
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Sejumlah kasus keracunan dari program makan bergizi gratis (MBG) ditemukan di beberapa daerah. Seperti yang terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat, ada 171 siswa dari TK, SD, dan SMP mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG di sekolah. Jumlah korban bertambah, dari tanggal 7-9 Mei 2025 menjadi 210 orang.
Menurut keterangan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno, 210 korban keracunan tersebut berasal dari delapan sekolah yang mendapat MBG dari satu SPPG yang sama. Sebagian dari jumlah tersebut, sebanyak 34 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit. Kasus keracunan ini masih dalam penyelidikan Badan Gizi Nasional. Dinas Kesehatan juga masih melakukan investigasi epidemiologis untuk mencari sumber keracunan dan saat ini masih dalam pendalaman (CNNIndonesia.com, 11/5/2025).
Sementara itu, hingga Mei 2025 terdapat 1.315 siswa yang dilaporkan mengalami gejala keracunan makanan dari program MBG. Peristiwa tersebut tersebar di beberapa wilayah seperti Bogor, Cianjur, Bombana, Sumba Timur, hingga Sukoharjo. Pemerintah bersama Badan Gizi Nasional (BGN) segera melakukan evaluasi menyeluruh untuk memperkuat sistem pengawasan dan edukasi tentang keamanan pangan. Kendati demikian, Presiden Prabowo Subianto menilai jumlah kasus keracunan ini masih sangat kecil. Jika dibandingkan banyaknya penerima MBG yang mencapai tiga juta siswa, persentasenya hanya 0,005 persen. Selain menegaskan perlunya evaluasi dan perbaikan berkelanjutan, BGN juga mempertimbangkan pemberian asuransi bagi penerima manfaat dan tenaga dapur MBG (Tempo.co, 11/5/2025).
Program MBG sejatinya ditujukan untuk melakukan perbaikan gizi bagi generasi serta mencegah stunting yang sampai hari ini angkanya masih tinggi. Walaupun menuai pro kontra di tengah masyarakat, pemerintah tetap yakin program ini tepat dan bermanfaat. Akan tetapi, fakta di lapangan sering ditemukan ketidaksesuaian dengan apa yang disampaikan pemerintah. Di antaranya, menu yang disajikan tidak cukup memenuhi standar gizi, rasa yang hambar, makanan basi saat disajikan hingga terjadinya kasus keracunan. Padahal, pemerintah telah menggelontorkan dana yang besar untuk pelaksanaan program tersebut.
Banyak yang menilai bahwa program MBG ini tidak efektif untuk menjadi solusi perbaikan gizi atau pencegahan stunting. Karena, tidak menyentuh akar permasalahan. Masalah utama terjadinya kekurangan gizi dan stunting adalah kemiskinan. Banyak keluarga pra sejahtera di tengah masyarakat akibat minimnya lapangan kerja. Gaji UMR tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ditambah lagi, banyak kasus PHK terjadi menambah beban rakyat jadi makin berat.
Semestinya, pemerintah lebih fokus menanggulangi masalah kemiskinan dan pengangguran. Apabila setiap keluarga memiliki penghasilan yang cukup, masalah kekurangan gizi dengan sendirinya akan teratasi.
Pemerintah tidak harus memaksakan program ini tetap berjalan, jika memang hasilnya tidak sesuai janji dan harapan. Masih banyak sektor lain yang lebih penting untuk diperhatikan, seperti masalah pendidikan. Masih banyak generasi negeri ini yang tak bisa mengenyam pendidikan tinggi karena kendala biaya. Padahal, kunci keberhasilan menuju generasi emas yang gemilang berawal dari pendidikan, sehingga sumber daya manusia meningkat, bisa bersaing menghadapi tantangan global.
Sayangnya, pemerintah malah menjadikan MBG sebagai program prioritas. Bahkan, berencana memberikan asuransi kepada korban keracunan sebagai bentuk tanggung jawab. Padahal, tidak ada korelasi yang jelas dengan program MBG kepada para penerima, karena MBG sifatnya adalah bantuan sosial.
Selain itu pemberian asuransi juga akan menambah beban keuangan negara. Pada akhirnya, kas negara akan mengalir ke perusahaan asuransi swasta. Atau, usulan asuransi ini memang ingin membangkitkan industri asuransi yang sedang lesu? Jika memang program MBG ini mengharuskan adanya jaminan perlindungan kesehatan, pemerintah bisa memanfaatkan BPJS/KIS yang sudah ada. Bukan membuat asuransi baru yang akan menambah bengkak pengeluaran negara.
Inilah contoh ketidaksesuaian sistem kapitalisme dengan Islam. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi adalah hak dasar bagi seluruh warga negara. Pemerintah wajib menjamin setiap rakyat mendapatkan kehidupan yang layak, terutama dalam hal makanan yang merupakan kebutuhan pokok.
Selain dengan menjamin ketersediaan bahan pangan, negara Islam juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan untuk kebutuhan dasar lainnya, seperti pendidikan, infrastruktur, keamanan, dan kesehatan, semuanya ditanggung oleh negara secara cuma-cuma. Tidak ada komersialisasi atas hasil kekayaan alam yang dikelola oleh negara. Semuanya akan dikembalikan untuk memfasilitasi kehidupan umat.
Negara Islam tidak mengenal perbankan dalam mengelola keuangan negara, tetapi mengaturnya melalui Baitul Mal. Negara juga mampu memberikan lapangan pekerjaan yang cukup untuk warganya, tanpa mengandalkan investasi dari negara lain. Sebab, semua sumber daya alam dikelola sendiri oleh negara, dari sektor ini saja akan menyerap tenaga kerja. Belum lagi, negara tidak membiarkan tanah yang mati. Tanah yang tidak digarap selama tiga tahun akan diambil oleh negara agar dimanfaatkan oleh warga yang membutuhkan.
Memang, tidak ada jaminan bahwa seluruh warga akan sama-sama kaya. Tetapi, negara punya solusi untuk membantu orang yang miskin untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, dengan aturan syariat yang akan menjadi solusi segala problematika.
Namun, solusi Islam tidak bisa diambil sebagian atau parsial saja. Jika ingin menerapkan Islam, haruslah secara utuh, mencakup fikrah dan thariqah. Fikrah adalah akidah yang melahirkan peraturan hidup, dan thariqah adalah metode pelaksanaannya. Satu-satunya jalan untuk menerapkan Islam, hanya dengan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, bukan melalui sistem kapitalis, sosialis, monarki dan lainnya. Karena itu, umat Islam haruslah berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam kembali dalam bingkai khilafah.