak disebabkan kehamilan di luar nikah yakni sebanyak 74 kasus. Selain itu, alasannya karena untuk menghindari zina dan pergaulan bebas. Data tersebut disampaikan oleh Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Kabupaten Sleman, Tri Wahyu (Kompas.com, 10/1/2025).
Masih banyak lagi kasus terkait kebobrokan moral di tengah masyarakat. Hal seperti ini bisa terjadi karena umat telah begitu lama diselimuti paham liberal, akibat penerapan sistem kapitalisme-sekuler. Sistem yang menitikberatkan tujuan hidup pada materi dan kesenangan duniawi. Di mana kebebasan berperilaku adalah pedoman dalam meraih tujuan hidup.
Asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan memberikan jalan bagi manusia untuk hidup terlepas dari aturan agama. Agama hanya dianggap sebagai pelengkap identitas, diaplikasikan dalam ruang hidup yang terbatas. Yakni hanya di ranah pribadi dalam bentuk ibadah ritual, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Karena itu, agama tidak boleh dibawa-bawa dalam kehidupan umum.
Pemikiran seperti itulah yang membuat umat beragama seolah tidak punya pegangan dalam menjalani hidup. Karena itu, kerusakan moral terjadi baik di kalangan generasi muda juga generasi tua. Anak-anak muda usia yang masih labil dalam mengambil keputusan, serta jauh dari keimanan juga pemahaman agama yang benar. Apalagi kurikulum pendidikan yang ada tidak menekankan pentingnya agama dalam mengatur kehidupan.
Pendidikan hari ini hanya bertumpu pada nilai akademis, membentuk generasi yang siap bekerja sebagai budak kapitalis. Tanpa pengokohan akidah dalam diri, generasi mudah sekali terpengaruh oleh serangan budaya dan propaganda barat yang merusak. Apalagi budaya dikemas dengan cantik, menarik dan asyik melalui media musik, film, novel, konten di media sosial hingga seminar-seminar.
Pada dasarnya, Barat ingin menghancurkan peradaban umat Islam hingga ke akar-akarnya. Sebab, hanya Islam agama yang memiliki ideologi yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan. Karena itu, banyak kampanye atau gerakan yang menyerukan kebebasan atas dasar hak asasi manusia (HAM). Kampanye tersebut di bawah naungan PBB seperti UN Women dengan program unggulan ‘Heforshe’ yang memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.
Masalahnya, hak-hak yang mereka perjuangkan ini lebih mengarah pada kebebasan perempuan dalam mengatur dirinya sendiri. Dengan slogan andalannya ‘My Body My Choice’ mereka merasa bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri. Sehingga bebas mereka perlakukan semaunya, seperti melakukan hubungan seksual dengan siapa yang dikehendaki baik di dalam atau di luar pernikahan, cara berpakaian, berkarir, memutuskan punya anak atau tidak, menyusui atau tidak. Intinya menjadi perempuan independen yang tidak terikat dengan aturan agama dan norma.
Di samping itu, negara tidak mau tahu terkait pergaulan yang semakin bebas di tengah masyarakat. Tidak peduli jika generasi semakin rusak moral dan akhlak. Buktinya, tidak pernah ada bahasan serius terkait masalah ini serta cara penanggulangannya. Generasi hanya didorong untuk meraih prestasi di bidang akademik dan keterampilan agar siap masuk dunia kerja.
Sebagaimana pandangan kapitalis yang menganggap manusia sebagai obyek yang harus memberikan keuntungan. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus asusila, pemerintah berdalih bahwa itu tergantung cara orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Padahal, orangtua saja tidak cukup mampu melindungi generasi dari paparan liberalisasi pergaulan. Butuh peran masyarakat dan negara sebagai pembuat kebijakan.
Namun, saat negara dibutuhkan kehadirannya untuk mengatasi masalah pergaulan bebas, yang dilakukan negara hanya solusi yang bersifat pragmatis. Bukan mencari akar masalah dan mengatasi secara menyeluruh. Justru kebijakan yang diambil semakin memperkeruh. Negara malah memberikan edukasi seks ala barat yang lebih menitikberatkan hal keamanan dalam hubungan seksual (safe sex) untuk menghindari risiko yang ditimbulkan. Seperti penyakit kelamin, HIV/AIDS dan kehamilan di luar nikah.
Belum lama ini, pemerintah membuat peraturan baru dalam Undang-Undang Kesehatan No. 28/2024. Di mana terdapat pasal di dalamnya yang melegalkan aborsi dengan syarat tertentu. Yang paling kontroversial adalah pasal terkait penyediaan alat kontrasepsi gratis untuk remaja dan pelajar. Bukankah ini sama halnya dengan memberikan kebebasan berbuat zina asal dilakukan dengan aman?
Terbukti, bahwa sistem kapitalis-sekuler semakin menyuburkan liberalisasi pergaulan. Maka sudah seharusnya umat menyadari bahwa sistem ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dan juga harus menyadari bahwa hanya Islam yang mampu memberikan solusi yang mengakar dan komprehensif dalam mengatasi beragam masalah kehidupan termasuk pergaulan bebas.
Jika sistem Islam diterapkan, pertama Islam akan mengembalikan sistem pendidikan saat ini dengan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Setiap muslim akan menerima pendidikan dasar berupa akidah dan tsaqafah (pemahaman) Islam secara formal dan informal. Melalui lembaga pendidikan resmi maupun lewat forum-forum, kajian, seminar dan lainnya. Negara akan menjamin dalam pelaksanaannya.
Meskipun begitu, negara juga tidak mengesampingkan pendidikan di bidang sains. Pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan akan diberikan kepada siswa agar mereka menjadi generasi yang kokoh dalam keimanan dengan menguasai semua cabang ilmu keislaman, juga menjadi ahli di bidang sains sesuai dengan bakat kemampuan masing-masing.
Dengan pendidikan Islam bagi seluruh umat, tentunya akan lahir individu dan masyarakat yang berkepribadian Islam.
Masyarakat yang islami menjadikan lingkungan yang kondusif dengan suasana keimanan yang terjaga. Umat akan terdorong untuk saling menasihati atau melakukan amar makruf nahi munkar, artinya berfungsi sebagai kontrol sosial. Dengan begitu, perbuatan maksiat dan pergaulan bebas bisa dicegah secara kolektif. Tidak akan ada pembiaran apabila terjadi perilaku masyarakat yang melanggar syariat.
Negara juga berperan penting untuk mencegah terjadinya maksiat. Yaitu dengan menyaring segala bentuk informasi yang berasal dari asing. Menjaga tersebarnya konten-konten berbau pornografi/aksi melalui media apa pun. Selain itu, negara memberikan hukum dan sanksi tegas apabila telah terjadi perbuatan zina dan semua yang melanggar syariat Islam. Hukum yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Taala yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Seperti qishas untuk kasus penganiayaan dan pembunuhan, potong tangan untuk kasus pencurian yang sudah mencapai nishab, dan hukum cambuk atau rajam untuk pelaku perzinaan. Hukum yang tegas ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi masyarakat, dan menjadi kafarat atau penebus dosa bagi pelakunya. Wallahu a’lam bishawab.