
Oleh. Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Umat)
Linimasanews.id—Kesehatan mental dewasa ini menjadi kasus yang mengkhawatirkan, apalagi saat menimpa sebagian besar generasi. Belum usai masalah dekadensi moral dan kriminalitas, masalah kesehatan mental menyusul dan memperparah potret buram di tengah generasi muda.
Dilansir tempo.co (15/2/2025), Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, remaja yang menderita kesehatan mental sangat tinggi, yaitu mencapai 15,5 juta orang atau setara 34,9 persen dari total remaja Indonesia. Wakil Menteri Kementerian Kependudukan Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka mengatakan, generasi muda saat ini memang menghadapi tantangan yang makin kompleks, salah satunya adalah isu kesehatan mental di kalangan remaja.
Masih di laman yang sama, situs tempo.co menyebutkan adanya penelitian yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute menyatakan bahwa 34 persen pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental. Tiga dari sepuluh pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional. Penelitian ini melibatkan pelajar SMA di Jakarta itu dipimpin oleh Ray Wagiu Basrowi, Bunga Pelangi, dan Nila F. Moeloek Ray Wagiu Basrowi mengatakan temuan 34 persen risiko gangguan mental emosional itu merupakan indikasi gangguan kesehatan jiwa remaja di kota besar seperti Jakarta. Hasil riset itu dapat juga dijadikan angka prevalensi di Indonesia.
Kesehatan mental yang sering dijumpai di kalangan generasi saat mendapati sedikit masalah adalah tersulutnya emosi dengan mudah. Bahkan, kawula muda yang malas berpikir akan bertindak kriminal, seperti membunuh atau bunuh diri. Halusinasi kadangkala menyapa generasi. Demikianlah generasi saat ini, hidup di bawah bayang-bayang gangguan kesehatan mental.
Faktor Penyebab Generasi di Bawah Bayang-Bayang Gangguan Mental
Kesehatan mental dalam ilmu psikologi dimaknai sebagai kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tenteram dan tenang sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar. Seseorang yang bermental sehat dapat menggunakan kemampuan atau potensi dirinya secara maksimal dalam menghadapi tantangan hidup, serta menjalin hubungan positif dengan orang lain.
Sebaliknya, orang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk. Terdapat beberapa jenis masalah kesehatan mental. Tiga jenis kondisi yang paling umum terjadi, yaitu stres, kecemasan, dan depresi. Adapun faktor penyebab gangguan mental pada generasi meliputi faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam dirinya, seperti faktor genetik, cedera kepala, cacat otak, gangguan hormon, dll. Sementara faktor eksternal banyak dipengaruhi pembentukan kebiasaan hidup di lingkungan tempat tinggalnya. Berikut beberapa faktor eksternal yang bisa memengaruhi generasi dan bisa membuat hidup mereka dalam bayang-bayang gangguan mental:
Pertama, faktor pola asuh. Pola asuh orang tua sangatlah berpengaruh pada tumbuh kembang akal, jiwa, dan fisik anak. Apabila ayah ibunya mengasuh dengan benar, penuh cinta dan kasih sayang, apalagi mengasuh dengan dorongan keimanan, maka peluang gangguan mental membayangi generasi akan tertutup. Namun, saat pola asuh ayah ibunya penuh toksik, tidak bersahabat, atau bahkan seperti hendak berperang melawan musuh, bisa jadi anak dalam tekanan. Apalagi jika ayah dan ibu tak berperan dalam pengasuhan, hanya menjadi mesin atm atau bahkan cuek, tumbuh kembang anak (fisik, jiwa, akal, dan akidahnya) bisa jadi salah arah.
Kedua, faktor ekonomi. Tak dimungkiri, kehidupan ekonomi dalam sistem kapitalisme saat ini memandang kesuksesan dan kebahagiaan dari banyaknya harta. Sementara, rakyat negeri ini mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Impitan ekonomi sangat mencekik. Biaya hidup mahal, sementara lapangan pekerjaan sempit. Banyak orang stres akut dengan ujian impitan ekonomi, termasuk generasi muda yang kurang menempa kesabaran untuk memenuhi gaya hidup glamour, sementara pemasukan pas-pasan atau bahkan tak ada.
Ketiga, faktor sosial. Masyarakat saat ini banyak yang individualis. Cuek dan tidak peduli seakan bersinggasana di seluruh ruang hati. Alasan tak ingin mencampuri urusan orang lain justru meniadakan biah sholihah saling mengingatkan, saling menjaga, dan saling menasihati dalam kebaikan. Kehidupan sosial masyarakat saat ini juga beralih pada ukuran materi dan tingginya jabatan dalam menilai kemapanan sosialnya saat berinteraksi. Status sosial menjadi sesuatu yang utama dan menjadi benteng dalam kehidupan masyarakat. Hal ini justru bisa menyeret generasi pada tuntutan-tuntutan sosial (status) yang tak masuk akal.
