
Editorial—Pertemuan Presiden Prabowo dengan para taipan di Istana, seperti yang dilaporkan media, bukan sekadar agenda rutin pemerintahan. Ini adalah potret buram sistem politik-ekonomi Indonesia yang telah menjelma menjadi alat legitimasi bagi oligarki. Ketika Presiden mengundang para konglomerat—seperti Aguan Sutanto, Tomy Winata, atau pengusaha properti besar—untuk “berbagi pandangan”, yang terjadi sejatinya adalah negosiasi kekuasaan: negara menukar kedaulatannya dengan janji investasi. Sementara rakyat, yang seharusnya menjadi subjek utama kebijakan, justru terpinggirkan dalam skema “pembangunan” ala kapitalisme.
Fakta bahwa pertemuan ini diduga terkait pengelolaan dana Badan Pengelola Investasi Danantara menguak ironi yang menyakitkan. Di satu sisi, negara mengklaim ingin mengelola aset secara “sehat” dan “bijak”, tetapi di sisi lain, ia justru menggadaikan keputusan strategis kepada para taipan yang track record-nya sarat konflik. Kasus Rempang, di mana ribuan warga terancam penggusuran untuk proyek industri, atau proyek IKN yang mengorbankan hak-hak masyarakat adat adalah bukti nyata bahwa kepentingan pemodal selalu mengalahkan suara rakyat. Bahkan, kehadiran para pengawas Danantara dalam pertemuan tersebut mengindikasikan bahwa negara tidak lagi menjadi regulator, melainkan kaki tangan oligarki.
Ini bukan kesalahan individu, melainkan konsekuensi logis sistem demokrasi kapitalistik yang memosisikan uang sebagai panglima. Dalam sistem ini, kekuasaan tidak lahir dari mandat rakyat, melainkan dari transaksi politik-ekonomi. Pemilu menjadi ajang lelang kekuasaan, sementara kebijakan negara berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan kepada penawar tertinggi. Alhasil, rakyat hanya menjadi objek yang terus dikorbankan: dirampas lahannya, dipreteli hak-haknya, dan dipaksa tunduk pada logika “pertumbuhan ekonomi” yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Sistem sekuler kapitalistik telah gagal total menjadi solusi. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai “pemerintahan dari rakyat” ternyata hanya ilusi. Dalam praktiknya, demokrasi kapitalistik adalah alat para pemilik modal untuk mengonsolidasi kekuasaan. Lihatlah bagaimana UU Cipta Kerja disahkan demi memuluskan investasi, atau bagaimana alih fungsi lahan marak terjadi dengan dalih “pembangunan”. Negara tidak lagi menjadi pelindung, melainkan predator yang melayani kepentingan korporasi.
Paradoksnya, penguasa dalam sistem ini justru merasa legitimasinya sah selama dipilih melalui kotak suara—meski kebijakannya menyengsarakan rakyat. Inilah kelemahan fatal demokrasi: ia mengukur legitimasi dari prosedur, bukan dari substansi keadilan. Akibatnya, pemimpin seperti Prabowo bebas mengadakan pertemuan tertutup dengan para taipan, sementara rakyat yang membutuhkan keadilan hanya mendapat janji kosong.
Paradigma Kepemimpinan Islam
Islam menawarkan paradigma kepemimpinan yang secara radikal sangat berbeda. Dalam khazanah politik Islam, pemimpin adalah ra’in wal junnah (pelindung dan perisai) yang bertanggung jawab langsung kepada Allah dan rakyat. Kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada kaum lemah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak akan menggadaikan kedaulatannya kepada taipan. Sumber daya alam, seperti tambang, hutan, atau laut, dikelola untuk kemaslahatan rakyat—bukan untuk mengisi pundi-pundi konglomerat. Mekanisme zakat, larangan riba, dan pelarangan monopoli (ihtikar) menjadi tameng untuk mencegah penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Negara juga wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat: pangan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, tanpa tergantung pada utang atau investasi asing.
Solusi atas krisis ini tidak bisa parsial. Mengganti rezim tanpa mengubah sistem hanya akan melahirkan lingkaran setan yang sama. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemis, perubahan dari demokrasi kapitalistik menuju sistem Islam yang memadukan akidah sebagai fondasi, syariah sebagai aturan main, dan kepemimpinan yang bertakwa sebagai pelaksana.
Pertama, negara harus independen dari pengaruh pemilik modal. Kebijakan ekonomi harus berbasis pada prinsip kemaslahatan umat, bukan pertumbuhan angka semu. Kedua, penguasa wajib menerapkan sanksi tegas terhadap korupsi dan eksploitasi sumber daya alam. Ketiga, masyarakat harus aktif mengawasi penguasa melalui mekanisme amar ma’ruf nahi munkar, sehingga tidak ada ruang bagi kebijakan yang mengorbankan rakyat.
Pertemuan Prabowo dengan para taipan adalah alarm keras: negara ini sedang dalam cengkeraman oligarki. Rakyat tidak bisa lagi berharap pada sistem yang bobrok. Umat Islam harus menyadari bahwa hanya dengan kembali pada sistem Islam—yang mengutamakan keadilan, kedaulatan, dan ketakwaan—Indonesia bisa lepas dari jerat kapitalisme global. Sejarah telah membuktikan, Khilafah Islamiyah selama berabad-abad mampu menyejahterakan rakyat tanpa menggadaikan negara pada pemilik modal. Kini, tugas kita adalah memperjuangkannya. Bukan dengan retorika, tapi dengan kesadaran, edukasi, dan dakwah secara sistematis demi penegakan syariah secara kafah. Tanpa ini, Indonesia hanya akan menjadi “negara sewaan” yang rakyatnya terus merana. [Lins/OHF]