
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Gelaran pilkada akan kembali dilaksanakan akhir tahun ini. Di tahun yang sama untuk kedua kalinya, rakyat harus mengikuti pemilihan langsung. Partai-partai politik pun mulai sibuk membuat strategi untuk bisa memenangkan suara demi mendapatkan kursi kekuasaan.
Masyarakat harus bersiap-siap menentukan pilihan, meskipun calon-calon yang dimajukan tidak mereka kenal. Sementara para politisi yang bersaing, akan bersikap seolah sok kenal sok dekat dengan masyarakat. Mereka mulai membangun citra agar terkesan sebagai partai yang merakyat. Terkadang mereka rela masuk pasar-pasar, turun ke sawah, bahkan masuk selokan demi pencitraannya.
Pilkada serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024, sedangkan tahapan pelaksanaannya sudah dimulai sejak awal Januari 2024 dan akan berakhir di bulan Desember 2024. Mengutip dari laman resmi KPU RI, masyarakat akan diberikan kesempatan untuk memilih kepala daerah mereka pada Pilkada 2024. Yang dimaksud kepala daerah adalah gubernur dan wakil gubernur sebagai kepala daerah di tingkat provinsi. Bupati dan wakil bupati untuk daerah kabupaten, walikota dan wakil walikota kepala daerah untuk wilayah kota. Sebanyak 37 provinsi yang akan mengikuti pilkada serentak pada 27 November mendatang.
Adapun untuk kandidat-kandidat yang akan dicalonkan sebagai kepala daerah masih belum ditentukan. Partai politik masih sibuk membangun koalisi dengan partai lain yang memiliki kesamaan visi dan misi, serta menentukan calon yang akan diusung dalam pilkada, baik dari kader partai sendiri atau memilih tokoh dari luar partai.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkoalisi dengan Partai Golkar sepakat mengusung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A. Rafiq sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok di Pilkada Serentak mendatang. Golkar menjadi satu-satunya partai yang serius mengusulkan calon wakil wali kota ke DPD PKS Kota Depok secara tertulis dan lisan. Koalisi dua partai besar tersebut masih membuka pintu lebar-lebar bagi partai politik yang mau bergabung. Sebab, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu membangun Kota Depok bersama-sama (Tempo.co, 12/5/2024).
Sementara itu, Jawa Barat yang merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, pastinya menjadi sorotan penting dalam peta politik negeri ini. Karenanya, nama-nama calon gubernur yang akan diperebutkan oleh partai politik adalah nama-nama figur yang berpengaruh kuat dalam masyarakat Jabar. Sebut saja Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi, dan Bima Arya Sugiarto.
Masing-masing partai pasti akan sibuk berkoalisi dengan partai lain karena tidak ada parpol di Jabar yang mampu mencalonkan sendirian berdasarkan perolehan kursi yang tidak mencukupi yakni di bawah 20 kursi. Dalam menentukan koalisi inilah biasanya partai-partai tersebut tidak lagi peduli perbedaan karakter maupun ideologi partai. Asalkan bisa terjalin kesepakatan yang saling menguntungkan, maka koalisi bisa terjadi. Tak masalah jika sebelumnya pernah berseberangan. Dalam istilah politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan menyoroti buruknya kaderisasi dan regenerasi di parpol. Ia menyebut, fenomena politik Indonesia sudah mirip bisnis di industri sepakbola. Pemain ditransfer ke sana-sini, parpol seolah menjadi agen yang hanya menyodorkan figur, tanpa berniat memasukkan figur sebagai bagian dari ideologi mereka. Akhirnya, figur diusung hanya untuk tujuan meraih kekuasaan, setelah itu ditinggal sampai bertemu di pesta demokrasi selanjutnya.
Menurut Nur, mencari kemenangan dan kekuasaan dalam pilkada itu sah-sah saja, tapi jangan sampai mengusung calon hanya demi hasrat kekuasaan tanpa melihat ideologi kader yang diusung. Apalagi jika yang diusung bukanlah dari internal partai, harus ada mahar politik. Jika tidak ada concern dan itikad memperkuat internal partai, semua akan transaksional saja (Pikiran Rakyat.com, 12/5/2024).
Gegap gempita pelaksanaan pilkada tidak terjadi di kalangan partai politik saja, tapi akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Di samping merekrut figur-figur terkenal yang dianggap menjual, para politisi juga akan berusaha merebut suara rakyat sebagai pemilih. Tentunya rakyat akan diperkenalkan dengan calon-calon yang diusung koalisi partai dengan menyampaikan keunggulan baik secara personal maupun program-program yang dirancang.
Rakyat akan kembali dibuai dengan bujuk rayu dan janji-janji baru agar mau memilih calon tertentu. Bahkan, tak segan para politisi akan turun ke lapangan menemui masyarakat dan memberikan bantuan. Namun setelah pilkada selesai dilaksanakan, rakyat sering dilupakan, keluhannya tak lagi didengar. Setelah menang, mereka akan sibuk menghitung untung rugi dan berbagi kursi. Kebijakan yang dibuat tak jarang bertentangan dengan harapan juga aspirasi rakyat. Janji tinggal janji, tak selalu ditepati.
Begitulah yang biasa terjadi dalam sistem demokrasi. Mereka berkata bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun faktanya, rakyat hanya diperlukan saat pemilihan saja, sedangkan mereka yang dipilih tidak benar-benar bekerja untuk mengurusi urusan rakyat. Politik hanya dijadikan sebagai alat meraih kekuasaan dan kekayaan, karena biaya yang dikeluarkan untuk masuk politik sangat besar. Bahkan, sering kali harus disponsori para pemodal dari kalangan oligarki, dengan imbalan yang harus dipenuhi agar usaha bisnis mereka aman terkendali.
Ini sungguh berbeda dengan sistem politik Islam yang memang bertujuan untuk mengurus urusan umat/rakyat dengan aturan agama. Pemimpin dalam Islam memandang amanah kepemimpinan bukan sebagai hadiah yang layak diperebutkan, tapi justru dianggap beban berat yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Para pemimpin Islam atau Khalifah dipilih bukan karena mencalonkan diri atau dicalonkan berdasarkan kepopuleran dan pengaruhnya saja, tetapi benar-benar diangkat berdasarkan kompetensi, baik secara agama maupun kemampuan dalam kepemimpinan.
Proses penentuan para calon ditentukan oleh Majelis Syura dari kalangan pakar dalam berbagai spesialisasi, bukan dari kalangan awam. Masyarakat mempercayakan keputusan kepada para ulama dan tokoh di Majelis Syura tersebut karena mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menilai siapa yang layak menjadi pemimpin umat.
Dalam sejarah Islam, seorang khalifah bisa diangkat dengan cara ditunjuk oleh Majelis Syura, lalu umat berbaiat padanya. Ada pula yang ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya karena mempercayai kemampuannya. Sedangkan untuk gubernur atau pemimpin wilayah, khalifah sendiri yang akan memutuskan.
Sebagai catatan, dalam politik Islam tidak ada mahar politik ataupun biaya kampanye dan lainnya. Sementara itu, posisi khalifah bukanlah sebagai pegawai yang akan mendapatkan gaji dari negara, melainkan hanya mendapatkan tunjangan kebutuhan untuk dia dan keluarganya sesuai kelayakan yang berlaku pada masanya.