Ketiga, faktor media. Kusutnya pergaulan dan gaya hidup salah satunya berawal dari tontonan ataupun tayangan media yang ada di genggaman. Media memang bagai dua sisi mata pisau, bisa memberikan manfaat, bisa juga mudharat. Sayangnya, banyak sekali tayangan atau tontonan yang tak layak lolos sensor seperti mengandung konten porno, flexing, glamour, dsb.
Keempat, faktor pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan saat ini selalu berganti kurikulumnya. Belum lagi biaya pendidikan tinggi tak semua orang bisa menjangkaunya. Meski tujuan mulia pendidikan bukan membentuk anak berkarakter, tetapi pada kenyataannya banyak siswa yang melakukan tindak kriminal, bahkan pada gurunya.
Kelima, sistem kehidupan yang diterapkan saat ini bertumpu pada buatan manusia, yakni sistem kapitalisme yang berakidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sistem kapitalisme ini berasaskan manfaat di mana segala sesuatu diukur dengan banyaknya materi.
Sistem kapitalisme ini juga yang diterapkan negara. Sistem ini yang melenyapkan peran negara dalam memelihara urusan rakyat, termasuk menjaga generasi dari gangguan mental. Dalam sistem ini, negara meniadakan aturan agama dalam menjalankan roda pemerintahan di semua aspek kehidupan. Walhasil, karut-marut kehidupan tak bisa dihindari, termasuk kasus gangguan mental generasi yang cukup tinggi.
Faktor internal dan kelima faktor eksternal tersebut sangat memengaruhi kehidupan generasi, terutama tumbuh kembang akidah, akal, dan jiwanya. Atmosfer kapitalisme yang diterapkan negara mendominasi kehidupan sehingga arah pandang dan gaya hidup generasi sangat bebas tanpa fondasi agama yang kuat. Generasi hanya memiliki pandangan kesenangan duniawi sebagai tujuan hidupnya sehingga mereka berambisi meraihnya tanpa ada keimanan dan pengetahuan yang memadai.
Dampak Negatif Saat Generasi Hidup di Bawah Bayang-Bayang Gangguan Mental
Gangguan atau penyakit mental dapat menyebabkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dapat merusak interaksi atau hubungan dengan orang lain, tetapi juga dapat menurunkan prestasi di sekolah, dan produktivitas kerja, bahkan masa depan generasi terancam suram. Beberapa dampak buruk saat generasi terus hidup di bawah bayang-bayang gangguan mental:
1. Kehilangan jati diri. Tentu saja saat generasi mengalami gangguan mental, baik stres atau depresi, mereka tak lagi bisa berpikir jernih terkait jati dirinya. Dengan demikian, mereka tak akan paham visi penciptaannya, sehingga tujuan hidup yang dibangun hanya untuk meraih kesuksesan duniawi.
2. Sulit berinteraksi dengan orang lain. Generasi yang terkena gangguan mental akan mengalami kesulitan membangun hubungan atau komunikasi dengan orang lain, bahkan dengan orang tua, saudara, dan teman sebayanya.
3. Menyakiti diri sendiri. Di tingkat yang lebih parah, emosi generasi yang terkena gangguan mental akan kacau. Jiwanya tidak tenang dan bahkan bisa berhalusinasi sampai bunuh diri atau menghilangkan nyawa orang lain.
4. Sering melakukan konflik dengan siapa saja yang dianggap tidak cocok dengannya. Orang yang terkena gangguan mental akan lebih suka menyendiri atau mengasingkan diri.
5. Sulit berpikir jernih, suka lupa, bahkan akan susah dalam mengambil keputusan, sering putus asa dalam menghadapi ujian atau cobaan hidup. Mereka juga sering putus asa saat keinginan yang bersifat duniawi, seperti terkenal, banyak harta, dll. tidak tercapai. Kebanyakan mereka enggan berpikir jernih akan kehidupan selanjutnya.
6. Kehilangan generasi. Jika makin banyak generasi yang sakit mental, maka generasi penerus bangsa kian berkurang. Jika dibiarkan terus-menerus gangguan mental membayangi generasi, bisa jadi lima atau sepuluh tahun mendatang negara akan kehilangan aset berharganya, yakni para pemuda penerus bangsa.
Dampak buruk ini kian nyata saat generasi sudah sampai pada tataran gila dan bunuh diri. Gejala gangguan mental tak boleh dibiarkan terus-menerus. Harus ada langkah serius, komprehensif, serta menyentuh akar masalah yang dilakukan oleh negara untuk menyelesaikan masalah gangguan mental ini. Sebab, peran negara sangat berpengaruh dalam mengambil kebijakan yang tepat.
