
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Kenaikan harga kedelai impor di berbagai daerah di Indonesia pada April 2025 berdampak signifikan bagi masyarakat, khususnya para perajin tahu dan tempe. Di Sidoarjo, Jawa Timur, harga kedelai yang melonjak dari Rp7.500-Rp8.000/kg menjadi Rp10.000/kg berdampak pada meningkatnya biaya produksi hingga omset menurun (jatimantaranews.com, 14/04/2025).
Di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, perajin harus mengurangi produksi dari 700 kg/hari menjadi 450 kg/hari akibat kedelai naik hingga Rp10.700/kg. Sementara itu di Pandeglang, Banten harga kedelai mencapai Rp12.000/kg, memaksa perajin memperkecil ukuran tempe demi mempertahankan harga jual (investor.id, 27/4/2025).
Kondisi ini mencerminkan tekanan ekonomi yang dihadapi pelaku usaha kecil dan menengah, serta konsumen yang bergantung pada produk berbahan kedelai. Sementara itu, kedelai lokal masih belum menjadi solusi yang dapat diandalkan. Selain produksinya yang terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan nasional, kualitas kedelai lokal juga dinilai kurang memenuhi standar para perajin, baik dari segi ukuran biji maupun pada kadar protein. Hal itu adalah dampak dari ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Brazil yang sangat tinggi.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai merupakan masalah sistemis yang sudah berlangsung lama. Hal ini terlihat jelas dari fakta bahwa sekitar 80-90% kebutuhan kedelai nasional dipenuhi melalui impor setiap tahunnya.
Ketergantungan ini bukan tanpa sebab. Salah satu faktor utamanya adalah penerapan kebijakan perdagangan bebas yang membuka keran impor selebar-lebarnya tanpa disertai proteksi yang memadai bagi petani lokal. Akibatnya, kedelai lokal kalah bersaing dalam hal harga dan kuantitas. Sementara impor kedelai, khususnya dari AS dan Brazil terus membanjiri pasar dalam negeri.
Di sisi lain, sektor pertanian kedelai nasional masih belum mendapat perhatian serius dan pemerintah. Mulai dari keterbatasan lahan pertanian, minimnya subsidi, rendahnya kualitas benih, hingga lemahnya riset dan pengembangan. Semuanya berkontribusi terhadap stagnasi produksi kedelai lokal. Padahal, jika dikelola dengan serius dan berkelanjutan, potensi produksi kedelai dalam negeri sangat besar untuk menekan ketergantungan terhadap impor dan memberikan kemandirian pangan bagi bangsa.
Kapitalisme yang menjadi dasar sistem perdagangan Indonesia pasca bergabung dengan WTO dan IMF, telah membawa dampak serius terhadap kedaulatan pangan, termasuk dalam komoditas kedelai. Kebijakan ini mendorong pengurangan subsidi bagi petani lokal, membatasi intervensi negara dan membuka keran impor seluas-luasnya demi mengikuti prinsip pasar bebas. Akibatnya, produksi kedelai dalam negeri tidak lagi kompetitif dan terus mengalami penurunan tajam. Sementara itu, pasar dikuasai oleh impor swasta besar yang memiliki kendali terhadap suplai dan harga.
Karena itulah, selama negeri ini masih menjadikan sistem kapitalisme sebagai pijakan dalam pengelolaan ekonomi dan perdagangan, maka cita-cita menuju kemandirian serta kedaulatan pangan hanyalah angan-angan belaka. Ketergantungan pada impor tidak akan pernah benar-benar selesai. Sebab, sistem ini menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, bukan kesejahteraan rakyat.
Maka solusi hakiki bagi persoalan ini adalah penerapan sistem politik Islam yang paling sempurna melalui institusi khilafah. Di bawah naungan khilafah, negara akan menjalankan mekanisme politik dan ekonomi berlandaskan syarat Islam, termasuk dalam urusan vital seperti pertanian. Negara akan mengambil peran penuh dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk kebutuhan pangan.
Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Imam adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Khilafah akan mengarahkan kebijakan negara untuk menguatkan produksi pangan dalam negeri. Petani akan mendapat dukungan penuh, mulai dari akses terhadap benih unggul, teknologi pertanian modern, bantuan permodalan, hingga pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi.
Negara juga akan mendorong riset dari inovasi di bidang pertanian melalui pendidikan, pelatihan, dan penyediaan fasilitas riset yang memadai. Dalam sistem khilafah, pengelolaan lahan pun akan diatur sesuai hukum Islam. Kepemilikan tanah akan diberikan kepada seseorang yang mampu mengelola, sehingga tidak ada tanah yang terbengkalai ataupun dikuasai oleh segelintir elite. Negara juga akan memberantas segala bentuk distorsi pasar, seperti kartel, penimbunan, dan praktik curang lainnya yang sering kali menyebabkan gejolak harga.
Hal yang tidak kalah penting, khilafah akan membawa bangsa ini keluar dari ketergantungan terhadap kekuatan asing, dengan menerapkan politik luar negeri yang independen dan tegas. Perjanjian yang merugikan umat dan bertentangan dengan Islam tidak akan dijadikan pijakan. Sebab, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)
Dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam institusi khilafah, kemandirian pangan bukan hanya mimpi, melainkan realitas yang akan dinikmati oleh seluruh rakyat, mulai dari petani, pedagang, hingga konsumen.