
Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H.
Linimasanews.id—Pesta demokrasi 2024 (pemilu anggota DPD, DPR, DPRD dan pemilihan Presiden) telah selesai dilaksanakan. Akan tetapi, pesta demokrasi ini belum usai karena akan dilanjutkan dengan pemilu kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan tanggal 27 Nopember 2024.
Di sela-sela kesibukan penyambutan pesta demokrasi ini, terdengar kabar dari Anggota DPR RI Fraksi PDIP Hugua yang mengusulkan kepada KPU untuk melegalkan money politics atau politik uang dalam PKPU. Hugua menilai, money politics perlu dilegalkan dengan batasan tertentu. Dalam rapat kerja KPU dengan Komisi II DPR di Senayan, Jakarta Pusat (15/5).
Hagua berpendapat, jika money politics tidak dilegalkan, politikus akan kucing-kucingan terus dengan pengawas pemilu, sehingga hanya saudagar yang kedepannya bertarung di pilkada, bukan negarawan dan politikus lagi. “Karena enggak punya uang, pasti tidak akan menang, rakyat tidak akan memilih karena ini atmosfer kondisi ekosistem masyarakat, Karena itu, money politics harus dilegalkan dengan batasan tertentu, misalnya maksimal Rp5.000 atau bisa Rp5 juta (Kompas.com, 15/5/2024).
Pernyataan ini kemudian diklarifikasi oleh PDIP yang menilai ucapan Hugua itu merupakan sindiran atau sarkasme karena muak dengan begitu maraknya praktik money politics selama musim kampanye atau tahapan Pemilu 2024 yang kasat mata dan tidak ada penindakan dan bahkan terkesan adanya pembiaran oleh pihak penyelenggaraan pemilu dan aparat (detiknews.com, 16/5/2024).
Jika ditelisik, sistem demokrasi yang diterapkan di tengah masyarakat saat ini memang menuntut kampanye politik yang mahal karena kontestan selalu menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk para pemilih. Padahal, pemberian uang kepada pemilih itu adalah bentuk pragmatisme politik.
Dalam hal ini, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah menyampaikan bahwa calon kepala daerah yang ingin mengikuti pemilu harus menyediakan modal banyak mulai dari puluhan hingga ratusan miliar tergantung daerah pemilihan (detiknews.com, 16/9/2022). Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta juga menyampaikan, berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri (kemendagri), biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar 20-30 miliar. (AntaraKalteng.com, 4 Juli 2023).
Secara kronologi, politik uang sudah dimulai dari persiapan menuju pemilu, sebelum kampanye, saat kampanye, masa tenang, hari pemungutan suara, hingga selesainya pemungutan suara. Praktik tersebut bisa berupa pemberian uang atau barang, maupun janji kepada para pemilih jika memberikan pilihan atau suaranya kepada calon tertentu. Dengan modal besar yang harus dikeluarkan untuk menjadi pejabat, maka wajar pejabat yang terpilih menjadi koruptor. Maraknya korupsi dalam pemerintahan demokrasi juga bermula dari proses pemilu atau pilkada yang didominasi praktik politik uang tersebut. Dengan besarnya iuran parpol tersebut, tidak dimungkiri akhirnya pun mereka ramai-ramai korupsi.
Wacana mengeliminasi politik uang sebenarnya terus diupayakan dengan dibuatnya seperangkat aturan larangan. Misalnya, pasal 4 UU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2014 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati, dan Wali Kota, serta pasal 228 dan Pasal 93 UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum. Di antaranya pada poin (e) disebutkan, tugas Bawaslu, yaitu “Mencegah terjadinya praktik politik uang.”
Namun, aturan tinggal aturan. Mengapa demikian? Karena aturan tersebut dibuat oleh manusia. Membuat produknya pun dengan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, wajar demokrasi itu mahal.
Lembaga untuk menindak praktik ini pun sejatinya sudah dibentuk. Akan tetapi apa daya, jangankan menumpas praktik-praktik yang bertentangan dengan aturan, hari ini malah lembaga-lembaga tersebut diterpa berbagai kasus yang seharusnya mereka tumpas.
