
Oleh: Fathimah A. S.
(Aktivis Dakwah Kampus)
Linimasanews.id—Muncul fenomena baru, pengangguran tak hanya terjadi pada milenial, namun juga terjadi pada Gen Z, yaitu mereka yang lahir pada 1997 hingga 2012. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia Gen Z berusia 15-24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET).
Terkait hal ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan banyak dari pengangguran berusia muda tersebut tercatat baru lulus SMA sederajat dan perguruan tinggi. Lebih lanjut, Ida juga menjelaskan bahwa banyaknya anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan ini karena tidak cocok (mismatch) antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja (kompas.com, 24/5/2024).
Kesenjangan Supply dan Demand
Padahal, tingginya pengangguran sangat berkorelasi pada tingginya kemiskinan. Banyaknya orang yang sulit memperoleh pekerjaan berdampak pada sulitnya mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, bisa berefek pada rendahnya tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Tak dimungkiri, sudah dilakukan beberapa upaya untuk mendorong kesiapan kerja. Seperti pembukaan SMK, pelatihan vokasi, BLK, dan mendorong agar anak muda membuka wirausaha. Akan tetapi, nampaknya ada salah fokus dalam berbagai program yang telah diluncurkan tersebut.
Selama ini, pemerintah lebih fokus pada aspek supply (pasokan) tenaga kerja. Akan tetapi, lemah dalam aspek demand (penciptaan) lapangan pekerjaan. Di hari ini, para pencari kerja membludak, namun lapangan pekerjaan begitu minim. BPS mencatat, terdapat 1.819.830 juta orang pencari kerja pada 2023 (katadata.co.id, 4/3/2024). Akan tetapi, lowongan kerja yang tersedia tidak menyentuh seperempat dari total pencari kerja. Lowongan kerja yang tersedia hanya sebesar 216.972 (dataindonesia.id, 7/3/2024).
Bila faktanya saja demikian, bukankah wajar bila pengangguran merajalela. Sebab, supply dan demand tidak sebanding. Sering kali, anak muda diarahkan untuk berwirausaha. Padahal faktanya, membuka usaha tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh ada modal yang besar untuk memulai. Sementara Gen Z masih baru lulus pendidikan dan belum memiliki modal. Lantas, mau dikemanakan para anak muda ini?
Perlu Perubahan
Fakta ini menunjukkan gagalnya negara dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Dari sini, tentu perlu ada perubahan mindset dalam pengelolaan sektor-sektor yang dapat menghasilkan lapangan pekerjaan melimpah. Salah satu sektor yang perlu dikelola dengan benar adalah aset kekayaan alam. Semua orang pasti mengakui bahwa negeri kita amatlah kaya. Mulai dari bahan tambang hingga migas. Allah telah memberikan kelimpahan sumber daya alam di negeri ini.
Namun sayang, sistem sekularisme kapitalisme yang diterapkan di negeri ini mengakibatkan seluruh kekayaan alam yang melimpah tadi tak dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sebaliknya, kekayaan alam hanya dikuasai oleh segelintir orang. Para pemilik modal dapat menguasai berhektar-hektar hutan maupun tambang. Sementara rakyat hanya dapat merasakan remahan efeknya seperti menjadi buruh kasar maupun menikmati CSR (corporate social responsibility) yang diberikan.
Mirisnya lagi, negara hanya berperan sebagai regulator. Bahkan, sering kali turut berkolaborasi dalam menetapkan kebijakan zalim yang menyengsarakan rakyat, seperti mahalnya biaya hidup, besarnya tarikan pajak, penyusunan undang-undang yang berpihak pada para pemilik modal, hingga penyerapan tenaga kerja asing. Padahal, bila kekayaan alam yang melimpah tadi dikelola secara mandiri oleh negara, tentu saja dapat menyerap tenaga kerja dari rakyat dan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sungguh, perlu ada perubahan dalam pengelolaan ekonomi hari ini.
Belum lagi bila kita soroti terkait ketidaksesuaian antara pendidikan Gen Z dengan lapangan kerja. Ini menunjukkan pendidikan di negeri ini belum mumpuni. Pendidikan belum mampu menciptakan sistem tangguh yang mampu menjadikan lulusannya selalu berguna di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, pendidikan hari ini justru menyesuaikan kebutuhan industri atau swasta. Katanya agar lulusan pendidikan bisa terserap oleh industri.