Strategi Jitu Menyelamatkan Generasi dari Gangguan Mental
Sistem yang diterapkan saat ini jelas menghasilkan kerusakan dan gangguan mental akut pada generasi. Berharap pada sistem kapitalisme untuk menyelesaikannya tentu seperti menyengaja meraih kegagalan dan kerusakan yang sama atau lebih parah lagi. Maka dari itu, seorang muslim, terutama pemimpin muslim harus berpikir jernih terkait strategi jitu menyelamatkan generasi dari gangguan mental. Kaum muslim harus berupaya dengan sungguh-sungguh mencari solusi hingga ke akarnya.
Agar generasi terhindar dari gangguan mental, sudah seharusnya umat mencari tatanan kehidupan yang baik, mulai pengasuhan, sosial, ekonomi, hingga urusan pendidikan. Sistem kehidupan yang baik tentu berasal dari Zat Yang Maha Baik, yakni Islam. Islam bukan sebatas agama ritual, tetapi juga pandangan hidup. Islam memuaskan akal, menenteramkan hati, dan memanusiakan manusia.
Dengan demikian, diperlukan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Setiap individu muslim, termasuk generasi, seharusnya memahami visi penciptaan, memahami hakikat hidupnya, mengenali dan memahami peristiwa yang terjadi di luar dirinya dan yang menimpa dirinya baik/buruk. Selain itu, individu muslim harus memahami bagaimana menyikapi kejadian buruk yang terjadi di luar dirinya dan yang menimpa dirinya dengan sabar. Kesabaran adalah hal yang wajib bagi setiap muslim, yaitu sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan, juga sabar dalam ketaatan.
Sementara itu, ketakwaan individu terlahir dari keluarga yang bertakwa pula. Ayah dan ibu harus bersinergi memberikan pengasuhan yang terbaik sesuai ketetapan Zat Yang Maha Baik. Orang tua mengasuh anak dengan dorongan keimanan sehingga tidak ada toksik dalam pengasuhan. Keteladanan dalam ketaatan serta kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan harus ada dalam keluarga sehingga generasi tak salah arah dalam menapaki samudera kehidupannya. Pendidikan akidah sejak dini juga ditegakkan dalam keluarga. Pembinaan intensif dengan tsaqofah Islam juga dijalankan oleh keluarga, terutama ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya agar memiliki kepribadian Islam yang tangguh.
Adapun ketakwaan masyarakat sangat mendukung saat anak atau generasi berinteraksi di lingkungan tempat tinggalnya. Suasana keimanan yang terjaga akan mendukung anak tumbuh dengan pola pikir dan pola sikap islami. Amar makruf nahi munkar juga akan menjaga anak atau generasi dari perbuatan maksiat, sekecil apa pun, sehingga generasi tak akan gampang depresi atau emosi.
Sedangkan, ketakwaan negara akan memberikan perlindungan kesehatan dari hulu hingga hilir. Kesehatan fisik dan mental akan dijamin oleh negara sebagai sebuah ketaatan pada titah Allah Swt. Negara adalah pelindung keamanan warganya, dengan menciptakan lingkungan mental yang sehat, memberikan pemahaman dan pemikiran tentang sikap mental yang sehat, menyelenggarakan pendidikan yang baik yang bisa memunculkan kesehatan mental, membiayai program-program rehabilitasi mental. Seperti yang pernah ada di masa peradaban Islam.
Kesehatan mental dalam tinta emas sejarah peradaban Islam menjadi perhatian negara. Ilmuwan muslim era Abbasiyah banyak yang mengkaji persoalan ini. Sebagaimana dilansir PontianakPos.com (10/10/2024), Menurut Syed Ibrahim B, Ph.D. dalam bukunya berjudul “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, sebagaimana dilansir dari situs grhasia.jogjaprov.go.id, rumah sakit jiwa atau insane asylums telah didirikan para dokter dan psikolog Islam beberapa abad sebelum peradaban Barat menemukannya. Rumah sakit jiwa paling awal didirikan di dunia Arab, di Baghdad pada 918 M dan di Kairo pada 800 M. Pada abad ke-13 M, Kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa.
Strategi konkret yang wajib ditegakkan adalah tiga pilar ketakwaan agar generasi terhindar dari gejala gangguan jiwa. Negara yang bertakwa akan menjadikan Islam sebagai sistem hidup, aturan yang menyelesaikan masalah dari mulai pencegahan hingga penyembuhan. Dalam kehidupan Islam, anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang berbasis akidah Islam yang mampu mencetak orang-orang bermental kuat. Pendidikan dalam sistem Islam adalah membentuk kepribadian Islam (syakhsiah islamiyah), sekaligus memiliki keterampilan menyelesaikan problem kehidupan.