
Oleh: Astriani Nur Fatikasari
Linimasanews.id—Dewasa ini, jurang perpecahan di tengah umat Islam makin tampak jelas. Ketika Gaza terus menghadapi pembantaian oleh entitas Yahudi, kaum muslim justru sibuk dengan konflik-konflik yang didasarkan pada kepentingan wilayah, seperti yang terjadi antara India dan Pakistan. Konflik antara India dan Pakistan kembali memanas pascaserangan mematikan terhadap wisatawan di Lembah Baisaran, wilayah Kashmir yang dikelola India. Dikabarkan, 26 warga sipil tewas dalam serangan tersebut.
Kelompok The Resistance Front (TRF) yang berbasis di Pakistan mengklaim bertanggung jawab. Al Jazeera menyebut bahwa TRF merupakan cabang dari kelompok bersenjata Laskhar-e-Taiba yang bermarkas di Pakistan. Sebagai respons, pada 7 Mei 2025, India melancarkan Operasi Sindoor dengan meluncurkan serangkaian rudal ke Pakistan dan Kashmir yang dikelola Pakistan, menyerang sedikitnya enam kota dan menewaskan sedikitnya 31 orang, termasuk dua anak, menurut laporan Al Jazeera dari pernyataan pemerintah Pakistan (9 Mei 2025). Peperangan lintas batas ini meningkatkan eskalasi militer antara dua negara bersenjata nuklir. Konflik tersebut berpotensi berkembang menjadi perang besar-besaran.
Perlu diketahui bahwa akar permasalahan konflik antara India dan Pakistan terjadi sejak tahun 1947. Pertempuran kedua negara ini merupakan hasil dari proyek imperialisme Inggris yang memisahkan India dan membentuk Pakistan, sehingga menyebabkan krisis kemanusiaan. Kemudian, pada tahun 1949, pihak yang bertikai sepakat untuk membuat garis gencatan senjata yang membagi Kashmir.
Ironisnya, garis gencatan senjata justru mempertegas perpecahan umat Islam dan memelihara konflik sektoral dalam bingkai nation state. Konflik ini terus dimanfaatkan kekuatan besar, khususnya Barat. Terlepas dari penyebab-penyebab lain, pada dasarnya pertikaian antara kedua negara tersebut disebabkan oleh sentimen nasionalisme.
Nasionalisme menjadi tembok penghalang persatuan umat Islam. Ide kufur ini memisahkan negeri-negeri muslim ke dalam batas-batas buatan kolonial. Nasionalisme ini juga melemahkan persatuan antarumat yang dulunya bersatu di bawah satu kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah.
Pemisahan dan pembentukan Pakistan sebagai “negara bagi umat Islam” nyatanya tidak berhasil mewujudkan persatuan umat secara hakiki. Alih-alih menjadi perisai bagi umat Islam dunia, termasuk di dalamnya Palestina, Pakistan justru terjebak dalam logika nasionalisme dan konflik regional.
Kekuatan militer Pakistan yang seharusnya menjadi pelindung umat, justru disibukkan dengan sengketa perbatasan, pertahanan wilayah, dan pertikaian ideologis dengan India. Hal ini menunjukkan bagaimana institusi militer umat Islam telah diarahkan untuk menjaga batas-batas semu buatan penjajah, bukan untuk menunaikan kewajiban syar’i membela darah dan kehormatan kaum muslim. Kondisi umat Islam di Gaza menjadi bukti nyata betapa lemahnya posisi umat tanpa institusi politik yang menyatukan. Gaza terus dikepung dan dibombardir, namun tidak ada satu pun negeri muslim yang mengirimkan pasukan untuk membela mereka. Negara-negara dengan mayoritas muslim hanya mampu mengirim retorika dan bantuan kemanusiaan.
Sistem nasionalisme dan kapitalisme yang diadopsi negeri-negeri muslim telah menghilangkan sensitivitas jihad dan urgensi persatuan umat Islam. Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam untuk berjihad dan melakukan perlawanan fisik sebagai cara untuk menolong umat sekaligus menjadi wasilah nashrullah. Allah berfirman:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu, dan Allah akan menghinakan mereka, menolong kamu terhadap mereka, dan melegakan hati orang-orang yang beriman.” (QS At-Taubah: 14)
Bantuan kemanusiaan atau diplomasi lembaga internasional, seperti resolusi PBB, atau diplomasi antarnegara, tidak akan pernah menjadi solusi atas penderitaan umat Islam, khususnya di Gaza dan wilayah terjajah lainnya. Namun, hanya dengan penegakan kembali Khilafah Islamiyah, sebuah institusi global yang akan mempersatukan seluruh negeri muslim, menghapus batas-batas nasionalisme buatan penjajah, dan menggerakkan pasukan umat yang mampu membebaskan wilayah terjajah.
Di bawah Khilafah, pasukan Pakistan, Mesir, Turki, dan negeri-negeri Muslim lainnya akan bersatu sebagai satu tentara umat Islam, bergerak tidak atas nama negara, tetapi atas nama Islam dan pembelaan terhadap saudara seiman.
Dengan demikian, umat Islam harus menyadari bahwa nasionalisme bukanlah alat pemersatu, melainkan penghalang utama bagi kebangkitan dan pertolongan terhadap umat yang tertindas seperti di Gaza.
Selama umat masih terkungkung dalam kerangka nation state dan menanggalkan jati diri politik Islam, selama itu pula penderitaan umat seperti di Gaza dan Kashmir terus berlangsung dan umat akan gagal menunaikan perannya sebagai ummatan wahidah. Wallahua’lam.