
Oleh: Ning Alfiatus Sa’diyah, S.Pd. (Pengasuh TPQ Darul Arqom dan Madin Nurul Mas’ud)
Linimasanews.id—Isu mengenai mental health (kesehatan mental) yang melanda remaja seakan tidak ada habisnya. Saat ini, banyak kaum muda yang melakukan bunuh diri, salah satunya lantaran stres. Menghadapi berbagai masalah yang rumit, mereka bingung menemukan cara menyelesaikannya.
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebut, sekitar 15,5 juta remaja menderita masalah kesehatan mental. Angka tersebut setara dengan 34,9 persen dari total seluruh remaja di Indonesia. Data tersebut diperoleh dari hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey pada 2024. Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Health Collaboration Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) menyatakan, 34 persen pelajar SMA di Jakarta terindikasi memiliki masalah kesehatan mental. Hasil riset tersebut kemudian dijadikan sebagai angka prevalensi di Indonesia (tempo.com, 15/02/2025).
Masalah mental health yang sedang menjangkiti remaja ini tentu mengkhawatirkan. Terlebih, Indonesia memiliki penduduk usia produktif dengan persentase yang besar.
Ada banyak faktor pemicu mental health. Salah satunya, standar kehidupan yang sangat tidak realistis. Misalnya, standar kecantikan yang menuntut untuk memiliki postur tubuh yang bagus, warna kulit putih, tidak gemuk, dan sebagainya. Bagi sebagian orang yang tidak memiliki standar tersebut, akan merasa minder, tidak percaya diri, dan menutup diri dari dunia luar. Selain itu, remaja yang kecanduan media sosial juga bisa mempengaruhi kondisi mentalnya. Konten-konten yang dilihat akan mempengaruhi pola sikap dan pola pikirnya. Hal inilah yang mengakibatkan stres hingga berpikir untuk mengakhiri hidup. Remaja gagal mencari solusi yang sahih atas berbagai permasalahan hidupnya. Sekularisme berhasil menggiring remaja untuk jauh dari agama (Islam).
Kondisi ini semua bertolak belakang dengan pandangan Islam. Dalam Islam, negara bertanggung jawab membina generasi dengan baik sehingga dapat melahirkan generasi cemerlang serta berkualitas. Contohnya kegemilangan Islam, misalnya di masa Kekhilafahan Abasiyyah yang menjadi mercusuar dunia karena berhasil menyumbangkan berbagai penemuan penting di bidang sains dan teknologi. Pendidikan Islam menjadi pendidikan nomor satu yang berhasil mencetak berbagai ilmuwan hebat melalui penerapan syariat Islam di berbagai aspek kehidupan. Begitu pula di masa Kekhilafahan Utsmaniyyah yang berhasil mencetak pemuda seperti Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel.
Di sinilah pentingnya pendidikan dan pembinaan yang berkualitas. Untuk mewujudkannya, Islam mewajibkan negara membangun sistem pendidikan yang berasas pada akidah Islam. Pendidikan Islam akan membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami yakni, seluruh perbuatan maupun standar rasa cinta dan benci akan sesuai dengan syariat/hukum Islam.
Selain itu, negara juga wajib menyiapkan orang tua dan masyarakat untuk mendukung proses pembentukan generasi yang mulia serta bermental kuat. Hal itu akan meminimalkan datangnya faktor eksternal yang mendorong perilaku buruk. Negara juga akan menjauhkan remaja dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam dan dapat merusak pemikiran dan perilaku. Dalam hal ini negara hadir sebagai junnah (perisai) untuk rakyatnya, menjaga dan melindungi rakyatnya, baik dari serangan fisik maupun serangan pemikiran.
Inilah mekanisme Islam menjaga generasi dan menempa mereka menjadi generasi emas peradaban. Permasalahan mental health akan terus terjadi jika negeri ini tetap berpijak pada sekularisme. Maka, satu-satunya solusi adalah kembali pada sistem Islam yang telah terbukti mampu mencetak generasi berkualitas, pemimpin peradaban dunia selama 13 abad.