Sayangnya, tetap masih ada yang berpandangan bahwa demokrasi tidak boleh dipersalahkan. Menurut mereka yang salah hanyalah orangnya. Sementara pada faktanya, demokrasilah yang menuntut demikian. Prinsip kedaulatan rakyat, konsep perwakilan dan asas kebebasan, membuat kekuasaan jadi ajang rebutan.
Paradigma kepemimpinan pun kehilangan esensi, dari prinsip pengurusan dan penjagaan, jadi sekadar pengaturan (regulator). Akibatnya, rakyat tidak merasakan kepengurusan dari pemimpinnya. Rakyat sibuk dengan masalah-masalah yang dihadapi, sedangkan pejabat sibuk untuk saling berebut hidangan kekuasaan. Selain itu, mereka juga yang menjadi pelaku praktik uang tersebut. Sehingga, bagaimana mungkin politik uang akan hilang dalam sistem demokrasi yang terus melestarikan fenomena ini yang bahkan seolah “membudaya” dalam politik demokrasi?
Hal ini karena demokrasi yang merupakan anak dari sistem kapitalis berdiri atas pemisahan agama dengan kehidupan. Nilai-nilai agama dikesampingkan dalam urusan dunia, termasuk dalam hal politik. Bahkan, standarnya adalah materi/modal. Siapa saja yang memiliki modal maka akan mampu untuk bersaing dan berkuasa. Inilah yang diterapkan. Karenanya, persoalan praktik politik uang ini bukan sekadar masalah budaya atau tindak pidana saja, tetapi dari kacamata agama hal ini merupakan perbuatan yang dilarang dan berdosa.
Islam sebagai Solusi
Dalam Islam, kepemimpinan dipandang sebagai amanah yang sangat besar, bukan prestise, apalagi jadi jalan mengumpulkan kekayaan. Kepemimpinan sejatinya adalah amanah dalam hal pengurusan (ri’ayah) umat yang dimensinya bukan hanya duniawi, tetapi juga ukhrawi. Mereka akan mengambil amanah tersebut semata untuk menyempurnakan ketaatan kepada Allah dan dalam rangka untuk menerapkan syariat Allah.
Para pemimpin itu akan memimpin dengan rasa takut akan amanah yang mereka ambil karena hal tersebut akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw., ”Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang aan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa ia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)
Beliau juga bersabda, “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslim dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Sistem Islam telah menetapkan aturan terperinci dalam hal mekanisme memilih pemimpin. Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), tidak dikenal praktik politik uang karena masyarakat akan memilih pemimpin yang benar-benar berkapasitas dan kapabel. Calon pemimpin dan pejabat tidak perlu melakukan pencitraan dan praktik politik uang sebagaimana dalam demokrasi. Integritas pemimpin dan pejabat struktur pemerintah dalam khilafah akan tampak nyata dalam motifnya yang semata-mata untuk mengurusi urusan umat. Mereka akan selalu mengedepankan pengurusan dengan kualitas terbaik. Hal ini pun didasari oleh penanaman akidah Islam yang menancap kuat dalam diri para pejabat dalam struktur pemerintahan Islam.
Selain itu, dalam sistem Islam akan lahir masyarakat yang selalu melaksanakan amar makruf nahi munkar yang salah satunya untuk menjaga kepemimpinan tersebut berjalan sesuai syariat dengan melakukan muhasabah lil hukkam (mengontrol penguasa) yang tidak dibatasi bagi rakyat atas para penguasa.
Di samping itu, sistem sanksi Islam berlaku bukan hanya pada rakyat jelata, tetapi juga berlaku pada para penguasa zalim yang menyengsarakan rakyatnya. Akan ada Mahkamah Mazhalim yang melalui pembuktian yang adil dan berdasarkan fakta. Mahkamah akan menindak penguasa yang zalim dan akan menurunkannya dari kekuasaannya.
Inilah rahasia kegemilangan peradaban Islam yang tegak selama belasan abad. Keshalihan para pemimpin berpadu dengan kehebatan sistem aturan Islam yang dijaga dengan baik oleh rakyatnya. Meski memungkinkan terjadi penyimpangan dalam penerapan, tetapi tetap saja sejarah gemilang kepemimpinan Islam tidak pernah ada tandingannya. Sudah saatnya kita beralih kepada sistem shahih yang sesuai fitrah manusia ini, yakni sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.