
Oleh: Rindang Ayu, S.Pd.
Linimasanews.id—“Bagai memberi gula-gula,” peribahasa ini terasa sesuai dengan program pemeriksaan kesehatan gratis (PKG) di hari ulang tahun oleh pemerintah. Rakyat dibuat merasa beruntung mendapat pelayanan pemeriksaan kesehatannya secara gratis minimal setahun sekali di hari jadinya.
Program yang bertujuan meningkatkan kesadaran kesehatan masyarakat dan mendeteksi penyakit lebih awal ini rencananya dimulai pada pertengahan bulan Februari 2025. Sebanyak 10.000 puskesmas dan 20.000 klinik swasta dilibatkan dalam program ini. Anggaran yang disediakan untuk program inipun cukup besar, yaitu sekitar Rp 4,7 trilliun yang diambil dari APBN dan APBD.
Adapun 4 (empat) kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan layanan PKG saat ulang tahun berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/33/2025, adalah bayi baru lahir (usia 2 hari), balita dan anak prasekolah (usia 1-6 tahun), dewasa (usia18-59 tahun) dan Lansia ( 60 tahun keatas). Jangkauan aspek pemeriksaannya pun cukup banyak dan variatif. Bagi kelompok dewasa, tidak hanya pemeriksaan penyakit kardiovaskuler, namun paru-paru, kanker, fungsi indera dan kejiwaan pun juga menjadi sasaran pemeriksaan (Kompas.tv, 31/01/2025).
Program Hiburan Rakyat
Tentu saja program ini disambut baik oleh masyarakat, mengingat aspek kesehatan adalah faktor vital yang menjadi modal utama manusia untuk menjalani kehidupan. Terlebih lagi cek kesehatan lengkap (general check up), masih menjadi ‘barang mewah’ bagi masyarakat pada umumnya, bukan semata kesadaran masyarakat atas kesehatannya yang masih rendah, namun terlebih karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk cek kesehatan lengkap di rumah sakit atau laboratorium kesehatan.
Maka tak heran, rakyat menyebut program ini adalah ‘kado ultah’ dari negara untuk rakyat. Sebab, hal itu dianggap sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap rakyat di hari spesialnya. Namun sayang, nyatanya ‘ada udang di balik batu’ dari kado ultah tersebut. Sebab sudah jamak diketahui bahwa di negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler seperti Indonesia ini, prinsip ‘no free lunch’, alias tak ada makan siang gratis pastilah berlaku. Program gratisnya cek kesehatan di hari ultah ini nyatanya tak lebih hanyalah program hiburan rakyat semata.
Betapa tidak, sejak awal tahun 2025 lalu, rakyat disambut dengan kebijakan menyengsarakan seperti kenaikan PPN menjadi 12%. Meskipun katanya hanya diberlakukan pada barang mewah, namun nyatanya kenaikan PPN tersebut berefek domino. Mulai dari harga sembako, gas, listrik, BBM dan semua barang konsumtif masyarakat lainnya ikut mengalami kenaikan. PHK massal terjadi di mana-mana, pun tak terelakkan sebagai reaksi perusahaan untuk menekan biaya produksi akibat kenaikan pajak.
Tak cukup di situ, kondisi yang sangat dirasa oleh rakyat adalah makin susahnya mengakses klaim BPJS yang dimilikinya. Padahal, iuran perbulannya makin mahal dengan denda yang memberatkan jika terlambat membayarnya. Terlebih rakyat merasa ‘dipaksa’ mengikut program BPJS karena pemerintah mewajibkannya. Namun iuran yang dibayarkannya tiap bulan ke BPJS tak sebanding dengan pelayanan kesehatan yang diterima rakyat.
Bila demikian, tak salah jika rakyat berpikir bahwa program PKG ini tidaklah benar-benar tulus untuk rakyat. Dengan kata lain, program ini hanyalah semacam ‘gula-gula’ atau pemanis untuk ‘menghibur’ rakyat yang dibuat makin menderita akibat kebijakan kapitalis sekuler yang dibuat pemerintah.
