
TAJUK BERITA—Pelanggaran pidana pagar laut Tangerang dan Bekasi tengah menimbulkan pertanyaan serius tentang kegagalan pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek tersebut. PT. MEC dan PT. UNI didakwa melakukan pelanggaran pidana lingkungan hidup dan melanggar peraturan pemerintah yang menyebabkan kerusakan ekosistem laut, pencemaran air laut, dan penggusuran komunitas nelayan.
Dalam hal ini, kegagalan pengawasan oleh pemerintah dan lembaga terkait sangat memungkinkan pelanggaran ini terjadi sebab kurangnya pengawasan dan evaluasi lingkungan hidup yang efektif serta membiarkan proyek berjalan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Selain itu, kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan proyek turut memungkinkan terjadinya pelanggaran pidana dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pembuatan pagar laut di pesisir utara Tangerang, Banten, mencerminkan kalahnya negara oleh kepentingan pengusaha dalam mengelola sumber daya alam. Bukannya menghentikan pembuatan pagar bambu itu sejak awal, pejabat dan aparat berbagai level terkesan membiarkan aktivitas ilegal tersebut berlangsung.
Padahal jelas, pelanggaran ini menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang signifikan. Selain menyebabkan tangkapan para nelayan berkurang, pagar laut membuat kapal nelayan sering rusak. Banyak penduduk yang berhenti menjadi nelayan karena merugi setelah pembangunan pagar laut. Selain itu, lahan di sekitar tanah penduduk harus diuruk sehingga pemilik lahan terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah.
Sangat disayangkan, proyek strategis nasional seharusnya hanya untuk kepentingan publik, bukan untuk kegiatan bisnis swasta, apalagi jika dijalankan dengan menyengsarakan banyak orang. Termasuk pemasangan pagar bambu yang membatasi sumber hidup nelayan di sana.
Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan pengawasan dan evaluasi lingkungan hidup dengan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi serta mengembangkan peraturan dan kebijakan lingkungan hidup yang lebih ketat. Pemerintah dan lembaga terkait harus mencegah kejadian serupa di masa depan agar peristiwa ini tidak terulang dan merugikan masyarakat setempat. Jangan sampai ada campur tangan kekuatan oligarki yang memanfaatkan dan mengendalikan sumber daya alam untuk meningkatkan kekayaan pribadi serta mengontrol kekuasaan di tingkat pusat dan daerah dengan tujuan menguntungkan bisnis mereka.
Polemik pagar laut yang terjadi di Indonesia menunjukkan kegagalan negara dalam mengurus urusan umat. Kegagalan ini disebabkan oleh hukum buatan manusia yang dapat dimanipulasi oleh kepentingan individu dan korporasi. Kapitalisme telah menjadikan negara tidak memiliki kedaulatan mengurus urusan umat, sehingga negara hanya menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapital.
Dalam Islam, kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta. Negara Khilafah merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan penuh ini membuat negara Khilafah tidak akan tunduk pada korporasi.
Islam memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum. Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan, dan ada sanksinya bagi pelakunya. Dalam konteks ini, pagar laut yang dibangun di pesisir utara Tangerang, Banten, merupakan contoh dari pelanggaran terhadap hukum Islam.
Pagar laut tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan penggusuran komunitas nelayan. Kegagalan negara dalam mengurus urusan umat telah menyebabkan rakyat menderita. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan sistematis untuk mengatasi masalah ini.
Negara harus memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan ini harus didasarkan pada hukum Islam yang memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum.
Dengan demikian, kita dapat mencapai kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Islam menawarkan alternatif yang lebih baik dalam mengatasi problematika pagar laut dan kegagalan negara dalam mengurus urusan umat. [Lins/OHF]