
Oleh: Luthfia Rifaah, S.T., M.Pd.
Linimasanews.id—Baru-baru ini, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan bahwa Indonesia siap mengevakuasi seribu warga Gaza ke tanah air. “Jika pemerintah Palestina dan pihak terkait ingin mengevakuasi mereka ke Indonesia, kami siap kirim pesawat-pesawat untuk menjemput. Kita perkirakan jumlahnya sekitar 1.000 orang untuk gelombang pertama,” jelas Prabowo sebagaimana dikutip dari beritasatu.com, Rabu (9/4/2025).
Sekilas, pernyataan ini tampak sebagai bentuk empati dan solidaritas terhadap penderitaan rakyat Gaza. Namun, jika ditelaah lebih dalam, evakuasi ini sejatinya justru berpotensi memuluskan agenda Zionis Yahudi untuk mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya. Sebab, yang selama ini menjadi target utama penjajah bukan hanya wilayah Palestina, tetapi juga pengusiran sistematis rakyatnya dari tanah kelahiran mereka sendiri. Bukankah ini justru sejalan dengan agenda penjajah?
Di saat umat Islam menyerukan jihad untuk membebaskan Palestina, mengusir penjajah, dan mengembalikan hak kaum muslim atas tanah suci tersebut mengapa justru warga Gaza yang harus dievakuasi? Mengapa bukan Zionis yang diusir? Evakuasi bukanlah solusi. Ia hanyalah pelarian dari persoalan pokok.
Penjajahan dan genosida terus berlangsung, dan seluruh dunia menjadi saksi bahwa diplomasi, resolusi, dan pernyataan kecaman tak mampu menghentikan kedzaliman itu. Maka, mengapa kita menghindari solusi syar’i, yakni jihad fi sabilillah? Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap realitas tekanan politik global.
Amerika Serikat baru-baru ini menaikkan tarif impor terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. Sangat mungkin bahwa kebijakan evakuasi warga Gaza ini merupakan bagian dari “tukar guling” dalam diplomasi. Inilah buah dari ketergantungan pada negara adidaya. Ketika kedaulatan ekonomi dan politik tak dimiliki, maka arah kebijakan pun mudah dikendalikan pihak luar.
Sayangnya, pemimpin negeri-negeri Muslim hari ini tak lagi menyambut seruan jihad. Mereka tersandera oleh nasionalisme sempit dan prinsip non-intervensi dalam urusan negara lain. Padahal, Palestina bukan sekadar urusan bangsa Palestina. Ia adalah urusan seluruh umat Islam. Maka, saat para pemimpin diam, itulah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap amanah umat dan risalah Islam.
Umat Islam membutuhkan pemimpin yang berani dan sistem pemerintahan yang benar. Bukan sistem demokrasi sekuler yang membungkam suara jihad, tapi Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang menyatukan umat dan memobilisasi kekuatan untuk membebaskan wilayah-wilayah kaum muslim yang terjajah. Khilafahlah yang akan mengirimkan pasukan, bukan pesawat evakuasi; mengusir penjajah, bukan mengungsikan rakyatnya.
Hari ini, umat harus disadarkan untuk menolak proyek evakuasi yang mengaburkan akar masalah. Umat harus menyeru para penguasa muslim untuk mengirimkan tentara membela Palestina. Di saat yang sama, umat harus memperkuat perjuangan menegakkan Khilafah. Sebab, hanya dengan Khilafah dan jihad, Palestina benar-benar akan merdeka, dan penjajahan akan berakhir.
Gerakan ini tentu butuh kepemimpinan. Bukan kepemimpinan pragmatis, tapi kepemimpinan ideologis dari partai Islam yang lurus dalam perjuangan. Hanya dengan bimbingan ideologi Islam, arah perjuangan umat tidak akan menyimpang, dan kekuatan umat dapat diarahkan untuk mendesak para penguasa agar menunaikan kewajiban mereka adalah menggerakkan jihad dan menegakkan Khilafah.