
Oleh: Safira Az-Zahra (Aktivis Mahasiswa)
Linimasanews.id—Beberapa waktu terakhir, publik kembali dikejutkan oleh isu kebocoran soal Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK SNBT). Ketua Umum Tim Penanggung Jawab SNPMB, Eduart Wolok, langsung membantah adanya kebocoran dengan menyatakan bahwa tidak ada set soal yang sama antara sesi dan hari pelaksanaan. Namun, ironisnya, sejak hari pertama UTBK 2025, telah ditemukan 14 kasus kecurangan yang dilakukan dengan berbagai modus: mulai dari kamera tersembunyi di kancing baju, ikat pinggang, hingga behel gigi.
Kasus-kasus ini seolah mencederai prinsip keadilan, integritas, dan kejujuran yang seharusnya menjadi fondasi dalam seleksi nasional. Meski kerap dianggap sebagai kesalahan individu yang tidak jujur, fenomena ini sejatinya lebih dari sekadar persoalan moral personal. Ia adalah cermin dari sistem yang membentuknya.
Kita hidup dalam realitas sistem pendidikan yang semakin berorientasi pada kapital. Di bawah bayang-bayang kapitalisme, pendidikan tak lagi semata sarana pembentukan karakter, melainkan telah menjadi komoditas. Akses ke perguruan tinggi bergengsi, misalnya, kini sering bergantung pada kemampuan finansial—bimbingan belajar mahal, relasi elite, bahkan praktik suap. Maka, bukan hal mengejutkan jika kecurangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi dinormalisasi sebagai “strategi bertahan” dalam sistem yang kompetitif dan tak merata.
Kapitalisme mengukur keberhasilan individu berdasarkan pencapaian materi dan status sosial. Dalam konteks ini, pendidikan berubah menjadi tiket mobilitas sosial, dan segala cara pun kerap dibenarkan untuk memperolehnya. Kecurangan menjadi gejala dari sistem yang menormalisasi persaingan tanpa etika, mendorong individu pada pragmatisme yang mengabaikan nilai.
Selain itu, kita juga menghadapi dampak dari sekularisasi pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Pendidikan yang kehilangan orientasi moral dan transendental hanya akan mencetak manusia-manusia yang kompeten secara teknis, namun rapuh secara etik. Seperti yang pernah diungkapkan Anies Baswedan, jika pendidikan hanya diarahkan untuk menyiapkan tenaga kerja, maka ia akan melahirkan generasi yang menjual ilmunya kepada siapa saja yang bisa membayar paling mahal tanpa peduli pada dampak sosialnya.
Di dalam Islam, pendidikan seharusnya menjadi alat pembentuk kepribadian yang utuh. Sistem pendidikan Islam memiliki visi yang jelas, yakni mencetak generasi dengan pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam (syahksiyah islamiah). Dengan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, bukan sebuah utopia lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya. Ditopang dengan ekonomi Islam yang menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam, seluruh elemen masyarakat dapat merasakan hak pendidikan secara gratis.
Selain itu, pengawasan moral tidak hanya datang dari hukum, tetapi dari kesadaran internal individu yang merasa selalu diawasi oleh Tuhan-Nya. Negara pun tidak sekadar memberikan sanksi hukum, melainkan juga mendorong budaya amar ma’ruf nahi munkar sebagai bagian dari kehidupan sosial.
Maka, jika kita ingin memberantas kecurangan dalam pendidikan, kita tidak cukup hanya mengandalkan teknologi pengawasan atau hukuman semata. Kita harus berani meninjau ulang akar sistemiknya. Pendidikan bukan sekadar jalan menuju kesuksesan duniawi, tapi juga proses pembentukan manusia seutuhnya.
Fenomena kecurangan dalam UTBK tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem pendidikan yang berorientasi pada hasil, bukan proses. Maka, upaya memperbaiki kondisi ini tidak cukup dilakukan hanya dengan pergantian kurikulum misalnya, tapi perubahan ini juga harus menyentuh fondasi nilai yang menopang seluruh sistem pendidikan yang ada. Dalam dunia yang serba kompetitif, kita perlu kembali meneguhkan pendidikan sebagai ruang pembentukan integritas, bukan sekadar arena perlombaan status sosial. Wallahulam.