
Oleh: Nafeesa Taqiya
Linimasanews.id—Program moderasi beragama di Kalimantan Selatan bertransformasi menjadi SPEKTRA 15 (Spirit Edukasi Kebhinekaan dan Toleransi Beragama) yang diterapkan di SMP Negeri 15 Hantakan, Hulu Sungai Tengah. Program ini digagas sebagai respons terhadap keberagaman agama siswa SMPN 15 HST yang terdiri dari 53% Islam, 41% Hindu Kaharingan, dan 6% Kristen, dan bertujuan menanamkan rasa kebersamaan, penghormatan terhadap keberagaman, dan nilai-nilai kebangsaan (kemenaghst.com, 23/5/25).
SPEKTRA 15 berada di bawah payung program Kemenag, yaitu Asta Protas Kemenag Berdampak, delapan program prioritas Kementerian Agama yang diharapkan memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Salah satu poinnya adalah peningkatan kerukunan dan cinta kemanusiaan (baritorayapost.com, 24/5/25).
Implementasi SPEKTRA 15 berlangsung setiap Jumat ketiga dan keempat tiap bulan sejak 2023, dalam dua format utama: sesi untuk siswa Muslim dan non-Muslim secara terpisah, serta sesi gabungan dengan metode ceramah singkat, diskusi lintas agama, permainan edukatif, dan refleksi bersama. Mendapat dukungan dari Kementerian Agama dan berhasil meraih penghargaan di tingkat provinsi, SPEKTRA 15 menjadi simbol keberhasilan pengarusutamaan nilai-nilai moderasi dalam dunia pendidikan formal dan modelnya direkomendasikan untuk direplikasi ke sekolah-sekolah lain (kemenaghst.com, 23/5/25).
SPEKTRA 15 adalah wajah kecil dari proyek besar sekularisasi pendidikan. Nilai-nilai universal dan budaya lokal yang dijadikan rujukan utama dalam sekularisme diajarkan kepada generasi muda seolah itulah inti dari agama: cukup berakhlak baik, tidak menyakiti, saling menghormati. Padahal, Islam tidak cukup hanya dengan akhlak. Islam adalah akidah dan syariat. Toleransi dalam Islam harus diikat oleh akidah Islam.
Salah satu propaganda yang paling dominan dalam sekularisasi ini adalah moderasi beragama, yang dalam praktiknya menuntut umat Islam menjadi lunak terhadap kesesatan. Ketika generasi muda diajarkan bahwa semua agama benar, dilarang merasa bahwa agamanya yang benar, dan bahwa membela kebenaran Islam dianggap fanatisme, maka ini adalah agenda penghancuran pemikiran Islam dari dalam. Mereka tidak sedang diajari toleransi, melainkan relativisme akidah.
Konsep toleransi yang dibangun di atas prinsip moderasi dan pluralisme mendorong umat Islam secara perlahan menjauh dari kemurnian akidah dan ketaatan terhadap syariat. MUI pun telah menyatakan bahwa pluralisme agama adalah haram (Fatwa MUI 2005), karena bertentangan dengan keyakinan tauhid.
SPEKTRA 15 mengajarkan bahwa landasan utama berperilaku adalah komitmen kebangsaan, bukan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika pendidikan terus diarahkan untuk mencetak generasi yang toleran tanpa akar akidah yang kokoh, maka dikhawatirkan akan lahir generasi Muslim yang lemah identitas keimanannya. Mereka mungkin baik secara moral menurut ukuran dunia, tetapi gamang ketika dihadapkan pada pertarungan ideologi, dan cenderung kehilangan semangat dakwah dan keberanian untuk menyuarakan amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal, pendidikan seharusnya membentuk kepribadian Islam yang utuh—yaitu pola pikir dan sikap hidup berdasarkan akidah Islam. Sebab, dalam Islam, agama bukan sekadar urusan pribadi atau etika sosial, melainkan sistem hidup yang mengatur seluruh dimensi: spiritual, sosial, hukum, dan pemerintahan. Allah memerintahkan kita untuk masuk ke dalam Islam secara kafah: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh (kafah).” (QS. Al-Baqarah: 208).
Islam sebagai dien yang sempurna telah mengajarkan konsep toleransi secara substansial dan terukur. Islam memang tidak memaksa orang untuk masuk Islam — “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256) — namun Islam juga tidak membenarkan keyakinan selain Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
Dalam Islam, toleransi bukanlah membenarkan semua keyakinan, melainkan memberi ruang hidup damai kepada pemeluk agama lain dalam naungan hukum Islam, selama tidak mengganggu tatanan sosial dan akidah umat.
Konsep toleransi ini berbeda dari toleransi versi sekularisme atau moderasi beragama yang menekankan netralitas akidah dan harmonisasi lintas iman sebagai dasar kebersamaan. Dalam pandangan Islam, toleransi bukanlah jalan kompromi, melainkan bentuk nyata dari keimanan yang kokoh, berani hidup bersama dalam perbedaan, tanpa larut dalam penyamaan keyakinan. Prinsip al-wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri) menjadi pijakan utama: loyal kepada kebenaran Islam dan berlepas diri dari kekeliruan akidah lain, sambil tetap menjalin hubungan muamalah yang adil, damai, dan beradab dengan siapa pun.
Toleransi sejati telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat Beliau memimpin Madinah. Beliau membuat perjanjian dengan Yahudi dan musyrikin, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah, yang mengatur hak dan kewajiban semua warga tanpa mencampuradukkan agama mereka. Rasulullah saw. tetap menyeru kepada Islam, bahkan ketika hidup berdampingan, tanpa sedikit pun mengurangi keteguhan akidah Beliau.
Demikian pula dalam Khilafah Islam, para khalifah memberikan perlindungan kepada ahludz-dzimmah (non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam). Mereka diberi hak untuk menjalankan agamanya, dilindungi hartanya, dan tidak dipaksa keluar dari keyakinannya. Sebaliknya, mereka tidak diizinkan menyebarkan pemikiran yang merusak akidah Islam di ruang publik.
Sejarah bahkan mencatat keunggulan toleransi dalam Khilafah. Will Durant, sejarawan asal Amerika, dalam The Story of Civilization, menulis: “Para penguasa Muslim biasanya sangat toleran terhadap agama lain. Mereka membiarkan kaum Kristen dan Yahudi menjalankan ibadah mereka, selama mereka membayar jizyah (kompensasi yang dibayarkan non-Muslim dan simbol ketaatan mereka kepada pemerintahan Islam).”
Sudah saatnya umat Islam menegaskan kembali bahwa Islam tidak butuh label moderat untuk bisa diterima. Islam itu rahmatan lil ‘alamin karena ia adalah petunjuk dari Allah yang sempurna. Kita tidak butuh menyesuaikan Islam dengan standar Barat untuk menjadi umat yang toleran. Cukuplah kita menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan dalam membangun peradaban damai tanpa kompromi terhadap akidah. Inilah makna toleransi sejati menurut Islam.