
Oleh: Asha Tridayana
Linimasanews.id—Masyarakat Indonesia terancam mengalami PHK massal akibat dua pabrik memutuskan untuk menghentikan produksi, yakni PT Sanken Indonesia dan PT Danbi International yang sama-sama berlokasi di Jawa Barat. Tutupnya dua pabrik tersebut mengakibatkan lebih dari 2000 pekerja akan kehilangan pendapatan.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, rata-rata korban PHK akan banting setir menjadi ojek online karena kesulitan mencari pekerjaan serupa sesuai keahliannya. Sementara, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat juga mengingatkan terkait hak pekerja yang mesti ditunaikan. Menurutnya, perusahaan semestinya melakukan upaya dan strategi untuk bertahan, bukan menutup perusahaan kemudian berubah nama dengan pekerja baru berstatus pekerja harian atau outsourcing. Pihak pemerintah mesti menyelidiki perusahaan terkait karena lagi-lagi rakyat yang dirugikan. Apalagi mendekati momen Idul Fitri dan Tahun Ajaran baru, pastinya rakyat sangat membutuhkan pemasukan (cnbcindonesia.com, 20/02/25).
Selain perusahaan swasta, pemerintah sendiri juga melakukan efisiensi anggaran berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Hal ini berdampak pada berkurangnya anggaran belanja di setiap kementerian dan lembaga, termasuk program yang sedang berjalan hingga pemangkasan jumlah karyawan. Akibatnya, mempengaruhi kualitas pelayanan publik.
Namun, pemerintah mengatakan berupaya memastikan efisiensi anggaran tidak akan menghilangkan hak karyawan, terutama gaji dan layanan dasarnya. Kemudian, efisiensi anggaran juga melihat kemampuan setiap daerah sehingga tidak terjadi kesenjangan pembangunan (tirto.id, 18/02/25).
Lapangan Kerja Sempit
Badai PHK tentu menghantui masyarakat. Tidak hanya pekerja pabrik, tetapi juga pegawai kontrak di lingkungan pemerintahan. Efisiensi anggaran dan berbagai faktor lain menjadi alasan tutupnya perusahaan.
Miris, karena mencari pekerjaan di tengah perekonomian saat ini, sangatlah sulit. Berbagai kriteria ditetapkan, sehingga menambah ketatnya persaingan, termasuk batasan usia padahal korban PHK sering kali usianya sudah tidak lagi muda. Tentu tidak mudah mendapatkan pekerjaan pengganti, terutama yang sejalan dengan keahlian sebelumnya.
Demikianlah, di negara dengan sistem kapitalisme ini, PHK menjadi keniscayaan. Buruh atau pekerja dianggap termasuk faktor produksi yang bisa setiap saat dikorbankan demi menyelamatkan perusahaan. Kapitalisme sendiri berasaskan keuntungan sehingga segala hal dapat dilakukan, sekalipun mengorbankan rakyat. Sementara itu, negara hanya sebagai regulator dan fasilitator. Kerja sama antara penguasa dan pengusaha kapitalis mengakibatkan kebijakan lahir hanya memudahkan mereka menimbun pundi-pundi materi dan mengokohkan kekuasaannya.
Misalnya, dilansir dari kumparan.com (16/02/25), terkait adanya kebijakan yang memberikan jaminan pemberian 60% gaji selama 6 bulan dengan batas upah 5 juta melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kebijakan yang telah disahkan oleh Presiden Prabowo pada 7 Februari 2025 ini bukanlah angin segar. Seolah peduli dan turut prihatin dengan nasib rakyat, padahal program tersebut hanyalah peredam sesaat, tidak mampu menyelesaikan masalah. Sebab, secara logika saja, hidup dengan separuh gaji tidak cukup dan berlangsung selama 6 bulan. Waktu sesingkat itu akan sulit mendapat pekerjaan baru. Sungguh kebijakan yang tidak menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, justru memanfaatkan nasib rakyat.
Begitulah gambaran penerapan sistem kapitalisme oleh negara, hanya memberikan kesengsaraan pada rakyat, sementara penguasa dan pengusaha hidup nyaman tanpa kesulitan. Karenanya, rakyat harus segera menyadari bahwa kondisi yang demikian bukanlah takdir semata, tetapi andil dari kerusakan sistem yang mesti diperbaiki. Tidak cukup hanya mengganti pemimpin. Sebab, berbagai pergantian terbukti tidak ada perubahan yang berarti.
Dibutuhkan sistem yang sohih, yaitu sistem yang bersumber dari wahyu Allah. Allah pastinya memahami segala kebutuhan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Karena itu, Islamlah satu-satunya sistem yang dapat memberikan solusi tuntas tanpa menindas rakyat.
Islam mewajibkan negara benar-benar menjadi raa’in, yakni mengurusi urusan rakyat, termasuk dalam penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya, sehingga setiap individu dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Kesejahteraan bukanlah kemustahilan, justru menjadi wujud penerapan Islam kafah oleh negara.
Islam menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai tanggung jawab negara dengan mekanisme sesuai syariat. Yaitu, melalui sistem ekonomi Islam yang mengatur sumber pemasukan dan pengeluaran negara dengan Baitul Mal. Dengan begitu, negara dapat memiliki cukup anggaran untuk menyediakan lapangan kerja ataupun memberikan modal usaha. Rakyat pun terjamin kualitas hidupnya tanpa perlu khawatir nasib esok hari.
Demikianlah, dalam Islam, negara menjadikan Islam sebagai pedoman dan standar dalam membuat kebijakan. Bukan menggali keuntungan, tetapi memprioritaskan kemaslahatan rakyat. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).