
Editorial—Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia siap mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke tanah air menjadi sorotan yang menimbulkan beragam reaksi. Di tengah kobaran genosida dan penjajahan yang belum kunjung reda, tawaran evakuasi ini bukanlah solusi hakiki. Justru, langkah tersebut sangat mungkin memuluskan agenda zionis Israel untuk mengosongkan Gaza dari rakyatnya, demi mempercepat proyek pendudukan dan perampasan wilayah.
Evakuasi, dengan dalih kemanusiaan, dalam konteks ini dapat menjadi alat normalisasi pengusiran sistematis oleh Israel. Ketika ribuan rakyat Palestina dipaksa meninggalkan tanah mereka sendiri, maka cita-cita penjajah untuk menguasai seluruh Palestina kian nyata. Apalagi, sejarah telah menunjukkan bahwa pengungsian rakyat Palestina tidak pernah berujung pada pemulangan secara utuh, melainkan hanya memperpanjang derita di pengasingan.
Lebih dari itu, tawaran evakuasi juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika geopolitik dan tekanan internasional. Adanya kebijakan Amerika Serikat yang menaikkan tarif impor terhadap Indonesia bisa menjadi alat barter politik. Ada kemungkinan bahwa keberhasilan negosiasi Indonesia atas kebijakan ekonomi itu akan dibayar dengan kesediaan Indonesia menerima pengungsi Gaza. Jika benar demikian, maka inilah potret tragis sebuah negeri yang tidak berdaulat penuh, bergantung pada kekuatan adidaya yang justru menjadi sekutu erat penjajah.
Ironisnya, di saat umat Islam di berbagai belahan dunia menyerukan jihad sebagai satu-satunya solusi hakiki untuk membebaskan Palestina dari penjajahan, para pemimpin negeri muslim justru sibuk mencari jalan damai semu. Nasionalisme sempit dan prinsip non-intervensi menjadi tembok penghalang bagi umat Islam untuk memenuhi seruan jihad. Padahal, ketika tanah umat diinjak-injak dan darah saudara sesama muslim ditumpahkan, diam adalah bentuk pengkhianatan karena berarti umat Islam ibarat satu tubuh menjadi tidak terwujud.
Sudah seharusnya para pemimpin negeri-negeri muslim bersatu dalam satu barisan untuk mengusir penjajah zionis dari tanah Palestina, bukan malah mengusir rakyat Palestina dari negerinya sendiri. Karena itu, solusi sejati hanya bisa dicapai jika umat kembali pada Islam sebagai sistem kehidupan, dalam bentuk Khilafah Islamiyah yang akan menyatukan kekuatan umat, menerapkan syariat Islam secara kaffah, dan memimpin jihad membebaskan tanah suci Palestina.
Saatnya umat menolak keras skenario evakuasi ini. Umat harus menyeru penguasa muslim untuk mengirimkan tentara, bukan sekadar bantuan kemanusiaan. Umat juga harus terus bergerak menuntut tegaknya Khilafah, karena hanya dengan Khilafah dan jihad fi sabilillah Palestina bisa benar-benar merdeka dari cengkeraman penjajah.
Inilah saatnya membangun kesadaran politik umat dan mendorong kepemimpinan ideologis dari partai Islam yang teguh di atas jalan perjuangan. Karena hanya dengan perjuangan terorganisir dan ideologis, tekanan pada penguasa dapat diarahkan menuju tindakan nyata untuk membela Palestina, dan bukan justru memperkuat posisi penjajah. [OHF]