
Oleh: Astriani Nur Fatikasari
Linimasanews.id—Kekacauan pelaksanaan ibadah haji tahun ini kembali menyisakan luka bagi umat Islam Indonesia. Bukan hanya soal antrean panjang atau fasilitas yang kurang layak, namun juga tragedi personal yang memilukan, seperti kisah pilunya Heri, calon jemaah haji yang harus pulang hanya mengenakan kain ihram setelah visanya dibatalkan secara sepihak oleh otoritas Arab Saudi (Republika, 5/6/2025).
Ironisnya, ia bukan satu-satunya korban. Beberapa warga negara Indonesia bahkan ditangkap otoritas Arab Saudi karena dianggap membawa jemaah ilegal. Sementara itu, Tim Pengawas (Timwas) DPR menemukan berbagai persoalan akut dalam pelaksanaan haji tahun ini, mulai dari tidak meratanya fasilitas tenda di Arafah dan Mina (Armuzna), buruknya transportasi, hingga layanan konsumsi yang tidak sesuai standar (Tempo, Juni 2025).
Pemerintah Arab Saudi memang menerapkan kebijakan baru terkait visa dan sistem e-Hajj. Namun, menjadikan ini satu-satunya kambing hitam adalah bentuk pengalihan isu. Masalah penyelenggaraan haji bukanlah persoalan teknis semata, melainkan menyangkut paradigma pengelolaan haji oleh negara.
Selama ini, pengurusan haji di Indonesia lebih menyerupai layanan biro perjalanan raksasa yang dikapitalisasi. Setiap aspek dihitung secara bisnis, mulai dari kuota dibisniskan, layanan dibagi berdasarkan harga, bahkan visa pun bisa dikomodifikasi. Di tengah semua itu, semangat melayani tamu-tamu Allah seolah menguap.
Padahal, dalam Islam, haji adalah ibadah yang wajib bagi muslim yang mampu. Negara seharusnya hadir sebagai pelayan utama ibadah ini, bukan sebagai agen birokrasi yang melepas tanggung jawab pada swasta atau pihak asing.
Sesungguhnya, penguasa adalah ra’in (pengurus rakyat), bukan sekadar regulator atau fasilitator. Sehingga, negara wajib memastikan rakyatnya bisa menunaikan haji dengan aman, nyaman, dan khusyuk. Termasuk dalam hal ini adalah penyediaan akomodasi yang layak, transportasi yang memadai, makanan yang halal dan bergizi, hingga edukasi manasik yang tuntas.
Sayangnya, dengan paradigma kapitalistik yang membungkus tata kelola haji saat ini, yang terjadi justru fragmentasi tanggung jawab dan ketidakefisienan sistemik. Pemerintah seolah berdiri di luar proses, padahal merekalah yang memiliki tanggung jawab tertinggi.
Dengan demikian, akar persoalan terletak pada paradigma sekuler dalam mengelola urusan umat, termasuk ibadah.
Sedangkan Islam memandang, haji bukanlah jasa atau komoditas, melainkan ibadah. Pelayanan ibadah hanya bisa dijalankan secara optimal jika negara memiliki sistem keuangan yang kuat. Negara (Khilafah) menyediakan hal ini dengan sistem ekonomi dan moneter berbasis syariah, yang mengelola kekayaan umat melalui Baitulmal. Sumber-sumber pendapatan seperti zakat, fai, jizyah, hingga pengelolaan sumber daya alam akan menjadikan negara tidak bergantung pada pungutan mahal dari rakyat. Dengan keuangan yang sehat, pelayanan haji tidak akan menjadi ladang komersialisasi, melainkan bentuk pengabdian negara terhadap perintah Allah dan umat-Nya.
Kisruh haji 2025 sejatinya bukan hanya soal lemahnya teknis, melainkan cerminan gagalnya paradigma dalam memandang dan mengurus ibadah. Selama negara tidak kembali pada fungsinya sebagai pengurus umat dan terus mempertahankan sistem sekuler-kapitalistik, maka kekacauan semacam ini hanya akan berulang, mungkin dalam bentuk yang lebih parah. Maka tanggung jawab menyiapkan perjalanan suci ini sepenuhnya berada di tangan negara. Hanya sistem Islam yang mampu memastikan hal itu terjadi dengan penuh kehormatan, tanggung jawab, dan keberkahan.