
Oleh. Siti Komariah (Freelance Writer)
Linimasanews.id—Judi online (judol) kian menyasar seluruh elemen masyarakat, mulai dari dewasa hingga anak-anak. Terbaru, Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya transaksi judol yang dilakukan oleh anak pada usia 10–16 tahun. Tidak tanggung-tanggung, nilai transaksinya cukup fantastis, yaitu sekitar Rp2,2 miliar. Secara rinci, PPATK menunjukkan data pada kuartal I di tahun 2025, jumlah deposit pada klasemen usia, yaitu pada usia 10–16 tahun depositnya mencapai Rp2,2 miliar. Kemudian, pada usia 17–19 mencapai Rp47,9 miliar, selanjutnya pada usia 31–40 mencapai Rp2,5 triliun (cncbindonesia.com, 08/05/2025).
Melihat angka tersebut, jelas tebersit sebuah pemikiran, bagaimana nasib masa depan negeri ini jika generasinya sudah kecanduan judol? Mampukah judol tersebut dibasmi hingga ke akarnya?
Masa Depan Suram?
Masa depan sebuah negeri jelas ditentukan oleh generasi selanjutnya, yaitu saat ini mereka berstatus sebagai anak-anak dan juga gen Z. Anak-anak akan tumbuh untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini. Di pundak mereka, nasib sebuah peradaban akan ditentukan arahnya, apakah akan kian maju atau justru di ambang kehancuran.
Oleh karenanya, ketika pola sikap dan pola pikir mereka di jalan yang benar, bisa dipastikan negeri tersebut akan mengalami kemajuan. Namun sebaliknya, jika pola sikap dan pola pikir mereka di jalan yang salah, bisa dipastikan bahwa nasib negeri ini suram, bahkan menuju pada kehancuran. Ketika melihat fakta di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perilaku generasi, sedang tidak baik-baik saja. Usia 10 tahun merupakan masa transisi manusia dari masa kanak-kanak ke masa remaja atau biasa disebut praremaja. Pada masa ini, anak mulai mandiri dan mencari jati dirinya untuk menentukan arah kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun mirisnya, mereka banyak yang terjebak perilaku negatif, misalnya kecanduan judol. Menurut PPATK, 80 ribu anak usia 10 tahun di Indonesia terlibat judol (ppatk.go.id, 26/7/2024).
Ketika anak-anak sudah kecanduan judol, lantas bagaimana nasib generasi negeri ini di masa depan. Apalagi kecanduan judol membawa dampak negatif, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Misalnya, seorang anak yang kecanduan judol bisa mengalami stres, gangguan kecemasan, hingga depresi. Bahkan, mereka juga bisa menjadi pelaku kriminalitas, mulai dari mencuri, menipu, hingga membunuh untuk mendapatkan uang agar bisa tetap bermain judol.
Melihat banyaknya anak yang terlibat judol, jajaran pemerintah, mulai dari Polri, Komdigi, OJK, Bank Indonesia, PPATK, dan seluruh anggota Satgas berupaya untuk membasmi aktivitas judi online ini. Hanya saja, mampukan penguasa memberantas judol di tengah sistem kapitalisme yang rusak ini?
Sebuah Fatamorgana
Sejatinya, pemerintah sampai saat ini terus berupaya untuk memberantas peredaran judol di Indonesia dengan berbagai cara, mulai dari pembentukan Satgas Pemberantasan Perjudian Daring, memutus aliran dana mencurigakan, memblokir konten-konten judol, hingga meninggalkan sosialisasi dan edukasi di tengah masyarakat. Namun, masalah judol hingga kini belum bisa diatasi, bahkan yang terjadi judol kian marak dan menyasar anak-anak. Disadari ataupun tidak, upaya-upaya yang dilakukan oleh penguasa masih sangat lemah.
Hal tersebut terbukti bagaimana judol masih marak, konten-konten judol masih sangat mudah diakses oleh elemen masyarakat. Bahkan banyak dari kalangan pemerintah, seperti polisi yang harusnya memberantas judol justru terlibat dalam lingkaran judol tersebut. Lantas, bagaimana pemberantasan judol bisa sampai ke akarnya?