Program Gratis yang Utopis
Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika program yang gratis hasil kebijakan populis ini akhirnya menjadi sesuatu yang utopis. Bukan karena pesimis, namun disebabkan melihat realita pelayanan kesehatan di Indonesia hari ini, di antaranya adalah kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan, baik dari sisi jumlah maupun pendistribusian yang belum merata, terlebih di daerah 3T. Juga sarana dan prasarana kesehatan yang masih minim di banyak tempat. Belum lagi terkait infrastruktur untuk mencapai fasilitas kesehatan yang juga belum memadai.
Meskipun pelaksanaan program ini dilakukan secara bertahap, namun melihat tingginya angka korupsi dan keberpihakan pembangunan untuk kalangan tertentu (oligarki), rawan munculnya berbagai masalah yang akan menghambat terwujudnya program PKG ini. Terlebih sistem kapitalisme yang diterapkan negara pada hari ini jelas membuat peran negara hanya sebagai fasilitator dan regulator terhadap urusan kesehatan.
Di satu sisi, negara sudah merasa cukup mengatur urusan kesehatan rakyat dengan mengadakan PKG ini dan telah membentuk BPJS Kesehatan (meskipun pada akhirnya pembiayaannya dibebankan pada rakyat). Namun di sisi lain, negara justru membuka pintu lebar-lebar bagi para kapital (swasta) untuk menguasai sektor kesehatan, mulai dari industri obat, alat kesehatan, hingga jaringan apotek dan rumah sakit. Apalagi sumber pemasukan utama negara hanya mengandalkan dari utang dan pajak.
Maka tak berlebihan jika timbul kekhawatiran bahwa program ini memiliki risiko gagal yang besar. Kalaupun tetap berjalan, ujung-ujungnya rakyat lagi yang akan mendapat tambahan beban, sementara para kapital/swasta mereguk keuntungan dengan menjual obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan rakyat yang telah mengetahui kondisi kesehatannya melalui program PKG ini.
Pengaturan Kesehatan dalam Sistem Islam
Sebagaimana pendidikan dan keamanan, Islam memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan vital bagi manusia yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Oleh karenanya, layanan kesehatan bagi rakyat, mulai dari pencegahan, pemeriksaan, pengobatan hingga pemulihan, harus disediakan negara secara gratis dan berkualitas untuk semua warga negara secara merata tanpa memandang agamanya (muslim atau nonmuslim), status sosial dan ekonominya, maupun letak geografis tempat tinggalnya.
Untuk menjamin terlaksananya kewajiban tersebut, negara yang bersistem Islam memiliki sumber pendapatan yang melimpah untuk mengisi kas negara atau Baitul mal. Salah satunya berasal dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang dibutuhkan rakyat, seperti air, api (minyak dan barang tambang) dan padang gembalaan (tanah dan laut).
Aturan kepemilikan dalam negara Islam menetapkan bahwa SDA tersebut adalah milik umum, sehingga haram hukumnya dimiliki atau dikelola oleh swasta. Negara pun hanya berkewajiban mengelolanya, bukan memilikinya, sehingga manfaatnya sepenuhnya dikembalikan pada rakyat, baik langsung berupa zatnya atau dalam bentuk kemaslahatan lain berupa layanan publik, seperti pendidikan, kemananan dan kesehatan yang gratis serta berkualitas untuk rakyat.
Demikianlah pengaturan sistem Islam oleh negara dalam mengurusi rakyatnya. Hal tersebut disebabkan paradigma sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam menjadikan penguasanya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya, sehingga kebijakan yang ditetapkan penguasa semata-mata hanya untuk kepentingan rakyat. Terlebih lagi semua regulasi yang ditetapkan negara hanya bersumber dari aturan Allah Yang Maha Agung yang akan membawa keberkahan yang luar biasa bagi kehidupan. Sebagaimana janji Allah Swt. dalam firman-Nya di surah Al-A’raf ayat 96:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Wallahualam bisawab.