
Oleh: Ika Kusuma
Linimasanews.id—Viralnya berita tentang kecurangan peserta UTBK SNBT 2025 dengan meletakkan kamera yang tidak terdeteksi alat metal detektor pada behel, kuku, ikat pinggang hingga kancing baju cukup menyita perhatian publik. Hal ini sekaligus menjawab terkait dugaan soal ujian yang bocor di berbagai platform media sosial adalah ulah sejumlah oknum yang merekam soal di sesi pertama UTBK.
Miris, baru dua hari UTBK SNBT 2025 dilaksanakan telah ditemukan 14 kecurangan. Ketua Umum Penanggung Jawab SNPBM, Prof. Eduart Wolok menyebut, dari 196.328 peserta yang hadir pada sesi 1 sampai 4, ada temuan kecurangan sebanyak 0,0071%. Setelah pendalaman kasus kecurangan tersebut ditemukan kemungkinan keterlibatan pihak di luar peserta, baik internal maupun pihak lain yang terlibat.
Cara mereka mengambil soal sangat bervariasi dengan sarana teknologi, baik dengan perantara hardware maupun software. Bahkan ada juga peserta yang melakukan remote desktop yang dikerjakan oleh pihak lain di luar lokasi ujian. Namun, panitia SNPMB menjamin tidak ada soal yang sama di setiap sesi ujian meskipun diselenggarakan di hari yang sama. Ada 23 soal berbeda untuk 23 sesi ujian. Panitia SNPMB juga akan memberikan sanksi kepada peserta UTBK SNBT 2025 yang terbukti curang dengan pembatalan ujian, diskualifikasi dari semua jalur SNPMBT di PTN tanpa batas waktu (beritasatu.com dan kompas.com, 25/4/2025).
Lebih mengejutkan lagi, ternyata budaya menyontek masih terjadi di mayoritas sekolah dan kampus. Ini sesuai dengan hasil survei KPK yang mengungkap kasus menyontek masih ditemukan 78% di sekolah dan 98% di kampus. (detik.com, 25/4/2025). Fakta ini menjadi indikasi adanya kesalahan dalam sistem pendidikan saat ini.
Buruknya kualitas akhlak generasi saat ini tidak lepas dari pemikiran sekuler kapitalisme yang mengukur keberhasilan hanya dari segi pencapaian materi semata. Akhlak bahkan menjadi nomor kesekian karena halal haram tidak lagi menjadi acuan. Bisa kita bayangkan, jika kecurangan telah dimulai sejak bangku sekolah, generasi seperti apa yang akan terbentuk? Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang terbiasa hidup dengan kecurangan. Maka tidak mengherankan, budaya korupsi mengakar dan sulit terselesaikan dalam sistem sekularisme kapitalisme ini.
Pemisahan nilai agama dalam mengatur kehidupan, bahkan dalam pendidikan adalah keniscayaan dari penerapan sistem sekuler. Akibatnya, mereka tidak lagi acuh degan aturan agama. Segala cara dihalalkan untuk mendapatkan hasil yang instan. Terlebih, generasi saat ini terus-menerus dicekoki tontonan bernuansa hedonisme, flexing, dan tata cara meraih kesuksesan materi secara instan.
Nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat sekuler kapitalisme saat ini yang menjadikan kesuksesan materi sebagai acuan keberhasilan, turut memperparah pola pikir generasi. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya kontrol negara dalam memastikan keberlangsungan generasi. Ini terlihat dari masih banyaknya problematika pendidikan saat ini, dari kurikulum yang inkonsisten, sarana dan prasarana yang tidak memadai dan merata, tingginya biaya pendidikan, hingga korupsi dana pendidikan.
Maka, makin miris saja nasib generasi bangsa ini. Lalu, apa sebenarnya akar masalah generasi saat ini? Jika kita mau mengkaji lebih jauh, maka akar permasalahannya adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler yang sukses memisahkan nilai agama dari kehidupan dan menjadikan pencapaian materi sebagai acuan kesuksesan dan kebahagiaan.
Jika kita ingin permasalahan ini tuntas, pola pikir masyarakat harus dibenahi kembali. Pemahaman bahwa hanya hukum Allah yang bisa mengatur umat manusia harus kembali ditanamkan. Sebab, sudah jelas bukti kehancuran dunia terjadi ketika diatur dengan aturan buatan manusia.
Umat harus paham bahwa sistem Islam menjadikan rida Allah sebagai tolok ukur kesuksesan, bukan materi dan kesenangan semu. Inilah alasan sistem pendidikan dalam Islam berasaskan pada akidah Islam yang mampu mencetak generasi cemerlang yang berkepribadian Islam. Dalam sistem ini, setiap individu akan dididik menjadi individu yang taat syariat dalam setiap aspek kehidupannya.
Negara dalam Islam juga mendukung penuh dan menjamin umat untuk senantiasa terikat dengan syariat melalui kebijakan-kebijakannya. Di bidang pendidikan, khilafah sebagai institusi pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kafah, mempunyai beberapa mekanisme untuk menyelesaikan sistem layanan pendidikan yang tidak merata. Antara lain, dengan membangun infrastruktur pendidikan yang memadai dan merata di seluruh wilayah. Hal ini akan mempermudah akses bagi murid maupun tenaga pendidik sehingga guru pun dengan sukarela mau ditempatkan di berbagai lokasi, meski di pelosok negeri. Dengan demikian, masalah kekurangan tenaga pendidik tidak akan terjadi.
Pemerataan sarana dan prasarana pendidikan menjadikan siswa tidak perlu mengeluarkan tenaga dan biaya ekstra untuk bersekolah di tempat yang jauh dari tempat tinggalnya karena tidak akan ada lagi dikotomi istilah “sekolah unggulan” atau “sekolah bukan unggulan”.
Selain itu, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, sarana ilmu pengetahuan lainnya, gedung-gedung sekolah, dan universitas untuk memberi kesempatan bagi rakyat yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, ushul fikih, hadis dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, seperti kedokteran, teknik, kimia, penemuan-penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu. (An-Nizhamu al-Islam dalam Bab Strategi Pendidikan, hlm 176, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah).
Negara khilafah memiliki mekanisme pembiayaan pendidikan yang bersumber pada 2 pos pendapatan Baitul Mal. Pertama, pos fa’i dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Kedua, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) saat ditunda pembiayaannya, negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim (An-Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam hlm 537 Bab Baitul Mal, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah).
Dengan demikian, negara bisa menjamin pendidikan berkualitas yang murah, bahkan gratis untuk rakyatnya, tanpa mengabaikan kesejahteraan tenaga pendidiknya. Sistem pendidikan dalam Islam bukan hanya memberi solusi dalam persoalan teknis, tetapi juga menyelesaikan problematika hingga tataran paradigma.
Sistem pendidikan Islam terbukti melahirkan generasi khairu umah yang kuat kepribadian Islamnya. Di tangan mereka, kemajuan teknologi dimanfaatkan sesuai dengan aturan Allah sehingga peradaban Islam mampu menjadi mercusuar dunia selama 13 abad dalam naungan Khilafah Islam. Di masa Khilafah Islam, kemajuan teknologi juga dimanfaatkan penuh untuk mensyiarkan ajaran Allah ke seluruh penjuru dunia.
Inilah mekanisme Islam mewujudkan rahmatan lil alamin yang sesungguhnya. Hanya dengan penerapan syariat Allah secara kafah dalam naungan Khilafah Islam semata, umat teratur dengan sempurna.