Kondisi ini sejatinya tidak lepas dari penerapan sistem hukum dalam kapitalisme yang tidak mampu memberikan efek jera bagi para bandar judol dan pelaku lainnya. Kapitalisme merupakan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan manusia sehingga aturan agama tidak boleh ikut campur dalam pembuatan undang-undang. Peraturan diambil berdasarkan akal manusia yang terbatas, serba kurang, dan mudah goyah. Alhasil, peraturan bisa berubah dan dimainkan oleh para penegak hukum. Sebagaimana fakta hari ini, banyak dari pemilik modal sulit untuk terjerat hukum walaupun kasus mereka telah terungkap secara nyata.
Di sisi lain, sistem kapitalisme yang dijadikan pedoman pengambilan aturan pada negeri ini merupakan sistem yang justru menumbuhsuburkan judol. Perlu diketahui bahwa sistem kapitalisme merupakan sistem yang berasas pada materi. Sistem ini mengajarkan manusia untuk mendapatkan materi atau uang dengan berbagai cara tanpa memperhatikan norma agama dan dampak buruknya bagi kehidupan. Sedangkan judol merupakan salah satu bisnis yang menggiurkan yang bisa menghasilkan materi atau uang dengan cara instan.
Dengan demikian, banyak orang akan terus melakukan judol, apalagi mereka tidak memiliki ketakwaan sebagai benteng utama saat mereka berbuat sebab agama telah dipisahkan dalam pengaturan hidup manusia. Oleh karenanya, fondasi utama untuk memberantas judol sejatinya terletak pada penerapan sistemnya. Ketika sistem yang diterapkan merupakan sistem rusak, maka permasalahan apa pun, termasuk judol akan sulit untuk diberantas. Dengan demikian, butuh solusi tuntas terhadap masalah judol agar masyarakat, terkhusus generasi bisa bebas dari judol.
Pemberantasan Judol dengan Islam
Judol hanya bisa diberantas ketika Islam diambil sebagai peraturan dalam seluruh sendi kehidupan manusia, mulai dari sistem sanksi, sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem pemerintahan, dan lainnya. Islam memiliki cara untuk menjaga umatnya terkhusus generasi dari perbuatan negatif, termasuk kecanduan judol. Islam memandang bahwa perbuatan judi merupakan perbuatan yang haram untuk dilakukan, bahkan dapat menjerumuskan manusia pada kemaksiatan dan perbuatan buruk lainnya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, judi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 90)
Oleh karenanya, Khilafah akan menjaga masyarakat daei perbuatan judol. Ada beberapa cara yang ditempuh agar judol bisa tuntas hingga ke akarnya yaitu:
Pertama, Islam menanamkan akidah Islam kepada setiap individu masyarakat melalui sistem pendidikannya sejak dini. Penanaman akidah Islam akan membentuk pola pikir dan pola sikap Islami sebagai benten utama mereka berpikir dan bertingkah laku. Dengan penanaman akidah Islam ini pula mereka akan memahami makna kebahagiaan hakiki, yaitu meraih rida Allah. Dengan demikian, masyarakat akan berbuat sesuai syariat Islam. Mereka akan melakukan perbuatan yang hanya mendatangkan rida kepada Allah, bukan hal sia-sia seperti bermain judi yang dilarang oleh Allah dan mendatangkan malapetaka.
Kedua, memblokir situs-situs tidak berfaedah atau yang membahayakan perilaku dan pemikiran masyarakat, seperti konten porno, promosi judol, dan lainnya. Khilafah akan memberantas konten-konten yang mengarah pada akses perjudian dan tidak memberikan celah sedikitpun untuk masuk ke wilayah Daulah Islam.
Ketiga, penerapan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Sistem sanksi dalam Khilafah terbukti tegas dan keras, jika berbagai upaya di atas telah dilakukan, tetapi masih terjadi perjudian maka Khilafah akan memberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun orang lain. Sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa (jawabir) dan pencegah (zawajir).
Khatimah
Judol akan sulit diberantas dan bahkan akan kian merajalela jika negeri ini masih teguh menerapkan sistem kapitalisme sebab sistem ini merupakan pangkal utama dari berbagai masalah yang datang ke negeri ini, salah satunya judol. Oleh karenanya, umat harus paham bahwa yang bisa memberantas dan menyelamatkan generasi dari judol hanyalah Islam. Wallahualam bisawab.