
Oleh: Ummu Fernand
Linimasanews.id—Presiden Prabowo menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengirimkan pesawat guna menjemput para korban dalam gelombang pertama evakuasi. Dia memperkirakan gelombang pertama evakuasi bisa mencakup sekitar 1.000 orang, saat dirinya memulai kunjungan ke Timur Tengah dan Turki.
Rencana ini masih dalam tahap konsultasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk otoritas Palestina dan negara-negara di Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania. Presiden Prabowo juga telah mengutus menteri luar negeri, Sugiono, untuk berkoordinasi dengan pemerintah Palestina mengenai mekanisme evakuasi (beritasatu.com, 9/4/2025)
Bukan Sekadar Persoalan Kemanusiaan
Rencana Indonesia untuk merelokasi sementara warga Gaza ke tanah air yang dikemas dalam misi kemanusiaan, sejatinya menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi berbagai kalangan. Sebab, persoalan Palestina bukan semata-mata persoalan kemanusiaan, bukan sekedar soal korban luka, yatim piatu, atau mereka yang mengalami trauma. Persoalan Palestina adalah persoalan penjajahan dan pendudukan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Ini adalah persoalan ideologis dan agama, yang seharusnya dipahami secara utuh oleh umat Islam dan para pemimpin di negeri-negeri muslim.
Dengan menjadikan solusi kemanusiaan sebagai pendekatan utama, seperti evaluasi dan penampungan sementara, para penguasa negeri-negeri muslim justru terkesan menjauh dari solusi hakiki yang telah ditunjukkan oleh syariat, yakni jihad fii sabilillah, untuk membebaskan tanah suci dan menolak penjajahan.
Solusi semacam ini tidak menyentuh akar persoalan, bahkan berpotensi memperlemah posisi umat Islam dunia untuk mengirimkan tentaranya ke Gaza. Lebih dari itu, langkah-langkah seperti ini seringkali justru mengikuti narasi dan kepentingan Barat, terutama Amerika Serikat yang sejak awal diketahui sebagai pendukung utama entitas Zionis.
Dengan mengalihkan perhatian umat Islam dari perjuangan pembebasan ke isu kemanusiaan semata, Amerika Serikat justru makin leluasa menjalankan agenda geopolitiknya di Timur Tengah. Dukungan terbukanya terhadap genosida yang dilakukan Zionis pun menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat internasional. Sebab, umat Islam sendiri telah digiring untuk melihat persoalan ini dari kacamata kemanusiaan yang sempit, bukan sebagai bentuk penjajahan yang wajib dilawan dengan jihad.
Solusi ini juga terkesan membiarkan Zionis merebut tanah suci Palestina, yang notabene adalah tanah milik kaum muslim. Pada dasarnya, solusi-solusi yang diambil oleh para penguasa negeri-negeri muslim saat ini mencerminkan upaya untuk menjaga hubungan baik dengan tuan mereka di Barat, ketimbang menunjukkan keberpihakan sejati terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina.
Sudah saatnya umat Islam menyadari, bahwa tidak akan ada keadilan sejati bagi Palestina, selama kita masih mengabaikan akar persoalan dan solusi ideologis yang telah ditetapkan oleh syarak.
Kembali kepada Syariat Islam Kafah
Persoalan Palestina sejatinya bukan hanya sekadar tentang kemanusiaan, bukan pula sekadar konflik antara dua negara atau bangsa. Namun, ini merupakan persoalan penjajahan atas tanah kaum muslim, penodaan terhadap kesucian tanah para nabi, dan pendudukan atas wilayah Islam yang semestinya dijaga dan dibela oleh seluruh umat Islam. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an, surah Al-Anfal ayat 39, yang artinya, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) agama hanya untuk Allah semata. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa jihad disyariatkan untuk menghapuskan fitnah, yakni kekafiran dan penindasan terhadap Islam dan umatnya, serta menegakkan kedaulatan Islam sepenuhnya. Tidak cukup hanya dengan mengecam atau berdiplomasi, apalagi hanya memberi bantuan medis. Selama penjajahan masih berlangsung, jihad tetap menjadi kewajiban.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya …” (HR. Muslim)
Mengubah dengan tangan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah melalui penguasa dengan segala kewenangan yang dimilikinya, yakni Khalifah. Tanpa adanya Khilafah, tidak ada institusi yang benar-benar bisa menggerakkan kekuatan militer umat Islam secara menyeluruh untuk membebaskan Palestina.
Negeri-negeri muslim saat ini tercerai berai, masing-masing tunduk pada batas wilayah nasionalisme yang sempit, dan kepentingan geopolitik asing. Inilah yang membuat seruan jihad tidak pernah bisa terwujud secara nyata. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Imam (khalifah) itu adalah perisai. Di belakangnya orang-orang berperang, dan dengannya mereka berlindung.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa kekuatan jihad yang terorganisasi harus berada di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Tanpa Khilafah, jihad akan terfragmentasi, tidak terkoordinasi, dan tidak memiliki dampak strategis global untuk membebaskan negeri-negeri muslim, termasuk Palestina.
Apa yang terjadi hari ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap isu Palestina oleh para penguasa negeri muslim. Mereka terus mendorong solusi perdamaian dua negara, relokasi pengungsi, bahkan normalisasi hubungan dengan Zionis. Padahal semua itu adalah solusi buatan Barat, terutama Amerika Serikat, untuk menjaga eksistensi entitas Zionis dan memastikan hegemoni mereka tetap kuat di wilayah Timur Tengah.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa tidak ada solusi lain untuk membebaskan negeri-negeri muslim dari cengkeraman hegemoni Barat, terutama Palestina, selain kembali kepada syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah. Walhasil, dengan diterapkannya syariat Islam kaffah dalam bingkai Khilafah, kesejahteraan dan kemuliaan Islam dan kaum muslim akan senantiasa terjaga. Wallahualam bisawab.