
Oleh: Maulida Nafeesa, M.Si. (Pemerhati Sosial Media)
Linimasanews.id—Di saat dunia mengagumi Raja Ampat sebagai surga biodiversitas, Indonesia justru membiarkannya tercabik demi kepentingan tambang. Laporan pelanggaran dan kerusakan tak terbantahkan. Dalam sistem kapitalis, sumber daya alam hanyalah angka yang menghasilkan ladang cuan. Hutan digunduli, laut dicemari, dan manusia dimiskinkan di tanahnya sendiri.
Raja Ampat bagian dari Papua, Republik Indonesia. Raja Ampat mendapat pengakuan dunia internasional sebagai kawasan global geopark atau laboratorium alam terbaik di dunia. Tak hanya indah secara visual dan menjadi kawasan wisatawan asing, tetapi menyimpan keanekaragaman hayati. Di sana terdapat lebih dari 75% spesies karang dunia, lebih dari 1.300 spesies ikan, dan ratusan spesies moluska serta biota laut lainnya. Global geopark juga menunjukkan kawasan ini memiliki kekayaan dunia yang patut dijaga dan dilestarikan lantaran memiliki potensi luar biasa baik di atas laut maupun di bawah laut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia (5/6/2025) mengungkapkan, terdapat lima izin usaha pertambangan (IUP) yang terdaftar di kawasan Raja Ampat, tetapi saat ini hanya satu yang beroperasi, yaitu milik PT Gag Nikel. Perusahaan tersebut merupakan anak usaha PT Antam Tbk, BUMN yang telah menjalankan kegiatan produksi sejak 2017 dan memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Bahlil mengklaim akan menghentikan sementara operasional tambang nikel di Pulau Gag serta akan meninjau aktivitas pertambangan di sana dan memastikan tidak ada pelanggaran aturan lingkungan maupun kearifan lokal Papua Barat Daya (beritasatu.com 5/6/2025).
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dikutip dari Tirto.id (6/6/2025) mengatakan, hasil pengawasan dari perusahaan tambang nikel menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
Bahlil juga mengatakan bahwa lokasi tambang tidak berada di destinasi pariwisata di Piaynemo, Raja Ampat, melainkan berada kurang lebih 30-40 kilometer dari destinasi wisata. Ketika ingin mempertahankan konservasi yang mengarah perlindungan dan pertambangan yang berujung degradasi menjadi sesuatu yang mustahil untuk beriringan. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil pasal 35 (k) telah melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.
Kaidah kausalitas pasti ada. Sebab-akibat dari perusahaan tambang nikel pasti akan merusak lingkungan dari tahun ke tahun. Jika jarak 30-40 km dianggap aman oleh Bahlil, maka dapat dilihat lautan ini bukan area isolasi. Air laut akan terus mengalir luas ke jarak yang jauh. Dampak sedimentasi, belum lagi tarnsportasi, kebocoran dan dampak lainnya, hal itu juga harus diperhatikan oleh pemerintah.
Kekayaan alam bukan untuk diperas hingga kering. Akan tetapi, inilah kenyataan pahit dalam sistem kapitalisme. Penambangan yang membahayakan lingkungan dapat dilakukan meski melanggar undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha lebih berkuasa. Dalam kapitalisme, hal ini tidak akan tuntas hanya dengan menyalahkan individu karena aturan yang diciptakan memang untuk memperkaya para pengusaha. Kapitalisme tidak mampu menambal kecacatan dan mengendalikan kerakusan para pengusaha yang berkuasa.
Islam hadir sebagai solusi. Islam bukan sekedar agama ruhiah, namun memiliki seperangkat aturan untuk kehidupan manusia. Salah satunya, pengelolaan sumber daya alam. Dalam Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara, lalu hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah).
Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, Beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi). Menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik garam maupun selain garam, seperti batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas, dan sebagainya, semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum.
Maka jelas, dalam Islam, kebutuhan rakyat akan pendidikan, kesehatan, urusan pangan, infrastruktur, lapangan pekerjaan dan lainnya dapat terpenuhi serta mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Karena, salah satu sumber pemasukkan negara ialah pengelolaan SDA yang kembali ke rakyat secara umum. Sedangkan dalam kapitalisme, sumber pemasukkan utama negara untuk kebutuhan rakyat ialah pajak di berbagai lini kehidupan yang kenyataannya mencekik rakyat.
Selain itu, Islam menetapkan wajibnya menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan yang akan berpengaruh terhadap hidup manusia. Islam juga memiliki konsep “hima“, yang akan melindungi lingkungan dari kerusakan akibat adanya eksplorasi. Pemimpin dalam Islam menjalankan aturan sesuai dengan hukum syariat, dan berperan sebagai ra’in (pelindung) yang akan mengelola SDA dengan aman dan menjaga kelestarian lingkungan untuk rakyatnya.