
Editorial—Pernyataan politikus AS Randy Fine yang menyerang Gaza dengan bom nuklir bukanlah sekadar ucapan sembrono. Ini adalah puncak dari rasisme dan kebiadaban sistem politik Barat yang selama ini mengklaim diri sebagai pembela HAM dan demokrasi. Namun, di balik kemunafikan Barat, ada kejahatan yang lebih besar yakni pengkhianatan para penguasa Muslim yang membiarkan pembantaian itu terjadi bahkan fatalnya justru sebagian bersekongkol dengan Israel.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel telah membunuh lebih dari 40.000 warga Palestina, 70% di antaranya perempuan dan anak-anak. Sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah dihancurkan. PBB menyebut Gaza sebagai zona kematian, sementara AS dan sekutunya terus memblokade resolusi gencatan senjata di DK PBB.
Yang lebih memalukan, negara-negara Muslim khususnya yang normalisasi dengan Israel seperti UAE, Bahrain, dan Maroko, tidak mengambil langkah nyata. Bahkan, Arab Saudi masih mempertimbangkan normalisasi di tengah genosida. Ini membuktikan bahwa rezim-rezim boneka lebih takut kehilangan kekuasaan daripada membela umat.
Kegagalan Sistem Sekuler: Dari PBB hingga OIC
PBB, yang seharusnya menjamin keamanan global, terjegal veto AS setiap kali ada upaya menghentikan Israel. Sementara Organisasi Kerjasama Islam (OIC) hanya mengeluarkan pernyataan tanpa aksi. Ini menunjukkan bahwa sistem internasional saat ini memang dirancang untuk melayani kepentingan negara kuat, bukan keadilan.
Di tingkat domestik, negara-negara Muslim justru mengkriminalisasi solidaritas untuk Palestina. Di Mesir, aksi protes dilarang. Di Indonesia, yang mengklaim sebagai pembela Palestina, kebijakan luar negeri tidak berani menekan Israel secara ekonomi dan politik. Semua ini terjadi karena para penguasa Muslim terjebak dalam pragmatisme politik dan ketergantungan pada Barat.
Khilafah: Satu-Satunya Solusi yang Ditakuti Barat
Sejarah membuktikan, hanya Khilafah yang pernah membebaskan Palestina dari penjajahan (seperti di era Salahuddin Al-Ayyubi). Khilafah juga memiliki hukum perang yang jelas diantaranya larangan membunuh sipil, larangan menghancurkan infrastruktur, dan kewajiban membela kaum tertindas.
Khilafah akan dengan tegas mengambil langkah memutus hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel (tidak seperti negara Muslim yang masih berdagang dengan Zionis). Selain itu, Khalifah Akan memobilisasi militer umat Islam untuk membela Palestina, bukan sekadar mengirim bantuan kemanusiaan. Karena hanya dengan sistem yang mampu membangun kekuatan politik globallah yang akan berani menantang hegemoni AS dan sekutunya.
Oleh karenanya, hal krusial yang patut disegerakan adalah pemikiran umat yang harus segera bangkit. Pembantaian Gaza adalah bukti bahwa umat Islam tidak boleh lagi bergantung pada penguasa yang korup. Umat harus secara terang dan gamblang mengambil sikap menolak normalisasi dengan Israel dalam bentuk apa pun. Termasuk mendorong boikot total terhadap produk dan kepentingan AS-Israel serta memperkuat kesadaran politik Islam bahwa hanya dengan Khilafah, keamanan dan kemuliaan umat akan terwujud.
Genosida Gaza adalah tamparan keras bagi dunia, khususnya umat Islam. Sistem sekuler yang saat ini baik di tingkat global maupun negara Muslim nyatanya telah gagal total. Khilafah bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan keniscayaan politik jika umat ingin lepas dari penghinaan dan pembantaian. Barat dan para penguasa boneka tahu betul ancaman Khilafah, karena itu mereka berusaha mati-matian mencegah kebangkitannya. Tugas kita adalah memastikan bahwa perjuangan ini tidak berhenti sampai Islam kembali memimpin dunia.[OHF]