
Oleh: Siti Nuraini Dongoran, S.K.M. (Aktivis Dakwah)
Linimasanews.id—Harapan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan) tampaknya makin pupus. Harapan bahwa mahasiswa dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik, sekaligus menjadi pelopor perubahan, kini makin pudar dengan banyaknya kasus kriminal yang pelakunya adalah mahasiswa. Akibatnya, jangankan bisa diharapkan mampu membawa perubahan, justru keresahan yang ditimbulkan.
Di antara kasusnya baru-baru ini terjadi di Kota Medan, Sumatra Utara. Seorang mahasiswi di Kota Medan, Sintia (21) saat ini ditangkap polisi karena berkomplot dengan pacarnya untuk mencuri sepeda motor di Jalan Jamin Ginting, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan. Korban Sintia adalah seorang laki-laki yang ia kenal di sosial media. Ia mengajaknya bertemu. Di pertemuan itulah pelaku mengambil sepeda motor korban setelah sebelumnya menggandakan kunci motor korban. Saat diperiksa Sintia mengaku ini keempat kalinya ia melakukan pencurian sepeda motor. Ia juga mengaku menggunakan uang hasil curian untuk membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari bersama pacarnya (kompas.com, 13/1/2025).
Ada pula Tagading Mangihut Silalahi (19), seorang mahasiswa di Medan yang diperiksa polisi karena menabrak tiga pengendara sepeda motor hingga tewas di Jalan Abdul Hakim, Kota Medan. Dari hasil pemeriksaan diketahui dia bersama kawannya awalnya minum-minum di kedai tuak, lalu dalam keadaan mabuk mengendarai mobil sehingga menabrak para pengendara motor tersebut (kompas.com, 13/1/2025).
Marah, kesal, sedih bercampur-aduk melihat dua kasus di atas. Alih-alih berharap makin baik dengan adanya peran mahasiswa, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Tentu kita harus mampu melihat penyebab persoalan yang sebenarnya terjadi. Hilangnya peran mahasiswa sebagai agent of change pada kebaikan ini sejatinya tidak berlangsung secara tiba-tiba.
Arah sistem pendidikan yang diterapkan rezim sekuler kapitalisme neoliberal saat ini adalah sumber permasalahannya. Alih-alih menjadi sarana mencetak agent of change yang sesungguhnya, sistem pendidikan yang diterapkan kini justru hanya menjadi sarana mencetak mesin-mesin pekerja dan intelektual yang hanya peduli terhadap nilai uang yang mampu dihasilkan dari pekerjaannya.
Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan ini menghasilkan para pemuda yang apatis, menggunakan segala cara untuk memenuhi keinginannya, dan melakukan sesuatu hanya sesuai hawa nafsu tanpa memikirkan efeknya di kemudian hari. Para pemuda hari ini turut terseret dalam tradisi rusak yang dibangun oleh sistem rusak (sekuler). Tak heran jika hari ini masyarakat mengalami krisis kaum intelektual hingga muncul berbagai kejahatan yang pelakunya adalah kaum intelektual.
Kemuliaan Intelektual dalam Perspektif Islam
Sebagai din yang sempurna, Islam menempatkan kaum intelektual dalam posisi yang sangat mulia dan tinggi. Tidak hanya di bumi, tetapi juga di akhirat nanti. Hal ini sejalan dengan penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan yang juga sangat tinggi.
Dalam pandangan Islam, kaum intelektual adalah para pencari kebenaran yang dengan ilmunya bisa menjadi obor cahaya di tengah kegelapan. Mereka pun layak menjadi tempat bertanya dan memberi jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka adalah pemimpin orang bertakwa sekaligus teladan dalam kebaikan. Mereka adalah corong masyarakat sekaligus motor dalam membangun peradaban cemerlang. Dala Islam, mereka diberi sebutan ulul albab (orang yang berakal atau memiliki akal yang sempurna). Mereka juga disebut sebagai ahli adz-dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan).
Umat hari ini sangat butuh kehadiran kaum intelektual muslim yang hakiki, yakni mereka yang loyal terhadap kebenaran Islam dan mampu memahamkan umat bahwa akar problem yang dihadapi hari ini adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Kaum intelektual muslim adalah harapan bagi munculnya perubahan hakiki, bukan malah menjadi pelaku kriminal.
Anugerah akal dan ilmu yang diberikan Allah kepada kaum intelektual harus siap dipertanggungjawabkan kelak di keabadian. Karenanya, mestinya didedikasikan/diberikan bagi kemuliaan umat dan agamanya. Hal ini karena sesungguhnya gelar yang akan mereka bawa ke hadirat Allah Swt. bukan segenap gelar intelektualitasnya, tetapi gelarnya sebagai hamba dari Sang Pencipta.