
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Viralnya keberadaan pagar laut Tangerang mengemukakan beberapa fakta mengejutkan, di antaranya kesaksian warga dan kelompok advokasi sipil bahwa deretan pagar bambu di perairan Tangerang ternyata telah diketahui sejak Juli 2024. Awalnya baru 700 m, hanya dalam hitungan bulan telah membentang hingga 30 km.
Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Faza menjelaskan, kelompok nelayan tradisional telah mengadu ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten pada September 2024, namun tak kunjung menemukan solusi. Kasus ini lalu mereka adukan ke Ombudsman di Jakarta hingga kemudian viral (bbcnewsIndonesia.com, 30 /01/2025).
Misteri tentang siapa pelaku pemagaran laut juga mulai terkuak. Ternyata, pihak swastalah yang melakukan pemasangan pagar-pagar bambu tersebut, bukan warga nelayan sebagaimana klaim sejumlah tokoh dan ormas. Lebih mengejutkan lagi, ternyata kawasan tersebut sudah dikavling-kavling dan sudah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB). Menurut Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, total ada 263 HGB milik dua perusahaan. Padahal, ini merupakan pelanggaran terhadap putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang melarang pemanfaatan ruang untuk HGB di atas perairan.
Terungkap pula, ternyata pemagaran dan pengkavlingan kawasan laut sudah terjadi di sejumlah kawasan di Tanah Air. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono membeberkan, total ada 169 kasus yang membentang dari Batam hingga Surabaya. Bahkan di Sidoarjo, laut yang sudah dikavling-kavling mencapai 657 hektare (muslimahnews.net, 02/01/2025).
Pemagaran pesisir laut juga terpantau di wilayah Pulau Serangan Bali yang dilakukan oleh Bali Turtle Island Development (BTID). Meskipun komisaris utama BTID, Tantowi Yahya, menyebut bahwa pemagaran tersebut bukan untuk upaya pengavlingan, melainkan untuk melindungi wilayah pesisir Serangan yang terpencil dari kemungkinan aktivitas kriminal, seperti penyelundupan narkoba ataupun BBM. Hal ini tetap saja menuai protes dari warga dan nelayan lokal (balipost.com, 31/01/2025).
Protes sejumlah warga adalah hal yang wajar, mengingat banyaknya kerugian yang mereka alami akibat keberadaan pagar laut ini. Antara lain, mengancam ekosistem dan juga menyebabkan rusaknya kapal nelayan. Dampak lainnya, nelayan mengalami penurunan pendapatan hingga 50-70%, ditambah lagi biaya operasional membengkak karena mereka harus memilih jalan memutar akibat terhalang pagar laut tersebut.
Meskipun KKP telah merespons kasus ini dengan memberhentikan 6 pejabat di lingkungan Kementerian ART/BPN dan memberikan sanksi berat kepada 2 lainya, namun hal ini jauh dari kata memuaskan, mengingat kasus tersebut belum juga dibawa ke ranah tindak pidana hingga saat ini, dengan dalih belum ada bukti suap ataupun lainnya. Kasus ini terlihat alot karena tentu melibatkan banyak pihak dan tekanan politik. Parahnya, negara seolah tak berkutik di hadapan para korporat.
Masyarakat juga terus mempertanyakan peran negara dalam melindungi warga dan kedaulatan negara. Mengapa kasus pagar laut yang jelas kasat mata ini bisa berlangsung secara masif di sejumlah wilayah? Mengapa sejumlah aparatur negara dan pejabat terkait memilih bungkam dan baru bertindak ketika kasus viral?
Fakta menunjukkan, para pemilik kavling tersebut bisa mendapatkan HGB maupun Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut yang jelas dilarang dan hanya mendapat sanksi administrasi dan denda yang sangat murah. Ini tentu memunculkan paradoks jika sumber daya kelautan, pesisir, bahkan pulau kecil bisa dikelola pemilik modal dengan seenaknya, tanpa campur tangan pemerintah dan warga lokal.
Ini menjadi bukti nyata bahwa negara abai dan kehilangan perannya dalam melindungi rakyat. Ketika negara menerapkan sistem ekonomi kapitalis, maka segala kendali kebijakan tak lagi di tangan negara. Sudah menjadi keniscayaan, kebijakan yang lahir pun lebih berpihak kepada elite pengusaha daripada rakyat. Ini terbukti dalam kasus pemagaran laut yang tentu bukan suatu kebetulan bisa terjadi.
Ada sejumlah kebijakan yang memberi ruang bagi para mafia lahan untuk berkuasa. Sejak pemerintah mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, jalan para mafia lahan, aktor di balik pemagaran laut makin terbuka lebar. Kita tahu, isi UU Cipta Kerja banyak merugikan rakyat dan hanya menguntungkan pemilik modal, antara lain kaburnya definisi nelayan kecil setelah tidak disertakannya lagi batas ukuran kapal.