Sungguh, ini adalah bukti bahwa negara hari ini hanya berperan sebagai fasilitator. Negara tidak menyediakan lapangan kerja melimpah, melainkan hanya memfasilitasi atau menghubungkan para pekerja dengan industri. Sementara industri lah yang menetapkan jumlah lapangan kerja dan spesifikasi yang dibutuhkan. Bila seperti ini, sangat mungkin melahirkan banyak pengangguran. Karena pada faktanya, industri tidak selalu membuka lapangan kerja setiap tahun.
Bahkan, bergantung dengan industri akan memunculkan banyak risiko. Sebab, seiring perkembangan zaman, industri pasti berubah. Mereka akan selalu berupaya mencari keuntungan maksimal. Jika kurikulum pendidikan mengikuti industri, maka ketika industri berubah, pendidikan akan dianggap tidak sesuai (mismatch) seperti yang terjadi hari ini. Sungguh, perlu ada perubahan mindset dalam penyelenggaraan sistem pendidikan hari ini.
Solusi Islam
Tentu berbeda jauh dengan paradigma Islam dalam mengatur negeri. Dalam Islam, pemimpin bukanlah sekedar jabatan, akan tetapi sebuah posisi yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Seorang pemimpin akan menjadi pengurus (ra’in) dan penjaga (junnah) bagi rakyatnya dengan menerapkan syariat Islam. Sebab pemimpin menyadari, kepemimpinan adalah amanah. Ia tidak akan berbuat zalim dan abai terhadap rakyatnya.
Sejarah mencatat, peradaban Islam pernah berjaya selama 13 abad dan terbukti mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan, Khilafah mampu menciptakan lapangan kerja berlimpah dan mengatasi pengangguran. Beberapa kebijakan dilakukan adalah sebagai berikut.
Pertama, Islam menetapkan bahwa sumber daya alam adalah milik umum. Ini berarti, seluruh rakyat berhak untuk mendapatkan manfaat darinya. Oleh karena itu, negara wajib mengelolanya secara mandiri, tidak boleh diserahkan kepada industri atau swasta. Kemudian, negara akan memberikan hasilnya kepada rakyat dalam bentuk pelayanan, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, jalan, listrik, dan air. Dengan begini, rakyat akan sejahtera dan tidak kesusahan dalam memenuhi kebutuhan dasar komunalnya.
Kedua, membuka lapangan kerja halal sebesar-besarnya. Pada saat proses pengelolaan sumber daya alam yang melimpah tadi, pasti negara membutuhkan tenaga kerja. Sehingga, lapangan kerja terbuka lebar, mulai dari sektor pertanian, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan industri. Semua akan dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing wilayah. Maka, lapangan kerja akan selalu ada setiap saat. Dengan demikian, seluruh rakyat, terutama laki-laki yang memiliki kewajiban nafkah, dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan.
Ketiga, menyelenggarakan sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk mencetak generasi berkepribadian islam yang menguasai tsaqafah Islam dan ilmu pengetahuan. Dengan begitu, generasi akan tumbuh penuh dengan ketakwaan dan tidak akan bingung setelah lulus harus melakukan apa. Karena negara telah mendidik mereka agar menjadi sarjana yang menguasai berbagai keilmuan yang dibutuhkan umat, mulai dari pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan, teknik, dsb. Sehingga setelah lulus, mereka akan selalu berupaya mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. Dengan sistem seperti ini, maka akan terjadi kecocokan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Jumlah lulusan akan selalu tertampung oleh lapangan kerja, sehingga seluruh sarjana dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan setelah lulus.
Dengan begitu, seluruh rakyat dapat mencapai derajat sejahtera. Semua ini dapat terjadi ketika mindset pemimpin adalah takwa. Sehingga ia akan menjalankan amanah kepemimpinannya dengan baik sebagai pelayan umat yang selalu taat pada syariat. Ia akan menerapkan sistem politik, ekonomi, bahkan pendidikan dengan asas islam. Ia juga takut bila kebijakan yang ia tetapkan akan menzalimi siapa pun, meskipun hanya satu rakyatnya. Wallahu a’lam bi shawwab.