
Oleh: Ummu Nazwa
Linimasanews.id—Lama-lama seperti opera sabun. Temuan pagar laut di Tanggerang, Banten hingga kini tak jelas betul siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan liar yang menggangu mata pencaharian nelayan itu. Pemangku kebijakan sibuk lempar pernyataan dan berbantah apabila ditunjuk hidungnya. Penegak hukum setali tiga uang, tampak lesu dalam menindak perkara ini.
Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios) Zakiul Fikri menilai, sudah banyak indikasi pelanggaran hukum dan administratif dalam kasus ini. Paling jelas, dokumen hak atas tanah diterbitkan dengan cara melanggar hukum. “Maka hak atas tanah tersebut mengandung cacat administratif. Konsekuensinya sertifikat itu dapat dibatalkan,” ucap Fikri (Tirto.id, 23/1/2025).
Simpang siur polemik pagar laut misterius ini terkesan aneh. Pasalnya pagar laut tersebut bukan sesuatu yang tidak kasat mata. Pagar itu terbuat dari bambu berketinggian 6 meter. Maka dengan potensi negara yang memiliki semua perangkat pemerintahan, seharusnya sangat mudah menelisik pelaku di balik pagar laut itu. Namun, pemerintah baru menanggapi laporan pagar laut akhir-akhir ini setelah viral. Padahal, laporan sudah dibuat oleh masyarakat sejak Agustus 2024.
Abainya negara dalam mengurusi urusan rakyat disebabkan oleh sistem yang diterapkan, yakni sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan negara tidak memiliki kedaulatan mengurus urusan umat. Kedaulatan itu tergadaikan karena adanya prinsip kebebasan kepemilikan. Kebebasan ini membuat para kapital bisa memiliki kekayaan hingga kekuasaannya melebihi negara. Akibatnya, negara tidak memiliki kuasa menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat.
Negara dalam sistem kapitalis hanya menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapital yang bahkan menjadi penjaga kepentingan kapital. Keberadaan negara kapitalisme inilah yang membuat kepemimpinan penguasa hari ini menjadi populis otoritarian. Sikap mereka jauh dari kata ramah terhadap rakyatnya. Rakyat jelas-jelas mengalami penderitaan, namun penguasa terkesan abai dan hanya melakukan pencitraan di muka umum.
Ini sangat berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam, yaitu khilafah. Khilafah merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurusi urusan negara dan menyejahterakan rakyat. Kedaulatan yang penuh akan membuat negara tidak tunduk di bawah ketiak korporasi atau intervensi negara asing manapun.
Kedaulatan ini niscaya terjadi sebab Asy-Syaari (Allah SWT) menetapkan bahwa keberadaan sebuah negara wajib menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah Raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (H.R. Bukhari).
Kedua peran ini menjadikan khilafah kokoh berdiri tanpa intervensi dari pihak mana pun sehingga bisa fokus membuat kebijakan yang akan memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Di sisi lain, pemimpin dan pejabat negara khilafah diperintahkan untuk tidak melakukan persekongkolan dengan para kapital demi meraup keuntungan yang menyengsarakan rakyat. Sebab, negara khilafah memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum. Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan dan ada sanksi bagi para pelakunya.
Seorang pemimpin dalam negara khilafah harus mempunyai keluhuran kepribadian Islam, ketakwaan, kelemahlembutan, dan tidak menimbulkan antipati terhadap rakyatnya. Seperti inilah profil kepemimpinan di dalam negara khilafah. Negara memiliki kedaulatan penuh sehingga mampu menjauhkan rakyatnya dari penderitaan dan kesengsaraan.