
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Presiden Prabowo Subianto mengatakan, Indonesia membuka peluang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel apabila mereka mengakui kemerdekaan Palestina. Prabowo menyampaikan pernyataan itu dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 28 Mei 2025. “Begitu negara Palestina diakui oleh Israel, Indonesia siap untuk mengakui Israel dan kita siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel,” kata Prabowo, dikutip dari siaran kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Prabowo menegaskan Indonesia mendorong solusi dua negara (two-state solution) sebagai penyelesaian konflik di antara kedua negara. “Kemerdekaan bangsa Palestina merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian yang benar,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prabowo juga menyatakan Indonesia perlu mengakui Israel sebagai negara yang berdaulat meskipun Indonesia mendukung penuh kemerdekaan Palestina.“Saya tegaskan bahwa kita juga harus mengakui dan menjamin hak Israel untuk berdiri sebagai negara yang berdaulat dan negara yang harus diperhatikan dan dijamin keamanannya,” ujarnya (Tempo.co, 31/5/2025).
Sebagai seorang muslim terlebih jika dia diberi amanah sebagai pemimpin, wajib bagi dirinya beramal menggunakan syariat Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Hendaklah engkau memutuskan (urusan) diantara mereka menurut aturan yang diturunkan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Waspadailah mereka agar mereka tidak dapat memperdayakan engkau untuk meninggalkan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah: 49)
Allah dan rasul-Nya telah memberi aturan tentang sikap seorang muslim kepada orang-orang kafir. Di dalam Al-Qur’an Surah Ali Imron ayat 28, Allah melarang mukmin menjadikan orang kafir sebagai auliya atau wali yang berarti teman akrab, pemimpin, pelindung, ataupun penolong. Ketika Rasulullah menjadi kepala negara Islam di Madinah, Beliau menunjukkan perbedaan interaksi Negara Islam kepada orang-orang kafir.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan kaum Muslimin. Di antara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, Nabi memerangi mereka dan mereka pun memerangi beliau. Ada golongan yang disebut ahlul ahd, Nabi tidak memerangi mereka dan mereka tidak memerangi beliau.” (HR. Bukhari)
Seperti inilah hukum syariat mengatur interaksi umat Islam terhadap orang-orang kafir yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim, terlebih seorang pemimpin. Maka, tidak layak seorang pemimpin muslim membuka hubungan diplomasi, melakukan kerja sama, bahkan bermanis muka dan bangga mendapatkan gelar dari orang kafir yang jelas-jelas memusuhi umat Islam.
Zionis adalah identitas kafir. Mereka telah merampas tanah dan melakukan penjajahan di Palestina. Zionis Israel melakukan genosida terhadap umat Islam di sana. Begitu pula Prancis, adalah juga negara kafir. Sejak Khilafah Utsmaniyah masih ada, Prancis telah menunjukkan kebencian yang amat luar biasa kepada kaum muslimin. Hubungan kepada mereka hanya satu, yakni perang.
Sesungguhnya, masalah utama di Palestina adalah penjajahan yang dilakukan Zionis. Sementara itu, Allah Ta’ala telah memberikan syariat untuk menghapus penjajahan, yakni dengan jihad. Maka, hendaknya seorang pemimpin muslim mengirim tentaranya untuk melakukan jihad di Palestina, bukan menjadi pasukan perdamaian ala PBB. Semestinya tidak pula mengakui solusi dua negara. Sebab, solusi itu sama saja memberi pengakuan terhadap penjajahan dan genosida atas Palestina.
Sungguh, Palestina hingga kini masih dalam kondisi terjajah karena pemimpin Muslim tidak menyelesaikan masalah tersebut dengan syariah, malah mengambil solusi dari Barat. Genosida di Palestina juga masih berlangsung karena para pemimpin muslim berkhianat kepada umat Islam. Mereka justru menjalin kerja sama dengan kaum harbi fi’lan.
Palestina butuh sosok pemimpin seperti Sultan Abdul Hamid II. Beliau adalah sosok khalifah yang menjalankan perannya untuk menjadi junnah (pelindung) bagi kaum Muslim. Beliau tidak membuka jalan bagi Zionis untuk menguasai Palestina dengan mengusir Theodore Herzl kala itu. Bapak Yahudi kala itu memberikan berbagai tawaran kepada Sultan Abdul Hamid II agar mau memberikan sejengkal tanah di Palestina. Sontak permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh sang Sultan dengan mengatakan nasihati agar jangan meneruskan rencananya.
Beliau berujar, “Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini Palestina karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam, umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini, dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi, silahkan menyimpan hartanya. Jika suatu saat Kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi, aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Tidakkah umat Islam rindu akan hadirnya pemimpin junnah sebagaimana Sultan Abdul Hamid II?