
Penulis: Diana Nofalia, S.P. (Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Kekerasan terhadap anak makin marak. Di Kabupaten Singingi (Kuansing), Riau, seorang bayi perempuan berusia 2 tahun tewas akibat kekerasan yang dilakukan suami istri yang mengasuhnya. Alasannya, sebagai pancingan agar memiliki anak (kompas.com, 15/2025/06).
Berita senada terjadi di Surabaya. Seorang anak berinisial M diduga disiksa orang tuanya di Surabaya dan ditemukan ditemukan tertidur seorang diri di atas kardus di lorong pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia ditemukan Satpol PP Kebayoran Lama yang tengah melakukan patroli (tirto.id,11/6/2025).
Kasus tersebut hanya sebagian kecil yang muncul di permukaan karena bak gunung es, kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis oleh anggota keluarga semakin marak di negeri ini.
Kekerasan di lingkungan keluarga terjadi dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor ekonomi, emosi yang tidak terkendali, kerusakan moral, iman yang lemah, dan lemahnya pemahaman akan fungsi dan peran sebagai orang tua.
Fenomena kekerasan terhadap anak ini tentunya ada latar belakangnya. Yaitu, sistem kehidupan sekularisme-kapitalisme yang diterapkan dalam tatanan kehidupan saat ini. Sistem ini membuat orang tua tidak paham cara mendidik dan mengasuh anak. Pemahaman anak adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak, tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan dalam pengasuhannya. Sistem ini bahkan menghilangkan fitrah orang tua yang punya kewajiban melindungi anak-anaknya dan menjadikan rumah sebagai tempat yang paling aman untuk anak.
Impitan ekonomi akibat kapitalisme juga menjadi alasan orang tua menyiksa dan menelantarkan anak, bahkan melakukan kekerasan seksual. Lingkungan dan tontonan media dalam sistem ini juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan pada anak. Tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat dan mengandung kekerasan begitu bebas di media sosial, tidak ada kontrol yang berarti dari pemerintah, hingga memicu kekerasan terhadap anak. Sistem ini juga membuat hubungan sosial antarmasyarakat kering dan individualis, tidak peduli pada sesama. Hal ini makin menjadikan anak-anak tidak aman.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi tentang perlindungan anak, pencegahan kekerasan seksual pada anak, juga tentang pembangunan keluarga. Namun nyatanya, semua itu tidak mampu menuntaskan persoalan kekerasan pada anak. Sebab, undang-undang tersebut dibangun dengan ruh sekuler dan kapitalis, sehingga tidak menyentuh akar permasalahan kekerasan pada anak.
Sementara itu, Islam memiliki solusi untuk semua masalah, termasuk keluarga. Islam memiliki sistem yang menyeluruh dan paripurna. Penerapan Islam secara sempurna dalam kehidupan akan menjamin terwujudnya tatanan kehidupan, kesejahteraan, ketenteraman jiwa, serta terjaganya iman dan takwa kepada Allah Swt.
Dalam Islam, salah satu fungsi keluarga adalah pelindung. Keluarga juga memiliki fungsi membentuk kepribadian Islam kepada seluruh anggotanya. Untuk mewujudkannya, negara pun akan melakukan edukasi untuk membentuk kepribadian Islam dan menguatkan pemahaman tentang peran dan hukum-hukum keluarga. Dengan itu, setiap individu dalam keluarga memiliki pemahaman yang shahih dan komitmen untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya, termasuk dalam membangun keluarga.
Negara akan melakukan edukasi yang terintegrasi dan komprehensif dalam sistem pendidikan, maupun melalui berbagai media informasi lainnya. Dengan sistem pendidikan yang islami, akan terbentuk masyarakat yang peduli dengan lingkungan dan merasa bertanggung jawab atas lingkungannya.
Selain itu, sistem sanksi yang tegas juga merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan pemerintah. Hal ini akan menjamin terwujudnya ketahanan keluarga yang kuat dan mampu mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga. Dengan demikian, tidak ada cara lain untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan nyaman bagi anak, kecuali dengan menerapkan sistem Islam secara kafah pada seluruh aspek kehidupan.