
Oleh: Hesti Nur Laili, S. Psi.
Linimasanews.id—Kawasan perairan di Bengkong Laut, Batam, Kepulauan Riau kian nyaris hilang. Pun demikian dengan sungai di wilayah Bengkong Harapan, Bengkong Swadebi, dan Bengkong Permai juga kian menyempit. Hal ini lantaran adanya reklamasi di kawasan Ocarina yang diduga kuat sebagai penyebabnya. Kawasan-kawasan tersebut kerap kali dilanda banjir saat hujan deras. Lebar sungai juga kian menyusut dari yang awalnya 50 meter kini hanya tinggal 10 meter saja.
Selain banjir, hal lain yang dikeluhkan oleh nelayan adalah sulitnya mencari akses keluar ke laut untuk mencari ikan. Sementara itu, reklamasi yang dilakukan oleh pihak Ocarina diduga kuat telah mengantongi izin dari pemerintah kota Batam, sehingga reklamasi yang dilakukan sejak 2018 yang kemudian dilegalkan di tahun 2022 itu kini makin memperparah penyempitan sungai di tahun 2024 (Batamnews.co.id, 28/1/2025).
Seringkali reklamasi dipandang sebagai sebuah peluang untuk menciptakan ekonomi baru, entah wisata, perumahan di tanah reklamasi maupun pembangunan lainnya. Oleh karenanya, pemerintah dengan mudah memberikan izin reklamasi tersebut tanpa melihat apa dampak negatif daripada reklamasi tersebut. Reklamasi yang dianggap sebagai bagian dari pembangunan ternyata tak lebih hanya sebagai alat untuk mengeruk kekayaan alam hingga membuat kerusakan dan kerugian yang besar bagi rakyat. Inilah bukti betapa buruknya sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Reklamasi yang digadang-gadang sebagai peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan properti, infrastruktur, dan fasilitas komersial, nyatanya hanya memberikan dampak buruk bagi kesejahteraan rakyat maupun keadilan bagi masyarakat. Mengapa demikian?
1. Adanya privatisasi kepemilikan umum. Tanah reklamasi seringkali diambil dari aset publik. Dengan adanya reklamasi, seringkali pihak swasta yang mengelola akan membuat villa, apartemen, mall, resort atau kawasan elite yang hanya akan membuat kesenjangan sosial antara rakyat jelata dengan kaum elit makin dalam. Sementara itu, pembangunan yang dibangun di atas tanah reklamasi itu seringnya hanya bisa dinikmati oleh sebagian kalangan saja atau bahkan tidak memiliki dampak baik apapun terhadap rakyat kecuali dampak buruk hasil dari reklamasi tersebut.
2. Kapitalisasi dari reklamasi ini kerap kali hanya berpihak kepada para pemodal saja. Segala bentuk keuntungan hanya dimiliki oleh pihak pemodal dan pihak-pihak yang menjalankan proyek reklamasi ini saja. Sementara tanah dan alam kian rusak, juga masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir akan makin sengsara karena kehilangan akses ke sumber daya alam yang sebenarnya mereka gunakan.
Sekali lagi, inilah bukti nyata dari buruknya sistem demokrasi-kapitalisme yang diadopsi oleh negara ini. Negara yang mengadopsi sistem ini tak lain hanya sebagai regulator saja bagi para pemilik modal, pengusaha, dan asing. Apa itu kesejahteraan rakyat? Mereka tak peduli. Hal yang terpenting bagi para pejabat hanyalah kesejahteraan keluarga sendiri dan kantong pribadi.
Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam. Islam tak hanya sebagai agama spiritual saja, tetapi juga seperangkat aturan lengkap yang mengatur manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan manusia, yang mana ini tak hanya mencakup urusan dua individu saja, tetapi juga mencakup persoalan politik hingga urusan negara.
Di dalam Islam, terdapat aturan yang jelas terkait kepemilikan umum, yakni laut, sungai, dan sumber daya alam lainnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyyah ‘ammah), yang harus tetap dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits ini menunjukkan bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk laut, tidak boleh dimiliki atau dimonopoli oleh individu maupun swasta. Demikian juga dengan aset publik. Sistem Islam melarang privatisasi kepemilikan umum.
Hal ini sesuai dengan yang pernah terjadi dalam sejarah Islam dulu. Rasulullah SAW pernah menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadh bin Hammal setelah diketahui bahwa tambang tersebut adalah sumber daya yang melimpah. Nabi bersabda:
“Kembalikan tambang itu karena ia seperti air yang mengalir.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Pada intinya, dalam sistem Islam, negara atau pemerintah memiliki peran sebagai ra’in (pemelihara urusan umat), junnah (pelindung umat), dan juga wakil umat dalam mengelola kepemilikan umum. Jikapun reklamasi dilakukan, maka negara akan mempelajari dengan detail dampak baik dan buruknya bagi masyarakat serta tidak menyerahkan pembangunan maupun kepemilikannya kepada swasta.
Dengan kata lain, reklamasi dalam Islam diperbolehkan hanya jika memiliki tujuan untuk kemaslahatan umum. Pun demikian dengan hasil reklamasi, ia akan tetap menjadi milik umum dan dikelola oleh negara. Juga tetap mempertimbangkan dampak-dampaknya dengan tidak merugikan pihak lain, seperti masyarakat pesisir atau nelayan.
Melihat dua perbedaan sistem di atas serta dampak baik dan buruknya bagi masyarakat, maka, sudah semestinya kaum muslim dapat memandang dengan jernih kedua perbedaan tersebut dan mulai mendukung agar sistem Islam diterapkan oleh negara. Yang tak hanya menjaga agama umat dari segala bentuk kemaksiatan, tetapi juga menjaga alam agar tidak rusak oleh keserakahan manusia. Tugas seorang muslim adalah membuka mata dunia bahwa Islam adalah sebaik-baik agama, sebaik-baik sistem hingga memperlihatkan kepada kita bahwa Islam rahmatan lil ‘alam.l