Hal ini dapat mengancam eksistensi nelayan kecil atau lokal tentunya. Perizinan usaha sektor kelautan dan pesisir pun makin dipermudah, serta tidak lagi ada kewajiban kapal asing yang beroperasi untuk mempekerjakan minimal 70% awak kapal berkebangsaan Indonesia. Bahkan, sanksi pelanggaran pengoperasian kapal hanya sebatas sanksi administrasi, tanpa pidana.
Bak angin segar, kebijakan-kebijakan tersebut makin mempermudah pihak swasta dan asing berkuasa. Sebaliknya, rakyat kecil makin tersisih tanpa perlindungan dari negara. Padahal, pada hakikatnya, fungsi negara adalah sebagai pelindung bagi rakyatnya.
Islam menempatkan negara sebagai raa’in, yang memelihara dan mengurusi semua kepentingan umat. Dalam kitab Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam hal 300, 306 dijelaskan bahwa kepemilikan umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, yang dimanfaatkan secara bersama dan tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok. Kepemilikan umum ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah umum, teluk, selat.
Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasul yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat (memiliki hak yang sama) atas tiga hal, yaitu air, padang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah juga dijelaskan, “Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang untuk dimiliki siapapun yaitu air, padang, dan api.”
Maka, privatisasi terhadap pesisir pantai dan laut dengan pemagaran laut jelas dilarang dalam Islam. Karena, hal ini membatasi masyarakat untuk memanfaatkan laut dan pesisir yang merupakan hak milik umum. Dalam Islam, hak milik dilindungi oleh syariat. Siapa pun diharamkan merampas hak milik pihak lain. Negara haram merampas lahan milik rakyat/perorangan walaupun dengan dalih untuk pembangunan. Jikapun keadaan mengharuskan untuk menggunakan hal milik warga, maka negara wajib memberikan kompensasi atau membeli lahan warga dengan cara yang diridai oleh pemilik lahan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah QS. An – Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jalan perniagaan atas dasar keridaan di antara kalian.”
Begitupun dengan hak kepemilikan umum yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dilindungi negara dan dilarang dimiliki individu atau kelompok. Maka, jelaslah, pengelolaan SDA seperti halnya pemanfaatan daerah pesisir dan laut, wajib dilakukan oleh negara serta tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta ataupun asing, tidak diperbolehkan privatisasi lahan oleh individu maupun swasta.
Kalaupun pengelolan terkendala tenaga ahli, misalnya, negara hanya boleh mengambil tenaga ahli asing sebagai pekerja, bukan menyerahkan pengelolaannya. Negara berkewajiban meningkatkan SDM yang dimiliki melalui pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan perkembangan teknologi terkini. Alhasil, kemungkinan kekurangan tenaga ahli juga bisa diminimalisasi.
Ketika sistem Islam diterapkan secara kafah, semua warga yang tinggal di bawah naungan Daulah Khilafah, baik muslim maupun kafir, mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Negara wajib melindungi hak-hak mereka. Penerapan hukum dalam Islam juga tegas dan tak pandang bulu, sekaligus menghadirkan efek jera. Tak ada jual beli hukum ataupun suap yang bisa lolos dari sanksi Islam yang tegas.
Negara yang menerapkan Islam kafah (khilafah) berdaulat penuh, tanpa intervensi dari pihak asing karena aturan dalam Islam bersifat konsisten, berasal dari Allah, bukan buatan manusia. Negara ataupun penguasa tidak boleh menciptakan undang-undang, melainkan hanya sebagai pelaksana hukum dan syariat Allah SWT.
Islam juga telah menetapkan kriteria pemimpin haruslah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang berkepribadian Islam yang pola sikap dan pola pikirnya berlandaskan pada aturan Allah. Mereka bekerja menunaikan kewajiban, hanya mengharap rida Allah, bukan kepentingan pribadi sehingga mampu melindungi kepemilikan umum untuk menciptakan keberkahan bagi kaum muslim sekaligus menjaga keselamatan akidah umat.
Ketika sistem Islam diterapkan secara kafah, niscaya kesejahteraan umat bukanlah hal mustahil diwujudkan. Namun, ketika umat mulai meninggalkan syariat dan memilih menerapkan aturan buatan manusia, di situlah berbagai problematika bermunculan. Akibatnya, keadilan dan kesejahteraan adalah hal yang mustahil. Dengan demikian, hanya syariat Islam yang mampu mengatur umat dengan sempurna. Syariat Islam tidak bisa diterapkan selain dalam sistem Islam (khilafah).