
Oleh: Fafida
Linimasanews.id—Sudah bukan rahasia lagi, di balik gemerlapnya pembangunan gedung gedung pencakar langit, terdapat sebuah kenyataan yang mungkin pahit untuk kita telan sebagi bangsa Indonesia, yaitu sebuah kenyataan bahwa jutaan rakyat negeri kita masih tetap hidup dengan kondisi tanpa hunian yang layak. Menurut data terbaru dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dapat diketahui bahwa sebanyak 2,69 juta rumah di Indonesia tergolong tak layak huni. Inilah potret nyata kehidupan masyarakat kita, tak sedikit dari mereka yang hidup di kondisi yang tak sehat.
Berbagai upaya tampaknya dilakukan oleh kementrian sosial, juga kementerian PUPR, proyek pembangunan rumah layak huni bagi rakyat miskin terus digagas, namun, sayangnya, progam ini tak pernah sekalipun menyentuh akar dari permasalahan ini. Tampaknya, keterbatasan anggaran dan berbagai pendekatan yang hanya bersifat tambal sulam membuat permasalahan dari hal hunian ini hanya berputar di lingkaran yang sama saja. Progam bantuan layak huni pun masih amat terbatas dan tak sebanding dengan jumlah warga yang membutuhkan.
Pun, kita tak dapat menutup mata terhadap harga tanah dan material bangunan yang tiap tahun kian melonjak. Kenaikan ini tentu saja didorong oleh mekanisme pasar bebas yang menjadikan rumah dan tanah sebagai komoditas yang hanya dapat dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuasan ekonomi. Alhasil, bagi mereka yang tak mampu, harapan tuk memiliki rumah bukan lagi mimpi yang sederhana, melainkan mimpi yang mungkin amat susah di gapai sebab dijauhkan oleh sistem yang tak berpihak pada mereka.
Akar dari permasalahan ini tentu saja bermula dari sistem yang kini menjadi pijakan negeri ini. Kapitalisme, sistem buatan tangan manusia yang terus dijadikan dasar dalam menjalankan roda pemerintahan, telah berhasil menciptakan ketimpangan ekonomi yang luar biasa. Sistem ini tentu saja hanya akan berpihak bagi para kapitalis, sang pemilik modal, mereka melihat bahwa kebutuhan pokok senajan rumah, tentu dapat menjadi ladang bisnis yang amat mengiurkan. Dalam sistem ini, siapa yang kaya, akan terus menjadi kaya, dan siapa yang miskin, tentu akan terus terpuruk dalam kemiskinannya.
Rumah yang semestinya menjadi tempat berlindung yang aman dan menenangkan kini telah berubah menjadi simbol ketidakadilan. Di saat korporasi mendominasi sektor properti, pembangunan perumahan tak lagi diarahkan tuk pemenuhan kebutuhan rakyat, memainkan demi meraih keuntungan sebanyak banyak nya, sementara itu negara, yang harusnya menjadi pelindung rakyat, kini justru berbalik menjadi regulator yang hanya sekedar mengatur lalu lalang korporasi, tanpa ada secuil kepedulian terhadap kebutuhan rakyat.
Hal ini juga ikut di perparah oleh budaya berhutang yang kerap di lakukan oleh masyarakat, tak sedikit dari mereka yang berhutang KPR secara ribawi supaya dapat memiliki rumah. Namun, utang ini tentunya hanya akan menyeret mereka semakin masuk kedalam tekanan finansial yang berkepanjangan. Sistem ini tak pernah tawarkan solusi jangka panjang, yang mereka tawarkan hanyalah pemeliharaan penderitaan yang terus berlanjut.
Dalam sistem kapitalisme, tanah dijadikan objek kepemilikan yang bisa dimonopoli oleh mereka. Banyaknya lahan subur juga strategis yang di kuasai oleh para swasta dan asing. Hal itu tentu menjadikan rakyat kesulitan untuk mengakses tanah, apalagi rumah. Harapan tuk memiliki rumah pun kini menjadi mimpi yang susah tuk terwujud.
Seolah, rakyat hanyalah penonton dari nasib mereka sendiri, hanya pasrah yang bisa mereka lakukan dalam menghadapi sistem yang tak memihak, juga pasrah terhadap bantuan bantuan yang memiliki sifat sementara. Padahal negara semestinya menjadi pengayom, juga penjamin setiap kebutuhan para warga.
Berangkat dari semua hal ini, amat jelas jika kita memerlukan solusi komprehensif yang mampu menyelesaikan permasalahan ini secara fundamental, yang juga mampu memberantas masalah ini hingga ke akar akarnya. Tidak lain, dan tidak bukan, solusi dari permasalahan ini adalah dengan menegakkan kembali negara yang berlandaskan sistem Islam. Islam sebagai agama yang sempurna, tentu memiliki solusi yang memberantas masalah hingga ke akarnya, tidak hanya mengobati gejalanya saja.
Dalam sistem Islam, kebutuhan dasar tiap manusia, baik sandang, pangan, dan papan merupakan hak tiap rakyat yang semestinya di penuhi oleh negara. Dalam sistem Islam, negara akan benar-benar bertanggung jawab penuh dalam segala kebutuhan rakyatnya. Negara juga akan memberikan batuan rumah bagi siapa pun yang tak mampu memilikinya, memperhatikan kualitas ya layak huni dan mendistribusikannya secara menyeluruh, bukan hanya melihat untung dan rugi saja.
Lapangan pekerjaan yang luas dan gaji yang mencukupi pastinya juga akan disediakan, sehingga tak ada lagi orang orang yang tak mampu tuk mengusahakan membeli rumah sendiri, memiliki rumah pun tak akan menjadi mimpi tak tergapai lagi. Dalam sistem Islam, tanah yang tak dikelola selama tiga tahun berturut-turut, maka otomatis akan diambil alih oleh negara yang kemudian akan diserahkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan dan dirasa mampu mengelolanya, sehingga tak akan ada lagi segelintir orang yang dapat memonopoli tanah di wilayah tersebut. Bahan-bahan bangunan yang merupakan sumber daya alam akan dikelola oleh negara sebagai kepemilikan umum, bukan swasta, sehingga dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat secara merata.
Bila makin banyak masyarakat yang memahami betapa indahnya sistem Islam ini dalam mengatur urusan tiap rakyatnya, tentu akan banyak orang yang turut memperjuangkannya, sehingga kebangkitan Daulah Islamiyah tak akan menjadi khayalan lagi, namun merupakan sebuah kenyataan yang suatu saat nanti akan bersemi kembali. Sudah saatnya kita membuka mata, bahwa solusi sejati tidaklah terdapat pada tambal sulam milik sistem kapitalisme, melainkan pada penerapan sistem Islam secara kaffah. Wallahualam bisawab.